📏7. His Wound💊

61 10 3
                                    

7. His Wound

Langit cerah sedikit berawan kota London menyapa Tsabita yang sedang keluar dari bandara internasional London Heathrow Airport

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit cerah sedikit berawan kota London menyapa Tsabita yang sedang keluar dari bandara internasional London Heathrow Airport. Ia mendorong kopernya sembari menggandeng tangan Maira yang terlihat lemas dan pucat.

Perjalanan jauh ditambah memikirkan kondisi Arga, membuat Maira down dan tidak nafsu makan. Sedangkan Manaf terlihat mengecek smartphone nya untuk melihat balasan chat dari temannya yang akan memberi tumpangan menuju rumah sakit di mana Arga dirawat.

Tsabita mengelus pundak Maira pelan, bertanya, "Umi mau minum dulu, kah?"

Maira menggeleng, mengelus juga tangan Tsabita yang masih bertengger di pundaknya, "Umi mau ketemu Arga aja, Ta."

Manaf yang sudah memasukkan smarthone nya dalam saku kemejanya, berucap, "Kita jalan ke depan lagi, ya? Teman Abi ada di parkiran. Umi masih kuat, kan?"

Maira mengangguk, "Ya udah. Ayo cepat, Bi!" ucap Maira. Mereka bertiga pun berjalan menuju ke depan.

Seseorang yang sedang duduk di kursi kemudi mobil dengan warna hitam, melambaikan tangan melalui jendela samping mobil yang sudah dibuka. Manaf melambaikan tangannya balik.

"Assalamualaikum, San," salam Manaf pada Hasan, teman nya yang bertempat tinggal di London.

"Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh," jawab Hasan, lalu mengangguk sopan ke arah Maira dan Tsabita yang berada tidak jauh dari posisi Manaf, "silakan naik, Naf. Istri dan anak ente juga disuruh masuk, kita masih perjalanan lagi ke Kota Oxford," Hasan membuka pintu mobil sisi lainnya.

Manaf mengangguk, "Afwan, ane ngerepotin banget."

Hasan menggeleng, "Nggak-nggak. Sama siapa aja ente, nih."

Manaf tertawa pelan dan menaruh koper-koper di bagasi mobil, lalu menuntun istrinya duduk di kursi belakang bersama Tsabita, sedangkan dirinya duduk di samping kursi kemudi.

Mobil pun perlahan meninggalkan bandara. Manaf menoleh ke belakang, "Mi, perjalanan masih dua jam. Umi tidur aja, ya?" Manaf menatap sendu manik mata Maira yang bengkak karena banyak menangis.

"Iya Umi tidur. Sini kepala Umi sender di bahu Bita," Tsabita memposisikan duduknya supaya Maira nyaman bersender di bahunya.

Maira yang mau menolak pun urung, karena Manaf menatapnya penuh permohonan, "Please," mohon Manaf lirih.

Maira menghela napas, mengangguk lalu memejamkan mata. Tsabita menyentuh pelan kepala Maira untuk rebah di bahunya.

"Makasih Bita," ucap Maira, melihat ke arah Tsabita.

"Iya Umi. Umi tidur lah," Tsabita tersenyum. Lalu, Maira memejamkan matanya lagi.

Hasan, teman Manaf hanya bisa tersenyum bahagia. Keluarga temannya sangat harmonis dan ia bersyukur atas itu. Manaf yang dahulu ia kenal sebagai pemuda tangguh dan pantang menyerah, telah menemukan pelengkap hidupnya sekaligus keluarga kecil yang diidamkan oleh semua orang yang kenal dengan mereka berdua, Manaf dan Maira. Hasan juga merasa takjub dengan ketulusan hati Tsabita kepada keluarga Manaf. Ia tahu bahwa faktanya, Tsabita bukan anak kandung Manaf dengan Maira. Namun, Manaf selalu bercerita dia memiliki anak dua dan sangat membanggakan anak perempuannya yang sebentar lagi menjadi calon dokter mengikuti jejak istri Manaf.

Dark Sky With(out) StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang