Delam yang hanya diam, tak bisa diajak bicara, dan selalu memalingkan wajah.
Mengingatkan Iren pada Delam beberapa bulan yang lalu, saat hubungan mereka tak begitu dekat.-
Ekspresi wajah Delam datar, tak berubah, tampak enggan menatap Iren.
Sudah dua hari seperti ini."Kakak boleh marah sama Mami, tapi tetep makan."
Sup dengan suwiran ayam yang tadinya mengepul, sekarang sudah menjadi agak dingin, tapi belum sesuap pun masuk ke dalam mulut Delam. Delam tetap diam menyandarkan kepalanya pada headboard ranjang dengan pandangan datar ke depan.
"Beberapa suap aja, ya?"
Sesendok sup dan nasi yang disodorkan Iren mengapung di udara, mulut Delam tak terbuka sedikit pun. Delam malah menurunkan tubuh, berbaring, lalu memunggungi Iren dan menarik selimut.
Iren memejamkan mata, menguasai emosi, tak bisa terus begini. Embusan napas panjang keluar dari mulutnya.
"Mami juga gak mau Kakak berakhir kayak gini. Mami gak mau Kakak berhenti sekolah. Mami tahu Kakak suka sama sekolah, tapi kan keadaannya lagi kayak gini. Sekarang Kakak udah dewasa, udah tahu batas kemampuan tubuh Kakak. Jangan memperburuk keadaan, Kak. Kasian badan Kakak kalo kayak gini terus. Papi bilang, kan? Kalo Papi lagi berusaha. Cuma sementara, Kak. Nanti kalo udah sembuh Kakak bisa sekolah lagi, malah bisa susul Abang ke Kanada."
Delam meremat selimut, mengepalkan tangan. Dia tidak mau kata nanti dan kalau.
-
Iren keluar kamar membawa sup yang sudah dingin, takaran sup itu tak berkurang sedikit pun. Ada Tama di meja makan saat Iren menyimpan mangkuk supnya di wastafel. Iren duduk di salah satu kursi, menyangga kepalanya yang pening.
"Mami istirahat aja, biar Delam Papi yang urus," kata Tama sembari memijit pelan sebelah pundak istrinya yang tampak sangat lelah.
Iren mengangguk, dia memang butuh istirahat, menenangkan diri. "Mami ke kamar dulu."
Tama menganggukkan kepala, tersenyum sangat tipis. "Jangan khawatirin Delam."
"Hm." Iren menyahut dengan gumaman lalu melangkah menuju kamar.
-
Tama tahu Delam tak benar-benar tidur,
anak itu hanya memejamkan mata saat mendengar suara pintu terbuka. Tak ingin memaksakan, Tama kembali menutup pintu, membiarkan dia tenang dulu.-
Beberapa jam kemudian, kaki Tama kembali melangkah menuju kamar putra ketiganya, dia belum makan sejak pagi.
Dalam diamnya, Delam pasti merasa lapar. Berbekal beberapa jenis sushi, makanan kesukaan putranya itu, Tama masuk. Saat melihat Delam sedang duduk menghadap kaca balkon, Tama meletakkan sushi itu di atas nakas. Menarik kursi belajar agar dia bisa duduk di samping Delam. Delam tak bergeming, tetap duduk dengan kedua kaki dinaikkan, menekuk di atas kursi dengan tangan memeluk kakinya, pandangannya lurus ke depan.Tanpa ada kata, telapak tangan Tama tiba-tiba terbuka di hadapannya. Sebuah kunci dengan gantungan gundam kecil tergeletak di telapak tangan papinya. Delam menoleh ke samping, tempat papinya duduk.
"Papi kasih kesempatan sekali," ucap Tama.
Delam menggerakan kepala, kembali menatap ke depan.
"Gak mau?" Tama menggerakkan telapak tangannya, bertanya.
"Buat apa? Papi kasih kesempatan yang terakhir dan mungkin bakal jadi bener-bener akhir, Papi gak sadar itu?" Delam kembali menoleh. Bibir pucatnya yang kering, dan wajahnya yang tanpa rona, belum cukup, kah? Untuk papinya menyadari kalau waktu Delam mungkin gak akan lama, mungkin hanya sampai sekolah menengah atasnya berakhir. Dan papinya menghentikan kesempatan Delam untuk menikmati waktunya yang sedikit itu dengan alasan agar bisa mempertahankannya sampai keajaiban datang yang akan membuat waktu hidup Delam jauh lebih panjang. Omong kosong! Bagaimana bisa sang papi begitu percaya diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Genç Kurgu**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu