32

15.6K 1.6K 52
                                    

Zain menatap punggung Marta yang berlari menjauhinya. Zain mengusap wajahnya kasar, antara marah, kecewa dan benci menjadi satu. Zain marah dengan keadaan ini, Zain kecewa pada dirinya sendiri dan Zain benci pada takdir ini. Kenapa sulit sekali untuk bersanding dengan wanita yang sudah mengisi seluruh hatinya?

Zain menghela nafas, ia tidak mau menyalahkan Marta, apalagi menyalahkan mamanya. Zain menatap nanar cincin dihadapannya, memutar-mutarnya dan membayangkan cincin itu berada di jari manis Marta.

Tiba-tiba sebuah tepukan hangat berada di pundaknya, Zain melihat kearah orang yang duduk di sebelahnya. Ternyata Aryan, sahabatnya sewaktu mereka tinggal di pondok ini.

"Santri mana yang bisa menolak pesona Antum, hingga Antum terlihat kacau seperti ini?" Aryan memperhatikan penampilan Zain. Wajahnya kusut, rambut acak-acakan, matanya sembab.

Zain menghela nafas lalu memasukan kembali cincin itu ke dalam dompet. Dipandangnya orang yang ada di sampingnya ini. Terlihat berseri-seri wajahnya.

"Kau sedang bahagia?" Zain balik bertanya.

Aryan tersenyum lalu mengangguk. "Kau kebalikannya?" tanya Aryan kepada Zain.

"Wanita yang ku cintai sudah dipinang oleh orang lain," ucap Zain tersenyum masam, "Bodohnya aku tidak menanyakan apa-apa dulu padanya, tapi langsung melamarnya. Dan aku malah marah kepadanya. Bodoh!" sambung Zain sambil menertawakan kebodohannya.

Aryan tersenyum lalu menepuk pundak sahabatnya itu. Aryan tau, Zain pernah mengatakan kalau Zain sedang mendekati seorang wanita saat Zain terakhir kali datang ke pondok.

"Masih dilamar, kan? Belum dinikahi?"

Pertanyaan Aryan membuat Zain menoleh, menatap bingung wajah Aryan yang tampak tenang.

"Maksudmu, aku harus merebutnya? Kau gila, Yan! Bagaimana mungkin aku melamar wanita yang sudah dilamar oleh orang lain. Kau pasti tahu kalau itu dosa." Zain membuang muka, kembali menatap lurus ke depan.

Aryan terkekeh, "Aku tidak menyuruhmu melamarnya."

"Lalu?"

"Tikung dia di sepertiga malam. Hanya Allah SWT yang bisa membolak-balikkan hati hambanya. Aku yakin, kalau memang gadis itu jodohmu, pasti kalian akan bersatu."
Aryan lalu berdiri. 

"Jangan lupa hadir di pernikahanku tiga hari lagi." Aryan melenggang pergi meninggalkan Zain dengan berbagai pikiran di dalam hati.

***

Marta masih menangis, Ayu dan Andi masih menenangkan putrinya. Ayu sudah mengerti apa yang terjadi dengan Marta. Selesai pengajian tadi, Ratih meminta waktu untuk berbicara dan meminta maaf.

"Kamu menangis karena Zain terlambat melamarmu?" tanya Ayu.

Marta hanya diam dan menangis, mungkin benar ia menyesal. Tapi Marta juga mengira Zain sudah menikah, tapi nyatanya itu hanya prasangkanya saja.

"Apa Papa harus bicara lagi dengan Kyai Sepuh untuk membatalkan rencana pernikahanmu?" ucapan papanya membuat Marta menghentikan tangisnya. Marta bangun menatap kedua orang tuanya yang sedang bersedih.

 Marta menggeleng.

"Jangan, Pa. Marta akan tetap meneruskan pernikahan ini," jawab Marta sambil terisak.

"Kamu yakin, Nak?" Ayu mengusap kepala Marta yang tertutup kerudung yang sudah tidak beraturan itu.

Marta mengangguk, "Marta sudah berhasil mengatasi hatiku saat Marta tahu Zain menikah dengan Aisah. Kali ini Marta pasti bisa mengatasinya lagi, Ma." 

"Maafkan mama yang gak jujur padamu kalau Zain dan Aisah tidak jadi menikah malam itu, Mama gak tau kalau akhirnya jadi begini."

Marta mencoba tersenyum walaupun sambil terisak. "Gak apa, Ma. Marta percaya semua ini sudah menjadi garis takdir Marta. Lagi pula akan sangat memalukan bila tiba-tiba Marta membatalkan pernikahan ini hanya karena laki-laki lain."

LOVA {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang