📏34. Please, be My Support System!💊

26 8 0
                                    

34. Please, be My Support System!

"Jadi, bagaimana Tsabita? Apa jawabanmu, Nak?" Hasyim bertanya pada anaknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi, bagaimana Tsabita? Apa jawabanmu, Nak?" Hasyim bertanya pada anaknya.

Setelah melepas ego masing-masing, menanggalkan kesombongan hati, berucap dengan penuh ketulusan, para orang tua mengajak Arga dan Tsabita bergabung. Mendengar jawaban Tsabita atas khitbah dari Arga. Mendiskusikan bagaimana kelanjutan hubungan antara dua keluarga ini.

Tsabita melihat ke arah Mama dan Papanya, dirinya perlu persetujuan mereka, "Untuk kali ini, Bita yang tentukan. Ini akan menjadi ibadah terlama untuk kalian. Jadi, Bita yang tentukan. Apapun keputusan Bita, Papa dan Mama akan menyetujuinya," begitu ucap Hasyim selaku kepala keluarga. Ia paham dengan makna dibalik tatapan Tsabita kepada dirinya.

Firda mengangguk, membenarkan ucapan Hasyim, "Benar Ta. Apapun jawabanmu, Mama akan mendukungmu," Firda mengelus punggung putrinya dengan lembut.

Tsabita membenarkan letak kacamatanya, menautkan kesepuluh jarinya. Saling meremas. Ia bukannya gugup, hanya saja bingung harus bersikap seperti apa, "Bita mau bicara dulu sama Arga. Boleh?" Tsabita akhirnya meminta izin untuk berbincang terlebih dahulu dengan Arga. Tsabita ingin meyakinkan jawabannya melalui pembicaraannya pada Arga nanti. Ia juga telah melakukan salat Istikharah. Semoga saja, pilihannya nanti yang terbaik bagi dirinya maupun bagi Arga.

Manaf tersenyum, "Baiklah, kita kasih ruang buat Bita dan Arga berbicara. Nak, tetap jaga jarak, oke?" Manaf menepuk pundak Arga.

Arga mengangguk canggung, "Lagian Abi juga kan, pasti mantau kami," celetuknya.

Semua orang tertawa, kecuali Tsabita.

Mereka berdua sekarang berada di teras depan, sedangkan para orang tua berbincang di ruang tamu.

"Apa kamu mau memastikan sesuatu, Ta?" Arga yang membuka suara karena Tsabita hanya diam.

Tsabita mengangguk, "Alasan kamu menikah apa sih, Ga?" Pertanyaan pertama yang menjadi pendukung keputusan yang akan Tsabita ambil.

"Aku ingin menggenapkan diriku yang ganjil. Aku ingin perjalanan menuju Allah ini, aku lalui bersama orang spesial dalam hidupku," jawab Arga tanpa ragu.

"Bukannya orang spesial yang kamu maksud itu Ungu, Ga?" Tsabita menatap ke langit malam. Gelap, bintang tak terlihat di sana.

Arga juga mendongak menatap langit malam tanpa bintang itu, "Aku hanya mengusahakan apa yang menjadi kuasaku. Masalah Ungu, aku tidak bisa mengusahakannya."

"Katakanlah orang spesial penggantinya adalah aku. Lalu, kenapa harus secepat ini? Maksudku, kamu saja belum selesai dengan masa lalumu sendiri, yang artinya kamu juga belum selesai dengan dirimu sendiri. Mau se-apatis apapun diriku, aku menyayangi diriku sendiri. Aku berharga, setidaknya bagi diriku sendiri. Aku tidak mau terluka. Mama dan Papa memberi kesempatan untukku. Kali ini, mereka menyerahkan keputusannya kepadaku. Aku bersyukur, di sisi lain, aku juga bingung. Aku merasa sudah ketergantungan untuk dipilihkan jalan yang aku harus lalui. Dan kali ini, entah kenapa aku harus memilih untuk bahagia. Menjadi Tsabita yang bebas dan tidak terkungkung dari rasa-rasa yang menyesakkan hatiku," Tsabita menjeda, "apa aku bisa mempercayakan bahagiaku kepadamu, Ga? Bisakah kamu?"

Dark Sky With(out) StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang