Epilog
Momen yang ditunggu-tunggu oleh anak remaja yang mulai beranjak dewasa adalah ketika mimpi yang ingin mereka tuju ada di depan mata mereka. Dekat. Sangat dekat. Detak jantung yang berdebar ingin segera menggapainya. Tinggal selangkah lagi. Satu langkah, namun pasti.
Wisuda Al-Firdaus Boarding School dilaksanakan di malam hari di gedung serbaguna yang menjadi gedung iconic Al-Firdaus. Para wisudawan dan wisudawati mengenakan seragam kebanggaan mereka pada acara wisuda sekaligus acara perpisahan itu.
Menjadi salah satu wisudawati yang mengalungkan lanyard di leher tanda bahwa dirinya adalah peserta, Tsabita berjalan keluar gedung untuk mencari udara segar. Sangat sesak di dalam. Bahkan untuk duduk dengan tenang pun Tsabita merasa sesak. Ia tak tahu kalau kegagalan akan sesakit ini efeknya.
Benar, ia baru saja mendapat kabar yang kurang menyenangkan terkait proses rekrutmen mahasiswa/i baru di NUS. Ia gagal pada tahap akhir.
Tsabita mendongak melihat langit yang tanpa bintang itu. Bahkan langit pun tak tampak berkilauan dikarenakan pancaran kelap-kelip bintang tak telihat satu pun.
"Ini," seseorang menyodorkan buket bunga mawar merah pada Tsabita.
Tsabita menoleh, "Buat aku?" tanyanya memastikan.
Arga tersenyum, "For special girl."
"Buat Ungu berarti," timpal Tsabita. Ia tak langsung menerima buket bunga dari Arga itu.
Arga menggeleng, "Kamu, Bita. Jangan anggap kamu enggak sepesial. Please," pinta Arga.
"Makasih," jawab Tsabita. Ia menghirupnya, "langitnya gelap, enggak ada bintang. Jadi, aku ngerasa langit dan situasi yang terjadi enggak spesial. Apalagi aku sendiri, Ga."
"Apa yang spesial itu mesti langit dengan bintang?" Arga memasukkan tangannya di saku celana seragamnya.
"Ya pasti. Yang sempurna, yang indah itu yang paling spesial," balas Tsabita.
Arga menghela napas, "Kalau menurutku, spesial enggak perlu sempurna. Karena enggak perlu pakai standar kebanyakan orang atas nilai spesial adalah sempurna. Bahkan, langit tanpa bintang aja tetap indah karena ciptaan Allah itu enggak diragukan lagi keindahannya. Bintang di langit malam memang cantik. Tapi, langit gelap yang Allah tunjukan tanpa bintang malam ini enggak kalah cantik. Apalagi ada perempuan di sampingku ini yang melihat langit bersamaku. Tambah cantik, mengesankan."
"Apa kamu sedang menghiburku?"
"Bukan. Tapi, aku nunjukin ke kamu kalau kamu spesial. Kalau kamu enggak merasakannya, izinkan aku yang merasakannya. Bagiku, kamu spesial, Bita. Sahabatku, adik kecilku yang baik dan punya senyum hangat. Coba, aku mau lihat senyum kamu itu!"
Tsabita tersenyum. Walau bukan penghiburan seperti yang ia pikirkan. Baginya, apa yang dilakukan Arga ini sangat menghiburnya dari rasa sedih dan kecewa.
"Aku ingin orang-orang lihat bahwa kamu punya senyum yang hangat seperti yang kamu tunjukkin ke aku. Jangan ngerasa dunia ini berputar di kamu aja, Ta. Kamu enggak selalu jadi pemeran utamanya. Aku harap, kamu bisa buka diri dan enggak abai sama sekitarmu. Sekelilingmu. Mesti dingin dan apatis, aku tahu itu sebagai tameng kamu. Tembok penghalang agar kamu enggak tersakiti sama dunia."
Tsabita membuang wajahnya. Ia merasakan apa yang dikatakan Arga sangatlah tepat mengenai sasaran.
"Enggak peduli apa pun momennya, situasinya, dan kondisinya, kamu yang bisa menilai dan memberi label spesial pada diri kamu sendiri, Bita. Aku harap setelah ini kamu juga merasakan bahwa kamu spesial seperti yang aku rasakan. Meski sulit, karena kamu selalu mengelak rasa itu. Hanya saja, kamu enggak percaya diri, enggak membuka diri, dan terkesan tak acuh. Pelan-pelan, Ta. Pelan-pelan pasti kamu bisa melihat potensi diri kamu sendiri. Kamu bisa menyayangi apa yang ada dalam diri kamu sendiri baik kelebihan maupun kekurangan."
"Kamu ngucapin kayak begini bukan sebagai nasihat sebelum kita berpisah, kan?" mata Tsabita berkaca-kaca. Entah kenapa, ia merasa sedih.
Arga tak merespons. Ia malah merasai angin di malam ini yang dingin.
"Kenapa nangis?" tanya Arga ketika dirinya melihat Tsabita yang meneteskan air mata.
"Apa? Aku enggak nangis. Aku kelilipan aja!" elak Tsabita.
Arga tersenyum, "Jangan nangis! Iya, kita akan berpisah buat sementara waktu."
Tsabita sesenggukan mendengar kata yang diucapkan Arga itu.
"Hei, jangan nangis. Aku enggak suka kamu sedih gara-gara aku."
"Aku enggak sedih karena kamu, Ga. Aku sedih karena ngecewain Mama. Aku gagal masuk NUS."
Arga terkekeh, "Bohong!"
"Aku serius," Tsabita segera mengusap wajahnya.
"Please, jangan nangis, Bita. Aku enggak bisa pinjamin pundakku buat kamu nangis."
"Oke, aku berhenti nangis ini," seru Tsabita. Ia tertawa kaku, "bukan gayaku banget nangisin kamu."
Arga terkekeh, "Oke-oke. Aku sebenarnya enggak tega buat kasih banyak pesan untukmu hari ini. Tapi, aku juga enggak tahu kapan aku berangkat ke UK. Bisa aja besok, bisa aja lusa. Jadi, tolong jaga dirimu baik-baik, Calon Dokterku."
Tsabita menatap Arga tak suka, "Masih nunggu pengumuman. Gimana kalau aku gagal lagi?"
Arga menggeleng dengan pasti, "Enggak. Aku yakin kamu lulus. Yang optimis gitu, loh!"
"Aku takut, Ga. Aku takut banyak berharap. Yang nanti malah ngecewain."
"Jangan begitu. Kita punya motivasi hidup juga karena kita setiap harinya berharap. Dan yang harus kamu ingat, harapan kamu cukup digantungkan pada Sang Maha Pemberi Rezeki. Semoga kelak itu rezeki kamu, Ta, jadi dokter."
Tsabita menganggukkan kepalanya, "Dan kamu juga, Ga. Semoga menjadi arsitek adalah rezeki kamu di masa depan. Jaga dirimu baik-baik."
Arga menoleh ke arah Tsabita. Ia melangkah menjauh dari Tsabita, "Aku harap, kamu jadi bagian dari masa depanku, Ta. Aku ingin masa depan yang ada kamunya," pekik Arga sambil melambaikan tangannya pada Tsabita.
🌫🌫🌫
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Sky With(out) Stars
Spiritual[17+] - C O M P L E T E Tsabita Ruby Hasyim, perempuan penyuka warna merah, memiliki kedua orang tua yang selalu mencampuri dan mengatur jalan hidup kepadanya seperti apa yang mereka inginkan. Membuat gadis berkacamata itu, bersikap apatis terhadap...