61

12.9K 1.4K 21
                                    

Hari berikutnya, Marta ingin mengunjungi kedua orang tuanya, tetapi Ayu melarang karena Marta butuh istirahat yang lebih banyak.  Sembari menunggu kedatangan orang tuanya, Marta melakukan olah raga ringan senam ibu hamil di samping rumah. Dengan menggunakan laptop sebagai media tutornya, Marta mengikuti gerakan-gerakan yang ditampilkan oleh mentor lewat aplikasi pencari video.

Belum juga selesai, kedua orang tua Marta sudah datang, disusul dengan Dena. Gadis itu sengaja datang berbarengan degan Ayu untuk menjenguk Marta sekalian memberikan undangan pernikahannya kepada Marta dan Zain. Marta pamit untuk bersih-bersih dan berganti pakaian terlebih dahulu, sebelum berbincang dengan tamunya.

"Aku berharap kamu dan Pak Zain bisa datang. Acaranya masih bulan depan sih, tapi karena aku sekalian ke mari, jadi aku bawa aja undangannya." Dena mengulurkan undangan berwarna coklat kepada Marta. Keduanya berbincang di gazebo dekat kolam renang.

"Bulan depannya,  masih dua minggu lagi." Marta membaca tanggal acara di undangan tersebut. "Alva diundang gak?" Marta bertanya.

"Kalau dia bikin gara-gara gimana?"

"Bikin gara-gara gimana?" tanya Marta penasaran. Yang Marta tahu, Alva tidak begitu peduli dengan Dena, tetapi terkadang saudaranya itu kedapatan mencuri pandang kepada gadis yang kerap berpenampilan seksi tersebut. Malahan Alva lebih peduli kepada Mifta, dan sering kali menagih janji kepada sahabatnya itu.

"Bulan lalu, Tomi dihajar sama Alva," cerita Dena.

"Tomi calon suamimu?" Marta memastikan. "Kok bisa?"

"Gara-gara Tomi nampar aku di depan rumah, Alva dateng dan langsung mukul Tomi. Sejak saat itu Tomi minta pernikahan kami dipercepat, dia khawatir kalau aku ada main sama Alva, apalagi rumah kami berseberangan."

"Tomi nampar kamu? Wah, kalau aku jadi kamu, udah ku buat dia jadi kue donat." Marta geram sendiri mendengarnya. "Kamu tetap mau nikah sama laki-laki tempramental seperti dia?"

"Aku harus nikah sama dia, gak ada pilihan lain." Dena berbicara dengan nada sedih, "Seandainya aku bisa melawan, mungkin aku sudah pergi dari dulu."

"Tapi pernikahan itu untuk seumur hidup, Dena. Kamu harus mencari laki-laki yang tepat, laki-laki yang mencintai kamu dengan tulus."

Dena menghela nafas panjang dan menatap langit-langit. "Hidupku sudah amat berat, Ta." Dena kemudian menatap Marta dan berkata, "Tidak semua orang seberuntung dirimu." 

Setelah cukup lama berbincang, Dena pamit kepada Marta, dan juga kepada orang tua Marta di dalam rumah. 

Marta mengantarkan kepergian Dena hingga di depan pintu, memperhatikan gadis itu sampai masuk ke dalam mobil yang di dalamnya ada Tomi. Marta sempat melihat perdebatan kecil dari keduanya, hingga mobil yang ditumpangi Dena pergi, Marta masih terus saja memandanginya. 

Tak berselang lama, mobil milik Ardha datang. Marta tersenyum senang melihat Papa mertuanya sudah semakin sehat walaupun berjalan dengan menggunakan tongkat. 

"Papa kenapa repot-repot datang ke mari, kan masih sakit." Marta ikut memegang lengan Nugraha untuk masuk ke dalam rumah.

"Biasa, kangen main catur sama besan," seloroh Ratih.

"Jenuh di rumah, Ma. Mending di sini, rame." Nugraha membela diri.

Marta mengantarkan Nugraha untuk duduk bersama dengan Andi, kedua orang tuanya itu sudah sangat cocok kalau sedang duduk bersama. Terkadang mereka membicarakan masalah politik yang sedang menajdi perbincangan hangat di berbagai media, kadang kala membahas masa-masa muda untuk bernostalgia.

Ponsel Zain bergetar dan menunjukan nama Alva di sana. Setelah berbicara singkat di telepon, Zain pamit untuk menemui Alva di depan.

"Sayang, aku temui saudaramu dulu ya." Zain beranjak dari sofa.

LOVA {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang