52

12.8K 1.2K 12
                                    

Selama kehamilannya, hanya di trimester pertama saja Marta mengalami morning sickness. Setelah itu, Marta mau makan apa saja asalkan itu makanan yang sehat. Orang tua dan mertuanya sangat perhatian kepada Marta, dan seringkali membawakan makanan saat berkunjung, ataupun membuatkan makanan saat Marta mendatangi rumah mereka. 

Zain dan Marta juga sesekali menginap di rumah Ayu dan juga di rumah Ratih secara bergantian. Apalagi Saat Zain melakukan perjalanan bisnisnya ke luar kota ataupun ke luar negeri, Marta jadi lebih sering menginap di rumah orang tuanya.

Ya, bisnis Zain berkembang sangat pesat. Kehamilan istrinya membuat Zain lebih semangat untuk bekerja. Zain adalah orang yang cerdas, ia bisa melihat peluang untuk memajukan usahanya dengan cepat. Zain juga selalu berusaha untuk menjadi suami siaga. Segala permintaan Marta selalu dikabulkan. Entah itu ngidam betulan atau bukan, menurut Zain keinginan Marta wajib untuk dipenuhi.

Marta sudah tidak bekerja karena perutnya yang semakin membesar. Di usia kehamilannya yang sudah memasuki tujuh bulan, Marta sudah kesulitan untuk bergerak. Cafe Lova sudah Marta serahkan kepada Alva kembali, dan Mifta yang menjadi orang kepercayaannya mengurus Cafe. Arkan sudah tidak mungkin lagi mengurus cafenya, karena ia sedang mempersiapkan diri untuk berangkat kuliah ke London mengikuti jejak kakak tertuanya. 

"Dek, nanti kalau di sana jangan nakal ya. Jangan pacaran sama bule," pesan Marta kepada Arkan saat mengantarkan adiknya ke bandara.

"Bang, inget ada hati yang selalu setia menjaga Abang di sini," sahut Azka. Bocah berseragam SMA itu turut serta mengantarkan kepergian Arkan. 

"Lo kenapa ikut ke sini?" tanya Arkan.

"Diajak Mba Marta," jawab Azka.

"Kasihan dari semalem merengek minta ikut," sahut Marta.

Arkan kemudian menarik kerah baju Azka bagian belakang, menjauh dari Marta, Mifta, Alva, dan juga kedua orang tuanya yang turut mengantarkan kepergiannya. 

"Bang, Azka bukan kucing!" protes Azka melepaskan tangan Arkan.

"Lo kelas berapa sekarang?" 

"Kelas sebelas," jawab Azka.

"Masih bocah banget," gerutu Arkan.

"Azka udah gede ya, Bang. Bentar lagi udah punya KTP."

"Alasan lo mau nunggu gue itu apa?"

"Ya ... karna Azka cinta sama Abang."

"Nih bocah mulutnya gak direm kalau ngomong." Arkan melihat sekeliling, agak malu juga karena suara Azka yang terdengar cukup kencang.

"Kenapa sih? Azka kan emang cinta sama Bang Arkan." Azka semakin percaya diri.

"Bocah, dengerin gue," pinta Arkan.

Azka menganggukkan kepalanya.

"Kalau lo bisa lulus dengan nilai terbaik dan bisa masuk universitas terbaik di kota ini, gue akan pertimbangin perasaan lo ke gue," janji Arkan.

"Serius, Bang?" Mata Azka berbinar senang, apalagi Azka melihat Arkan menganggukkan kepalanya tanpa ragu.

"Azka janji, akan belajar lebih giat!"

Arkan tersenyum meremehkan, "Sekarang aja peringkat dua puluh lima dari dua puluh delapan siswa, gimana mau jadi lulusan terbaik?"

"bener juga." Azka membenarkan ucapan Arkan, "Tapi, Azka akan berusaha. Kelas dua belas Azka akan belajar mati-matian buat masuk tiga besar." Semangat Azka berkobar meyakinkan Arkan.

"Berjuanglah dengan keras, kalau gagal jangan nangis," ledek Arkan sambil tertawa meninggalkan Azka.

Azka kemudian berlari mengikuti Arkan yang kembali ke rombongan keluarga. 

LOVA {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang