Ekstra part 4

23.1K 1.5K 10
                                        

Kedua saudara kembar itu masih saling berpelukan. Marta yang baru saja mengetahui perjuangan Alva merasa bersalah telah membantah omongan Alva selama ini.

"Al, apa aku harus merubah sikapku menjadi lemah lembut padamu?" tanya Marta

"Jangan. Aku lebih menyukaimu yang apa adanya. Kamu tahu, kalau saja kamu bukan saudaraku, pasti aku sudah jatuh cinta padamu, Va," sahut Alva membelai lembut kepala Marta.

Marta menarik dirinya dari dekapan Alva. "Bukankah kamu sangat kesal dengan semua sikapku selama ini?"

"Memang," jawabnya lalu terkekeh kecil saat melihat Marta yang mengerucutkan bibirnya.

"Memang aku sering kesal dengan sikapmu, tapi aku sangat merindukan hal itu saat jauh denganmu. Apalagi awal-awal kamu tinggal di pesantren, aku sangat kehilanganmu. Tidak ada lagi yang ku ajak bertengkar di rumah, rumah jadi sepi tanpa kamu, Va."

Marta tersenyum, "Aku 'kan udah bilang, aku itu ngangenin, tauk." Marta memukul pelan lengan Alva.

"Jangan menyusahkan suamimu ya, Va. Jadi istri dan ibu yang lebih dewasa lagi, buang sifat menjamu dan sikap kurang pedulimu itu. Karena aku tidak bisa bersama kamu terus menerus, karena kamu bukan lagi tanggung jawabku dan papa."

"Al, jangan ngomong kaya' gitu. Aku nggak mau kamu jauh-jauh dariku, Al."

"Kamu sekarang adalah tanggung jawab Zain. Surgamu ada pada dirinya. Kamu tidak bisa ke luar dari rumah tanpa persetujuan darinya, bahkan untuk menemui keluargamu sekalipun," ujar Alva.

"Alva!"

Marta dan Alva menoleh ke sumber suara, ternyata Zain sudah berdiri di ambang pintu.
Zain tadi sempat tebakar amarah saat pulang kantor melihat istrinya dipeluk laki-laki lain.
Tapi kemudian ia bernafas lega saat mengetahui kalau laki-laki itu adalah Alva. Zain berjalan mendekati mereka. Zain tadi sempat mendengar ucapan Alva yang terakhir.

"Al, kau tau? Aku tidak bisa cemburu dengan tiga orang pria di dunia ini. Papa Andi, Arkan dan dirimu," ucap Zain.

"Jangan kau menganggap aku ini kejam, Al. Lova memang istriku dan juga tanggung jawabku, tapi Lova bisa seperti ini karena kalian semua. Apalagi denganmu, Al. Kalian sudah bersama-sama sejak masih dalam kandungan, bahkan sejak masih dalam bentuk gumpalan darah. Bagaimana aku bisa kejam melarang istriku untuk menemui keluarganya." Zain menghapus air mata istrinya.

"Sayang, aku membebaskanmu untuk bertemu dengan keluargamu, dengan atau tanpa izin dariku, kapanpun kamu mau," ucap Zain.

"Beneran, Mas?" Marta menatap lekat Mata Zain yang sedang duduk di tapi ranjang juga disebelah kanan Marta.

Zain mengangguk, "Iya, Sayang."

"Terimakasih, Mas."

"Al."

"Ya, Zain?"

"Terimakasih telah menjaga istriku selama ini, Al. Tapi aku boleh minta satu hal padamu?" tanya Zain yang masih memeluk Marta.

"Katakan, Zain."

"Mulai saat ini, biarkan aku yang menggantikan tugasmu untuk menjaga istri dan anakku. Aku akan meminta bantuanmu bila kelak aku membutuhkannya, Al," pinta Zain.

Alva terdiam.

"Berikan aku kepercayaan untuk melakukannya, Al. Aku berjanji kejadian tempo dulu tidak akan terulang lagi. Aku ingin menjadi pelindung untuk keluargaku." Zain mengucapkannya dengan penuh keyakinan.

Alva mengangguk setuju. "Aku akan menarik dua orang yang mengawasi Lova selama ini. Aku percaya kau bisa menjadi suami yang bertanggung jawab atas keluargamu." Alva lalu berdiri dan disusul oleh Zain dan Marta.

"Aku datang kemari untuk berpamitan kepada kalian, karna besok aku akan tinggal di Lampung, tapi aku akan sering pulang untuk menengok papa dan mama."

"Sudah dapat rumahnya, Al?" tanya Zain yang tahu kalau Alva sebelumnya pergi karena akan mencari tempat tinggal untuknya.

"Sudah, aku juga sudah merenovasi rumah itu supaya lebih luas. Kapan-kapan aku akan ajak kalian ke sana," janji Alva.

"Hati-hati tinggal di sana, Al. Adat dan budaya mereka berbeda dengan kita di sini," pesan Zain.

Alva menganggukkan kepalanya, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Baby Varo.

"Dia akan menjadi laki-laki yang hebat sepertimu, Al," ucap Marta.

"Aku memang hebat, nyesel kan baru tau?"

Marta mendengus ketika Alva kembali menjadi orang yang menyebalkan.

"Udah pulang sana, jangan lupa cari jodoh."

"Menikah itu bukan ajang balapan, Va. Ya kalau sampai finish, kalau dalam perjalanan kena tikung atau jatuh karena tergelincir, bagaimana? Mending juga pelan tapi pasti dan jelas sampainya."

Zain mengangguk setuju. "Kalau di sana ada kesulitan, jangan segan untuk menghubungiku ataupun kak Ardha."

"Terimakasih, Zain. Aku pamit. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam ...." jawab Zain dan Marta bersamaan.

Alva mendekati Marta lalu mencubit hidung Marta dengan gemas. "Ucapan selamat tinggal," ucapnya lalu berlari ke luar kamar.

"Alva ... dasar saudara durhaka!" teriak Marta. Ia mengomel sambil mengumpat kembaranya yang berjalan cepat menuruni tangga.

"Sudah, Sayang. Yuk masuk, ada tugas penting untukmu," bisik Zain.

"Mas!"

"Iya, Lova-ku. Belahan jiwaku."

"Kita mau ngapain emangnya?" tanya Marta dengan polosnya.

"Mau bilang kalau, terimakasih sudah hadir di hidupku. Terimakasih sudah menjadi lentera di gelapnya hidup. Meskipun terlambat menemuimu, tetapi aku bahagia karena ternyata aku belum terlambat untuk memilikimu."

"Terimakasih juga, Mas, karena kamu pernah menolongku dengan darahmu. Gara-gara itu aku gak bisa cinta sama orang lain." Marta menimpali sambil tertawa.

"Ternyata kita menyadari perasaan kita lebih cepat ya, Sayang."

"Iya, Mas. Ternyata kita sudah saling cinta dari dulu."

Itulah jodoh, sejauh apapun dikejar kalau memang bukan jodohnya tidak akan bisa bersatu, tetapi jika ada memang jodohnya, sejauh apapun pasti akan dipertemukan, walaupun jalannya tidaklah mudah.

💝

Serius Tamat.

LOVA {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang