43

14.7K 1.6K 22
                                    


Minggu ke-empat, giliran Zain dan Marta bergantian tinggal di rumah Nugraha. Marta merasa tidak enak hati jika harus tinggal di rumah orang tuanya terus. Marta juga memikirkan suaminya yang mungkin juga merindukan suasana rumah dan ingin tinggal bersama keluarganya. Kedatangan Zain dan Marta disambut hangat oleh Nugraha dan Ratih, mereka sangat senang akhirnya Zain dan Marta mau tinggal bersama mereka. Ratih mengerti akan kondisi Marta yang mungkin masih merindukan keluarganya hingga mereka bergiliran satu minggu sekali untuk tinggal di rumah Andi dan Nugraha. 

"Kakak gak pulang, Ma?" tanya Zain kepada mamanya.

"Kemarin sih pulang, gak tahu malam ini," terang Ratih. 

Zain lalu melihat layar ponselnya, sejak hari di mana Zain memergoki Ardha di Apartemen, Ardha tidak pernah sekalipun menghubunginya. Zain sempat bertanya kepada Alva perihal hal ini, tetapi saudara iparnya mengatakan hal itu bukan ranah Alva, jadi Alva tidak bisa ikut campur.

Sementara di tempat lain, Ardha sedang berada di sebuah club elit ditemani oleh Very. Mereka berada di ruangan VIP hanya berdua. Very masih bingung melihat perubahan pada diri Ardha, biasanya Ardha elalu ditemani oleh gadis-gadis sexy di club itu. Tetapi sudah tiga hari ini, Ardha selalu menolak wanita-wanita yang dengan sukarela datang kepadanya.

"Lo gak pulang ke rumah papa lo, ada Zain kan di sana?" Very memperhatikan Ardha yang bersandar di sofa. Mendengar kata tobat, Ardha kembali menenggak minuman beralkohol di hadapannya.

"Gue nggak kuat satu rumah dengan istri adik gue. Gue selalu nahan diri untuk nggak perhatiin dia, tapi gue yang kesiksa," keluh Ardha. 

"Lo nafsu lihat wanita pakai gamis?" Very meledek Ardha dengan senyum remehnya.

"Lo nggak tau aja, Bro. Cewek pakai gamis itu bikin penasaran. Gue cuma lihat betisnya doang pas dia ambil wudhu, ini otak gue langsung mengirim sinyal-sinyal aneh. Junior gue langsung tengangan tinggi kaya' menara sutet." Ardha tampak frustrasi tapi malah disambut dengan tawa dari sahabatnya itu.

"Itu memang lo yang otaknya mesum," ejek Verylalu terbahak. "Terus apa yang bakal lo lakuin?" kini ucapan Very berubah serius.

Ardha mengambil nafas berat, "Gue nggak tau, Zain marah sama gue. Dan pasti dia akan lebih marah lagi kalau tahu gue suka sama istrinya." 

"Lo menginginkan adek ipar lo, itu sama aja merusak kebahagiaan adek lo sendiri." Very mendadak bener otaknya.

"Gue tau, dan itu yang bikin gue frustrasi dan nggak mau tidur di rumah semenjak Zain dan istrinya tinggal di rumah juga, otak gue mikir macem-macem saat mereka masuk kamar berdua," keluh Ardha.

"Mereka udah nikah, wajar kalau mereka macem-macem."

"Lo belum nikah, tapi udah macem-macem," balas Ardha.

"Sama, lo juga." Very gak mau kalah..

***

Ardha sudah berada di dalam kamar apartementnya seorang diri. Tidak seperti malam-malam biasanya yang pada saat pulang dari club malam yang selalu saja membawa oleh-oleh seorang wanita penghibur untuk menemaninya tidur.

Ardha lalu mengambil ponsel dan menghubungi Alva. Asistennya itu selalu siaga menerima panggilan dari bosnya walaupun jam sudah menunjukan lewat tengah malam.

"Al, besok pagi ambilkan baju kerjaku di rumah. Aku sedang menginap di apartement!" perintah Ardha.

"Baik, Boss, selamat bersenang-senang."

"Aku tidak sedang bersama perempuan sekarang!" seru Ardha dan langsung mematikan panggilan telponnya. "Sial kau, Al!" Ardha mendengus kesal lalu melempar ponselnya dan segera menghempaskan tubuhnya ke kasur empuknya. Kasur yang entah sudah berapa wanita bermain di atasnya.

LOVA {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang