42

14.3K 1.5K 9
                                    


Sesuai janji dari Zain, hari ini Zain mengajak Marta untuk pergi ke pondok pesantren Darussalam. Marta sangat antusias karena mereka akan pergi menggunakan helikopter. Bayangan lelah karena lamanya perjalanan yang akan ditempuh, lenyap seketika. 

Helikopter mendarat di tanah lapang yang tidak jauh dari pondok pesantren. Warga sekitar dibuat heboh dengan adanya helikopter yang menyambangi desa mereka. Warga berbondong-bondong mendatangi asal suara berisik dari mesin helikopter.

"Marta!" pekik Hani setelah Marta dan Zain turun. 

"Hani ... kangen." Marta memeluk sahabatnya erat. 

"Apa kabar, Zain?" sapa Hani. 

"Alhamdulillah, kabar baik. Mereka ini?" Zain melihat sekeliling. Ternyata para warga sudah mendekati benda asing yang menghebohkan tadi. 

"Biasalah ... di sini jangankan helikopter mendarat, lihat pesawat aja, keciiiiil banget," sahut Hani. Hingga membuat Marta tertawa mendengarnya.

"Hani." Mifta menyapa Hani dengan mengangkat tangannya. 

"Mifta?" Hani memastikan wanita yang baru datang bersama Marta dan Zain.

Mifta mengangguk tanpa ragu, kemudian keduanya berpelukan melepaskan rindunya. 

"Gimana kabarmu, Mif?" tanya Mifta.

"Tidak terlalu buruk," jawab Mifta.

"Nanti cerita ya," pinta Hani kepada sahabat lamanya.

"Iya."

Hani kemudian mengajak Zain, Marta, dan Mifta untuk menemui Abah sama Umma di pesantren yang telah menunggu kedatangan mereka. Di pesantren Darussalam, Zain dan Marta disambut dengan sangat ramah oleh Abah dan Umma juga semua pengurus pondok dan para santri.

"Main-main kemari Nak Marta, kami sudah menganggapmu sebagai keluarga di Pesantren ini," ucap Abah.

"Insha Allah, Bah. Begitu juga dengan Marta yang sudah menganggap Abah dan Uma sebagai orang tua Marta."

Setelah berbincang dengan Abah dan Uma, Marta, Mifta, dan Hani pamitan untuk mengambil barang-barang Marta yang masih tertinggal di sana. Sedangkan Zain masih berbincang bersama dengan Abah karena ada hal penting yang dibicarakan.

"Mif, jadi kamu harus putus kuliah karena Kak Rahman kecelakaan?" Hani terkejut saat mendengar cerita Mifta barusan.

"Iya, aku harus menggantikan tugas Kak Rahman untuk menghidupi keluarga kami. Walaupun hanya sebagai kurir, tapi Kak Rahman selalu memperjuangkan kehidupanku. Kak Rahman bekerja serabutan untuk menghasilkan uang tambahan agar aku bisa kuliah. Tapi, semenjak Kak Rahman sakit dan gak bisa kerja lagi, aku yang menggantikan tugas Kak Rahman mencari uang." Mifta bercerita, Hani dan Marta diam menyimak. Turut sedih mendengar cerita Mifta.

"Kenapa kamu gak terima tawaran Alva waktu itu, Mif? Setidaknya kamu bisa mendapatkan uang lebih," ucap Marta.

Mifta menghela nafas panjang. "Ada satu hal yang gak bisa aku ceritakan sama kalian."

"Apa?" tanya Hani dan Mifta secara bersamaan.

"Waktu SMA, aku pernah meminta Alva untuk pura-pura menjadi pacarku karena aku sering diganggu sama orang yang gak aku kenal."

"Oh, Om-om yang dulu ya? Yang dulu ngejar-ngejar mau melamar kamu," tebak Hani, Mifta pun menganggukan kepalanya.

"Kamu tahu, Han?" tanya Marta yang baru tahu ternyata ada peristiwa seperti itu di kehidupan Mifta.

"Gak seberapa tahu juga sih, kejadiannya itu pas kamu dirawat di rumah sakit. Tapi gak lama kemudian Om-om itu gak nemuin Mifta lagi. Dan aku baru tahu ternyata ada bantuan dari Alva," jelas Hani.

LOVA {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang