"Bodo amat Jenit, gue marah!"
Lusanya Delam sekolah dengan langkah pincang dan tangan dibebat, hidungnya masih ada plester, dahinya juga. Delam pakai masker untuk menutupi bibirnya yang masih jontor. Sudah disuruh jangan sekolah dulu, tapi dia keras kepala. Akhirnya mau tak mau, hari ini Delam ke sekolah bareng Zay. Biasanya paling anti nebeng mobil Zay, tapi sekarang terpaksa, karena Prada tidak kasih izin sekolah, jika Delam tidak berangkat bareng Zay.
Teman-temannya langsung mengerubungi Delam. Membantu Delam masuk ke dalam kelas, dan mendudukkan di bangkunya dengan hati-hati. Delam dianter Zay sampai kelas, jadi teman-teman ceweknya caper.
Jenit yang baru sampai langsung misuh-misuh minta maaf samping Delam, bahkan ransel masih melekat di punggungnya, tapi Delam dengan wajah sok dingin, tidak menggubris.
"Delam cakepku, maafiinnnnn. Tuh, Dito yang minta dikejar."
Didit pun ada di samping Delam, dari kemarin dimarahin Jenit, sama seperti Jenit, dia terus mengucapkan maaf kepada Delam.
"Delammmm ...." Jenit merajuk dengan bibir dimajukan. Benar-benar merasa bersalah. Dari kemarin dia menangis kalau ingat Delam. Delam awalnya tetap tak bergeming, tapi akhirnya, dia lirik Jenit juga dengan wajah kesal.
"Malu gue tuh, mana jatohnya gak cool lagi, nyungseub. Pengen pingsan aja, tapi sakit, gak bisa kalo gak ngeringis. Yodah, gue maafin lo, tapi gue masih marah dikit sama lo," ucap Delam.
Senyum Jenit perlahan merekah langsung memeluk teman duetnya itu. "Makasih, Delamkuuu, makasihhh ...." Jenit nangis lagi. "Gue takut lo kenapa-napa, tahu gak? Gak akan bisa gue maafin diri sendiri kalo lo sampe kenapa-napa. Huhuhuuuu ... Delam makasih udah baik-baik aja, tar gue bawain kue paling enak dah."
Dalam maskernya senyum Delam mengembang. Keluarga Jenit itu punya toko kue besar yang sudah punya cabang di mana-mana, enak tapi mahal. Mayan kan bisa dapet gratisan, ehehe.
"Kalo gue dimaafin gak, Lam?" Sekarang giliran Didit dengan muka cemberutnya yang membuat mual. "Makan gratis di restoran keluarga gue dah," ucap Didit.
Padahal Delam gak minta lho. Delam kan kalau memaafkan tanpa pamrih, tapi
kalo gituu ... yaudah, rejeki. Delam kembali tersenyum lebar, tanpa mereka tahu. Dia mengacungkan jempolnya pada Didit.-
"Lo mau jajan apa? Gue beliin sekalian."
Bel istirahat baru saja berbunyi, Freya langsung muncul di depan meja Delam.Delam yang sedang membereskan buku-bukunya. Menoleh dengan alis terangkat. "Tumben banget lo," katanya.
"Sebagai sepupu yang baik." Freya tersenyum selebar mungkin, tapi tak lama, sedetik kemudian bibirnya kembali mendatar. "Udah cepetan! Lo mau apa?"
"Lam, mau titip gak?"
Baru saja Delam memikirkan apa yang ingin dia makan, pertanyaan serupa dengan yang diucapkan Freya terdengar, yang ini keluar dari bibir tebal Arsen. Kalau ada Toni dan Beno, mereka berdua juga pasti ribut, tapi hari ini Toni dan Beno dispen dari pagi, latihan untuk tanding minggu depan, Toni dengan basketnya dan Beno dengan futsalnya.
"Mm ... gue gak titip apa-apa dah. Ada coklat kok di tas," kata Delam, pada akhirnya dia memilih untuk tidak merepotkan kedua sepupunya, karena yang enak direpotin cuma Beno dan Toni.
"Sono, Fre. Geng ghibah lo pasti udah nunggu di kantin. Lo juga, Sen, Zeid sama Arthur pasti dah nunggu lo tuh."
Arsen dan Freya menatap Delam.
"Gue dah titip makan ke Abdul kok. Bentar lagi dia ke sini," ucap Delam diakhiri senyum manis. Jarang lho Delam ngomong halus diakhiri senyuman gini.
"Beneran?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu