63

12.3K 1.4K 25
                                    

Pertanyaan Marta membuat Zain dengan cepat membungkam mulut istrinya, "Jangan diledekin, nanti setannya nemplok lagi ke badan Kak Ardha," bisik Zain ditelinga istrinya.

Marta dengan cepat melepaskan bekapan tangannya Zain, "Iiiiih ... kan aku juga pengen tau, Mas. Soalnya salah satu rukun sholat kan baca Al fatihah. Kalau Al fatihah aja nggak hafal, gimana mau sah sholatnya. Sholat dzuhur-kan imamnya diem aja, tau-tau langsung ruku'," ucapan Marta sontak membuat semua menoleh kearah Ardha.

"Kamu hafal tidak, Dha?" tanya Nugraha.

Ardha mendengus, "Kalau kamu bukan istrinya Zain yang lagi hamil, aku cium kamu, Marta," ucap Ardha gemas. 

Zain langsung menoleh melihat kakaknya. "Nih cium!" Zain mengepalkan tangannya di depan wajah Ardha. 

"Marta, suami kamu kalau cemburu ngeselin ya." Ardha menurunkan tangan Zain yang menggantung di udara.

Marta hanya cekikikan mendengarnya. 

"Jadi hafal tidak, Dha?" Nugraha masih penasaran.

"Hafal, Paaa." Ardha melirik papanya sebal. 

"Dari pagi aku ngafalin itu surat sama bacaan sholat. Untung otakku ini encer, jadi langung hafal. Cuma bacaan Attahiyatnya aja sih yang kadang ketuker-tuker masihan," jelas Ardha sambil terkekeh. Memang sedari pagi, Ardha menyendiri di gazebo untuk menghafal bacaan-bacaan sholat lewat ponselnya.

"Kak Ardha bisa baca tulisan Arab?" tanya Marta lagi.

"Kan ada latinnya."

"Kan cara bacanya beda."

Ardha sedikit geram dengan adik iparnya ini, bener-benar pengen ngarungin ini perempuan hamil.

Ternyata setelah lebih dekat dengan Marta, Ardha ternyata lebih nyaman seperti ini. Menganggap cinta pertamanya sebagai adiknya sendiri, itu sudah merupakan kebahagiaan tersendiri untuk seorang Ardha.

"Alva!" serunya.

"Ya, Bos?"

"Cari guru ngaji dan segera atur jadwalku, aku tidak mau diledekin lagi oleh dua manusia ini." Ardha menunjuk Zain dan Marta menggunakan dagunya.

"Siap, Bos," jawab Alva yang langsung sibuk dengan ponsel pintarnya.

Sedangkan Zain hanya menahan senyum melihat perdebatan istri dan kakaknya. Zain berharap kakaknya akan istiqomah dalam menjalankan perintah Sang Pencipta dan keluarganya bisa rukun selamanya.

***

Matahari mulai condong kearah barat, membuat sang surya tidak lagi terasa menyengat. Satu persatu para tamu mulai bedatangan.

"Mbak Marta, Azka datang lagi." Azka dengan girang mengelus perut Marta. "Adek kecil, nanti mainnya sama tante Azka ya, kita jajan es krim bareng." Azka berbicara di depan perut Marta.

"Iya, biar bisa kamu porotin itu anak kecil kaya raya," omel Ismawan.

"Ih, Bang Awan gak asik." 

"Biarin." Ismawan membalas.

"Daripada kau di sini, mending tuh ke sana ... ada Dokter Very dan Tria." Zain datang menemui Ismawan.

"Bang, samperin sana. Bukannya dulu waktu kita di apartemennya Bang Ardha, Abang sama Mba Tria sering berduaan." Azka mendorong-dorong tubuh Ismawan.

"Wan!" Zain melirik tajam kearah Ismawan.

"Cuma ngobrol, Bos. Suer!" Dua jari Ismawan terangkat menunjukkan huruf V di depan Zain.

"Bohong, Bang!" sanggah Azka. Aku pernah mergokin mereka lagi__"

Mulut Azka langsung dibungkam oleh Ismawan. Adiknya terlalu comel mulutnya. Ismawan menggelengkan kepalanya saat melihat mata Zain yang sudah membulat menatap tajam dirinya.

LOVA {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang