Keluarganya bukan keluarga religius sebenarnya, tidak munafik, dulu bahkan kewajiban sering mereka tinggalkan. Tapi sekarang, mereka coba perbaiki. Tak ada kata terlambat, bukan?
Bukan, bukan sepenuhnya karena ada do'a yang terus berharap dikabulkan, tapi karena di sisi lain, mereka juga tersadar; hidup adalah milik Tuhan. Dunia bisa jungkir balik, manusia hanya bisa memasrahkan. Tuhan yang punya kendali atas, 'Kun fayakun'.
--
Malam ini Delam terbangun, entah jam berapa. Melihat Iren dan Tama sedang menunaikan sholat di depan sana, berjarak beberapa langkah dari ranjangnya. Mata Delam bergulir ke arah jam dinding, melihat dengan mata menyipit, lampu yang temaram membuat pandangannya tak jelas. Masih pukul 03.10. Berarti mami dan papinya sedang menunaikan sholat malam. Delam terus memandang mereka. Tak lama setelah salam, terdengar isakan pelan. Tapi tidak lama Delam mendengarnya karena kantuk kembali menghinggapi, dan membuatnya tenggelam lagi ke dunia mimpi.
--
"صَدَقَ اللهُ اْلعَظِيْم"
Sudah dua kali maghrib, Iren selalu mengaji di sebelahnya. Delam baru tahu maminya punya suara semerdu itu dalam melantunkan ayat suci. Sangat ampuh untuk menenangkan.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsallam."
Iren mencium tangan Tama. Kemudian Tama mendekat ke Delam. Mengecup keningnya, lalu memberikan senyum lembut seperti biasa.
Papinya itu memakai koko putih dengan peci dan sarung hitam, habis pulang dari mesjid dekat rumah sakit. Dengan pakaian seperti itu, Papi terlihat seperti bapak-bapak pada umumnya, entah terlihat lucu dan lebih gagah. Orang tuanya berubah banyak. Delam jadi merasa buruk, sekarang dia sendiri yang sering memaki Tuhan. Akhir-akhir ini, dia lebih banyak merutuk dan terus mengumpat dalam hati, melupakan istighfar yang kata Abdul lebih baik diucap saat kesakitan, daripada umpatan kasar. Tapi persetan. Saat sesak dan nyeri di jantungnya tak hilang-hilang, yang ada di otaknya hanya makian.
Ck, Allah maafin kelabilan gue, gak, ya?
--
"Eungggggghhhh--"
"Sssssssshhhh ... astagfirullahhaladzim."
Surainya diusap lembut. Air mata sudah mengalir, tak lagi mengenal malu.
"Kakak Delam mah kuat, anak jagoan Bunda." Bukan Iren yang bertutur, tapi Ami. Ami datang sendiri ke rumah sakit, wanita yang terpaut usia 4 tahun dengan Iren itu, kini sedang duduk di kursi samping ranjang. Iren yang ada di atas ranjang, samping Delam, sudah tak bisa berbicara. Hanya menangis tanpa suara.
"Astagfirullahaladzimm," tutur Ami lagi dengan gerakan mulut jelas, menuntun Delam yang tengah mengernyit dalam dengan tangan meremat sprai.
Delam meneteskan air mata, hanya mampu berucap dalam hati karena dadanya kini sesak sekali. 'Allahhh, maafin aku.'
"Allah pasti angkat sakitnya, Kakak Delam. Jangan takut, ya, Nak. Istighfar, inget Allah, ya." Ami menghapus air mata yang mengalir di pipi keponakannya. Ikut merasakan sakit. Hari ini deru napas itu terdengar lebih buruk, menginya terdengar semakin keras padahal bantuan oksigen sudah dibatas maksimal.
Melihat putranya yang semakin tersiksa, Iren hanya bisa meneteskan air mata.
"Ini dokter gak ada tindakan, Mbak?" tanya Ami.
Iren menggeleng, air matanya terus turun. Apa yang bisa dokter lakukan. Satu-satunya penolong hanya jantung baru. Jantung Delam sudah ada di ambang batasnya, mau dibagaimanapun juga.
![](https://img.wattpad.com/cover/228240520-288-k426107.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Delam 1999 (Selesai)
Teen Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Butiran debu