41

16K 1.6K 30
                                    

"Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam," jawab Marta, lalu diraihnya tangan kanan suaminya dan diciumnya. 

"Bagaimana sholat subuhnya di masjid, Mas? Apa masih banyak ibu-ibu jamaah sholat dadakan seperti waktu magrib kemarin?" tanya Marta.

Memang setelah diadakan acara syukuran kemarin, para tetangga menjadi antusias untuk melihat seperti apa memantu dari keluarga Andi. Apalagi ibu-ibu yang tidak ikut acara pengajian kemarin, berbondong-bondong datang ke masjid hanya ingin melihat seperti apa laki-laki yang menjadi buah bibir di kompleksnya. 

"Ibu-ibunya sih hanya beberapa, tapi ada satu bapak-bapak yang menawarkan anaknya untuk dijadikan istri keduaku, Sayang." Zain terkekeh mengingat kejadian seusai sholat subuh tadi di masjid. 

Mendengar ucapan suaminya, Marta jadi geram. Baru tiga hari menikah ada yang coba-coba mau jadi orang ketiga di dalam rumah tangganya. "Kamu jawab apa, Mas?" Marta memicingkan matanya. Menatap tajam suaminya.

"Aku bilang, kalau aku membawa pulang madu dihadapan istriku, sudah kupastikan istriku akan menyambutku dengan racun di tangannya." Zain mencubit hidung Marta gemas.

"Oh ... kirain kamu mau nerima tawaran orang itu. Siapa sih memangnya?" tanya Marta penuh selidik. 

"Mana ku tahu, Sayang. Aku kan tidak mengenal orang sini. Cuma ... sepertinya punya jabatan, soalnya terlihat banyak yang menghormatinya, Sayang," jawab Zain. 

Marta menganggukkan kepalanya, hampir tiga tahun tinggal di komplek ini tidak membuatnya kenal banyak orang. Jadi Marta tidak tahu siapa orang yang dimaksud Zain. 

"Sayang, kita pergi ke pesantren Darussalamnya besok saja ya. Aku mau ke kantor dulu hari ini. Ismawan memberi kabar kalau hari ini ada penandatanganan perjanjian kerjasama dengan investor dari luar kota," kata Zain.

"Iya, Mas ... nggak apa-apa. Aku juga mau ke cafe dulu hari ini, mau ngecek kerjaan Arkan," sahut Marta. 

"Iya, Sayang. Nanti kita berangkat bareng ya. Aku juga rencananya mau menemui Kak Ardha dulu di kantor, jadi mungkin nanti habis magrib baru bisa jemput kamu di cafe." 

"Iya, Mas. Aku bawa ganti sekalian nanti buat mandi di sana," sahut Marta. 

Zain mengangguk dan tersenyum. Lalu Marta membantu Zain untuk menyiapkan pakaian kerjanya.

"Aku turun dulu untuk siapin sarapan ya, Mas," ucap Marta setelah meletakan pakaian yang sudah rapih diatas tempat tidur. Pakaian Zain tadi sedikit kusut, jadi Marta menyetrikanya dahulu. 

"Iya, Sayang." Zain mengangguk. 

Marta lalu keluar kamar menuju dapur. Menyiapkan sarapan untuk suaminya dan membantu Diah dan Ayu seperti biasa. 

"Kok cuma telur goreng, Marta?" Ayu melihat Marta menghidangkan makanan di depan Zain yang telah duduk di kursinya.

"Namanya omelet, Ma. Zain nggak terbiasa makan nasi kalau pagi-pagi," terang Marta yang kemudian duduk di samping Zain.

"Orang tajir mah makanannya sedikit tapi ngabisin modal ya, Kak," celetuk Arkan, ia menyendok nasi kedalam piringnya.

Zain tersenyum, "Saya suka mengantuk kalau pagi-pagi makan nasi, Ar," jawab Zain.

"Kalau di rumah ini, Bang, orangnya suka makan berat kalau pagi-pagi. Sudah kebiasaan dari dulu, tapi semenjak Kak Lova kuliah, Kak Lova nggak terlalu suka makan makanan berat, takut gendut mungkin." Arkan melirik Marta.

"Ar, masih pagi ini loh. Jangan bikin tanduk Kakak numbuh ya." Marta melirik tajam Arkan, si adik durjana.

"Arkan, pimpin doa, jangan ribut kalau di depan meja makan. Kita harus bersyukur dengan rezeki yang kita dapatkan hari ini dengan cara menikmati dengan benar makanan yang kita makan," perintah Andi mampu membuat seisi rumah mengangguk patuh. Termasuk Zain. Bos akan tetap patuh kepada mertua.

LOVA {Tamat}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang