PART 45

9.2K 627 101
                                    

Sudah dua hari tak bangun dari tempat tidur, badannya seperti habis dibawa lari dari Kutub Utara ke Kutub Selatan ... lemes foll. Seharian cuma bisa rebahan,
kalo dipaksakan bangun dadanya terasa berat. Plis, hidupnya aja yang dibikin berat, organ dalam dada kirinya jangan.

Delam tidur meringkuk, Iren duduk di samping, sabar mengusap-usap punggungnya yang terasa panas dan pegal akibat nempel terus sama kasur. Sejak tadi pagi, orang rumah bergantian mengusap-usap punggung Delam. Pertama Iren, terus Zen, terus Ayya, Zay, sekarang balik lagi ke Iren. Untung lagi pada libur. Delam sadar udah nyusahin banyak orang, tapi dielus-elus gitu membuat rasa tak nyamannya hilang. Bolehkan dia nyusahin sekali dua kali? Eh, gak sekali, dua kali deh. Sering. Gak pa-pa, kan? Hehe.

"Mi."

Suara yang tak asing terdengar, 'Mangsa baru' dengan mata yang terpejam, Delam berucap dalam hati.

"Lho, Mas pulang? Lagi gak ada kerjaan?"

"Udah selesai. Kata Ayya, Delam lagi gak bisa bangun. Kok Mami gak kasih tahu Mas."

"Delam gak kenapa-napa kok, Mas. Lagian, Mas jangan ninggalin klien, harus tanggung jawab sama kerjaan."

Prada duduk di tepi ranjang dekat maminya, lalu menghela napas. "Masa Mas ngeduluin kerjaan daripada keluarga sendiri," katanya.

Iren tersenyum. Untuk kesekian kali merasa terenyuh dengan kepedulian anak-anaknya pada saudara mereka, tapi dia tak mau juga Prada meninggalkan tanggung jawabnya.

"Mas belum makan, kan? Mami siapin, ya, " ucap Iren, hendak beranjak.

"Gak usah, Mi. Udah makan kok," sahut Prada.

"Bohong, Mami tahu Mas itu kalo buru-buru suka lupa makan," kata Iren.
Tak akan dia lupa pada kebiasaan si sulungnya itu.

Prada nyengir. "Udah tadi pagi," ucapnya kemudian, menyambung sahutan yang tadi. Ini sudah lewat dzuhur, sudah lewat waktu makan siang.

"Kebiasaan deh." Iren beranjak.

"Mas, tolong diusap-usap, lagi rewel," pintanya sembari menunjuk Delam secara tak langsung, lalu melangkah keluar kamar.

Prada mendekat, menggantikan posisi maminya. Adiknya tak benar-benar tidur, tadi saat mami menghentikan usapan tangan, Delam melenguh.

"Mas, pipis dong." Kepala Delam bergerak, menoleh ke arahnya, berucap dengan suara pelan.

"Ayok." Prada membantu Delam bangun. Tubuh itu seakan tak punya tenaga, jika tak dipegang, ya, oleng.

"Kenapa? Sakit?" tanya Prada, jadi panik saat melihat tangan Delam yang memegang dada.

"Nggak, takut copot." Delam terkekeh, mata sayunya kini terbuka.

"Digendong aja?"

Delam mengangguk. Pasrah saja kali ini, lagipula badannya benar-benar lemas untuk duduk saja harus dipegangin. Prada memangku Delam dengan mudah.
Delam menutup wajahnya, serius ini malu banget. Dengan hati-hati Prada menurunkan Delam di depan toilet duduk yang sudah terbuka.

"Mau ditungguin?" tanya Prada. Takutnya ini privasi.

Delam mengangguk, menurunkan celananya tanpa malu. Bodo amat sama-sama punya.

"Jangan dilepas," ucapnya pada Prada yang melingkarkan tangan memegang tubuhnya.

"Udah?" Setelah tampak selesai, Prada bertanya. Delam mengangguk lalu Prada kembali memangkunya dengan hati-hati. Aneh juga, melihat Delam yang nurut. Tak protes sedikit pun.

"Mau minum ?" tanya Prada begitu adiknya sudah kembali berbaring nyaman.

Delam menggeleng. "Males, tar mau pipis lagi," sahutnya dengan mata terpejam.

Delam 1999 (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang