PART 20

10.8K 650 65
                                    

Iren kembali ke Jakarta sendiri, Tama tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya di sana. Tidak ada ibu yang baik-baik saja saat mendapat kabar buruk tentang buah hatinya. Di balik wajah Iren yang selalu tampak tenang, separuh jiwa dalam tubuhnya seperti terambang. Luka lama itu.

-

Saat akan memasuki kamar rawat sang putra, Iren mengembuskan napas panjang, berusaha mengontrol ekspresi,
menguatkan diri. Tampak putranya yang terbaring, tak tidur tapi tak bergerak. Si sulung bilang sejak membuka mata, adiknya itu tak banyak bicara. Kata dokter, ada trauma psikis.

"Hei, Kakak lagi apa?" Pertanyaan retorik yang tak butuh jawaban, Iren bingung harus memulai dengan bagaimana. Delam tak bergeming. Matanya menatap ke samping, lurus dan kosong.

Iren tetap berusaha menguatkan diri, melipat bibir ke dalam, duduk
di samping ranjang. Wajah putranya tampak pucat dengan bibir kering, tatapannya hampa tak terfokus pada apa pun.

Memberanikan diri, Iren meraih tangan itu, menggenggamnya erat berharap Delam bisa mengerti dengan bahasa tubuh. Iren ada di sana untuknya.
Tapi Delam tetap tak bergeming, membiarkan tangannya digenggam sang mami, tak banyak peduli. Kenyataan menjatuhkannya dalam.

---

"DELAM!"

Toktoktoktok ...

"LAM, BUKA PINTUNYA. LO APA-APAAN, SIH?!"

Semuanya berkumpul di depan pintu kamar bercat putih dengan lukisan garis polisi berwarna kuning yang terbentang membentuk kali dengan tulisan apik warna hitam, 'Stop, don't disturb', peringatan bagi siapa pun yang hendak masuk ke dalam kamarnya. Delam yang melukisnya sendiri.

Zay berteriak menggedor-gedor pintu.
Iren tak bisa berkata-kata, menangis dalam rangkulan Prada. Sementara Ayya dan Zen hanya berdiri mematung, mereka tak tahu apa-apa, baru pulang sekolah beberapa menit yang lalu melihat mami dan kakak-kakaknya tiba-tiba ada di rumah meneriaki nama Delam yang setahu mereka masih berada di rumah sakit.

Sementara di dalam kamar, sosok dengan celana training hitam dan hoodie hitam itu, sedang duduk di kursi gamingnya bermain game dengan headphone bersuara keras.Jarinya lincah menekan tombol stick game, membunuh semua musuh yang ada di depan.

Rahangnya mengeras dengan tangan mencengkram stik kuat. Delam marah.
Dia melangkah cepat keluar dari rumah sakit dengan selembar uang yang didapat dari tas mami yang ditinggal
di kamarnya. Entah sedang ke mana maminya itu, dia pergi setelah Delam melakukan MRI.

Delam yakin hasil pemeriksaannya tidak akan bagus. Serangan kemarin. Air matanya turun begitu saja dengan deras, mengingat rasa sakitnya siang itu, suara tangis pun keluar tak tertahan. Jika sesuatu terjadi padanya. Entahlah, rasanya dunia begitu jahat. Tuhan? Untuk saat ini Delam ragu pada kebaikannya yang selalu diagung-agungkan.

Uhukk ... Uhukk ... Uhukk ...

Disela tangis Delam terbatuk, menimbulkan sensasi nyeri pada dada.
Tangannya melepas stik, memukul-mukul kesal sumber nyeri itu.
Dengan kepala merunduk di atas meja.
Tangis Delam mengencang, beralih memukul-mukul meja yang tak bersalah.

Bajingan. Semuanya BAJINGAN!!!!!!!

"Delam buka pintunya. Izinin Mami masuk." Kini ketukan kencang dan teriakkan, berganti. Jadi suara lembut maminya yang terdengar.

Isakan Delam sudah mereda, perlahan menegakkan badan, beranjak, berjalan ke arah pintu. "Mami pergi dulu, aku mau sendiri," ucap Delam tanpa membuka pintu.

"Kakak jangan takut. Dokter bilang Kakak gak apa-apa. Berobat sedikit juga sembuh, Mami temenin sampe Kakak sembuh, ya?"

"MAMI PERGI!!!" teriak Delam, tiba-tiba merasakan amarah. Dia berteriak sambil menendang keras pintu. Lalu tubuhnya meluruh perlahan. Isakannya kembali.

Delam 1999 (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang