36

19.7K 1.9K 18
                                    

Acara resepsi pernikahan Zain dan Marta berlangsung meriah. Zain dan Marta terlihat serasi duduk di pelaminan. Mereka selalu menebar senyum ramah kepada setiap orang yang memberikan ucapan selamat kepadanya. Semua orang berbahagia. Keluarga saling bergantian untuk berfoto bersama, mengabadikan moment paling bersejarah dalam hidup Zain dan Marta. Papa dan mama Zain juga tak luput dari kebahagiaan, pesta ini juga sebagai rasa syukur atas kembali utuhnya keluarga Nugraha.

Santunan anak yatim dan pembagian sembako bagi warga sekitar pondok pesantren juga di telah dilakukan dengan tertib. Sebagai rasa terimakasih Nugraha, karena telah menerima kehadiran istri dan anaknya dulu di lingkungan pesantren.

Suara bisik-bisik terdengar saat seorang tamu tiba-tiba naik ke pelaminan dan memeluk pengantin wanita. Tamu itu mengenakan celana jeans dan hoodie. Alva yang menyadari segera naik ke atas panggung pelaminan dan menarik tubuh tamu tersebut, alangkah terkejutnya saat tahu kalau orang itu adalah sahabat Marta.

"Azwa?" 

"Iya, ini aku. Azwa Miftahul Jannah." Mifta melepas paksa tangan Alva dari tubuhnya.

"Kau gila, ke pesantren pakai baju seperti ini!" protes Alva melihat penampilan Mifta.

"Yang penting auratku tertutup kan? Aku sudah pakai hijab." Mifta menunjuk jilbab di kepalanya.

"Ini membungkus aurat, bukan menutup!" Alva akan menarik Mifta pergi dari sana, tetapi Mifta menolaknya, ia belum mengucapkan selamat kepada Zain.

"Maaf Lova, aku telat datengnya, tadi nganter paket dulu." Mifta kembali mendekati Marta.

"Gak apa, lihat kamu dateng aja aku udah seneng, Ta. Makasih ya," ucap Marta tulus.

"Zain, masih ingat aku?" tanya Mifta kepada Zain.

Zain mengingat-ingat siapa wanita yang berdiri di hadapan istrinya, kemudian Zain tersenyum dan mengangguk, "Yang dulu di rumah sakit?"

"Yaps, betul. Aku yang dulu maksa kamu buat pergi setelah donorin darah ke Lova," sahut Mifta dan mendapat anggukan dari Zain.

"Emang iya, Zain?" Marta memastikan.

"Iya, Sayang. Aku pernah cerita kan kalau aku begitu terpukul melihatmu terluka, Mifta yang membujukku untuk segera pergi," terang Zain.

"Kenapa?"

"Karna aku pernah denger kalau saudaramu itu galak, aku takut aja kalau Alva lihat Zain, pasti Alva akan menghajar Zain habis-habisan." Mifta bergidik ngeri.

"Owh, pantas saja aku gak bisa mencari jejak orang yang membuat Lova terluka, ternyata ada orang yang melindunginya." Alva bersedekap dada menatap Mifta dengan tajam.

"Aku gak mau kamu menghakimi orang tanpa tahu kebenarannya. Kamu kan cepet panas orangnya, kaya setrikaan rusak."

Alva tidak menjawab, tetapi menarik tangan Mifta turun dari pelaminan. Kemudian Alva menyodorkan sarung yang dipinjamnya dari salah satu santri.

"Pake!" suruh Alva.

"Nggak mau!"

"Mau pakai atau gak pakai baju sekalian!" ancam Alva.

"Dih, mulutnya!" Iya, aku pake," gerutu Mifta walaupun manyun, lalu memakai sarung pemberian Alva.

"Gini lebih baik." Alva menarik sudut bibirnya.

Alva kemudian pergi meninggalkan Mifta sendirian, membiarkan Mifta untuk bergabung bersama Hani yang malah seperti acara reoni karena sudah lama tidak bertemu.

"Kau terlihat akrab dengannya," ucap Ardha yang sempat melihat Alva tadi.

"Dia sahabat Lova. Umurnya dua tahun di bawah kami, jadi, terlalu muda untuk Anda." 

LOVA {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang