38. Kekacauan

1.5K 77 8
                                    

Tribune pojok atas dipenuhi oleh anggota Cavella. Tidak lupa ada Syenn dan tiga temannya juga disana yang ikut bergabung. Mereka semua tengah makan bersama sambil bersantai sebelum acara pembagian piala. Neska, Maura, Kalin dan Hasna baru saja datang dan ikut duduk tempat itu.

Sebenarnya makanan itu dipesan hanya untuk para peserta saja tetapi karena Rezon membohongi pihak sekolah dengan menyetor nama yang telah dilebihkannya. Alhasil ada lima kotak makan yang tersisa. Tiga kotak diberikan pada teman-teman Neska dan dua lainnya untuk Rezon makan sendiri.

Bagas menelan salivanya melihat semua temannya lahap menyantap makanan mereka masing-masing. Ia masih belum bisa makan karena giginya yang patah itu dan rasa nyeri yang masih terasa. "Lo gak makan, Gas?" tanya Pano.

Bagas geleng-geleng. "Bagus, jatah lo buat gue," Pano mengambil makanan Bagas. Laki-laki itu tidak bisa protes.

Athalas melirik Neska yang sedang makan. Syenn melihat lirikan Athalas. Perempuan itu langsung mengahalau pandangan Athalas dengan duduk disebelahnya agar tidak dapat melihat Neska. "Makanannya enak banget ya," ujar Syenn tersenyum basa-basi.

"Kamu suka gak?" tanya Syenn dengan nada sok imut.

Athalas tidak menjawab. Ia kembali melahap makanannya yang tinggal sesuap. "Hmm... Kamu belom ucapin selamat ke aku loh. Kamu lupa ya?"

"Penting ucapan selamat dari gue?"

"Kok gitu, sih, jawabnya?"

Athalas tidak menjawab kembali. Ia sibuk dengan ponselnya sambil mengunyah. "Aku di diemin mulu. Sebel deh! Kita itu harus deket satu sama lain—"

"Berisik banget sih lo!" bentak Athalas. "Sumpah berisik banget. Jauh-jauh dari gue," usirnya.

Neska melirik—Athalas dan Syenn sedang bertengkar. "Syenn, lo udah berkali-kali ditolak juga, masih aja deketin Athalas," celetuk Emil. "Gak tau malu banget, jir!"

"Mana punya malu sih orang kayak gitu, Mil," jawab Pano.

"Lo berdua apaan, sih?! Ikut campur banget urusan gue berdua," Syenn marah pada Emil dan Pano.

"Suka-suka lo dah, Syenn," balas Pano tidak peduli. "Kayak gak ada cowok lain aja di dunia ini,"

Syenn menaruh makanannya dengan kasar, "Ngerasa ganteng lo ngomong kayak gitu?!" sarkas Syenn.

"Emang ganteng kok," Pano tertawa.

Syenn berdecih, "Pantesan lo di putusin Jessi. Sok kecakepan kayak gini."

Jleb! Raut wajah Pano seketika berubah. Ia membanting makanan milik Bagas yang dimakannya sampai berserakan kemana-mana. Pano naik pitam mendengar Syenn yang membawa nama mantan kekasihnya. Athalas dan teman-temannya saling memandang. Pano berdiri dengan wajah yang memerah. Buru-buru Abraham dan Chuang menahannya, "Udah, Pan. Gak usah didengerin," ujar Abraham.

Pano tidak menggubris. Telinganya sudah tuli. Ia mendorong Abraham dan Chuang dengan kasar karena menghadangnya. Pano semakin mendekat. Seketika Syenn menjadi takut karena wajah Pano benar-benar menyeramkan. Ia mundur beberapa langkah, "Ng-ngapain deket-deket?" tanyanya takut. "Lo gak mungkin berani berbuat kasar sama gue karena gue kan cewek. Lagipula omongan gue bener kok," ucapnya lagi.

Pano menyeringai, "Gue bukan Thander yang gak berani mukul cewek,"

Thander melirik Athalas. Laki-laki itu sedang was-was dengan gerak gerik Pano. Mereka semua tau kalau Pano sudah marah, sulit sekali untuk ditenangkan. Bahkan, Pano saja berani memukul Athalas yang merupakan sahabat sekaligus ketua gengnya.

Grep!

"Akhhh! Sakit! Lo kasar banget, sih, jadi cowok!" teriak Syenn memberontak. Tangan besar Pano sedang memegang leher Syenn dengan kasar lalu membenturkan tubuh perempuan itu ke tembok. Thander, Chuang, Abraham, Bagas, dan Emil menghela napasnya bersamaan. Syenn benar-benar cari mati.

Neska dan ketiga temannya sampai tercengang melihat sisi lain dari Pano. Tak habis pikir dengan cowok itu berani mencekik seorang perempuan ditempat umum seperti ini?!

"Sshhh.... Sakit leher gue, bego!" Syenn mencengkram tangan Pano—berusaha melepaskan pegangannya dari lehernya. "Lo mau bunuh gue ya!"

Pano sudah kehilangan akalnya. Ia semakin menguatkan cengkramannya. Syenn sedikit kesulitan untuk bernapas. "A-Athalas..."

Athalas akhirnya bangun dan menahan tangan Pano. "Cewek," singkat Athalas.

Seketika Pano tersadar karena tangannya ditahan kuat oleh sahabatnya itu. Pelan-pelan ia melepaskan pegangannya pada leher Syenn. Gadis itu terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya yang merah. Athalas melirik Syenn, "Tunggu apa lagi? Pergi lo dari sini."

Kamila, Gebbi dan Aleta mengajak Syenn untuk meninggalkan area itu. Pano kembali duduk. Menetralkan amarahnya kembali. Thander menepuk pundak Pano, "Sabar, bro." Thander ikut deg-degan karena tangan Pano masih terkepal erat. Ia takut dijadikan samsak oleh sahabatnya yang tengah mengamuk.

"Pano selalu kayak gitu kalau ada yang nyebut Jessi. Mau sampai kapan dia masih mikirin tuh cewek?" ujar Emil pelan.

"Sstt! Kalau didenger Pano bisa mati lo, Mil," bisik Abraham.

Disamping itu, Neska masih syok dengan apa yang barusan terjadi. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat ramai dari lapangan. Karena mereka sedang duduk di tribune atas, ia jadi tidak begitu jelas melihatnya. Lapangan seketika menjadi ramai dan heboh. Neska memicingkan matanya. Kalau tidak salah, ia melihat seseorang tengah diseret paksa oleh Lexis. Neska yakin itu Lexis karena ada tulisan besar di belakang jaket laki-laki itu.

Keadaan semakin kacau ketika beberapa perempuan berteriak ketakutan. Semua orang melihat ke arah lapangan. Bagaikan ditarik magnet, Neska berjalan mendekat—menuruni tangga demi tangga tribune.

Deg! Matanya membulat tak karuan. Ia membeku kaku ketika sekelibat melihat orang yang diseret itu penuh darah disekujur wajah dan tubuhnya bahkan darahnya itu sampai menetes di sepanjang lapangan sebelum akhirnya keluar dari lapangan indoor. Detak jantungnya dibuat berhenti sebentar. Neska reflek menjatuhkan minumannya.

Dari tribune atas Maura berteriak kencang. Perempuan itu menutup mulutnya. Tidak menyangka atas apa yang dilihatnya. Orang yang diseret itu adalah Vian. Maura semakin dibuat panik saat melihat Neska yang tiba-tiba berlari cepat mengejar Vian. Sahabatnya itu pasti tidak akan tinggal diam apalagi kondisi Vian cukup parah sekali.

"NESKA!" jerit Maura. Ia langsung menuruni anak tangga, ikut mengejar Neska. Thander telat menghadang Maura karena kekasihnya itu telah dihadang duluan oleh Arga yang muncul secara tiba-tiba dihadapannya. "MINGGIR!" bentak Maura.

"CEPETAN LO KEJAR NESKA!" teriak Arga lantang, memberi perintah pada Regan.

"GUE BILANG MINGGIR, ARGA!" bentak Maura panik. "ITU VIAN, KAN?! KENAPA BISA DIA DISERET SAMA BIMA?! MINGGIR! GUE HARUS NGEJAR NESKA JUGA! DIA SENDIRIAN NGEJAR VIAN! KALAU TERJADI APA-APA GIMANA?!" teriak Maura histeris.

"Gak perlu, Ra. Anak aeros pasti udah pada disana," ucap Arga menenangkan Maura padahal dalam hati Arga khawatir dengan kondisi Vian. Arga dan Regan tidak tau tentang masalahnya karena mereka berdua sedari tadi hanya menjaga Neska dan Maura dari kejauhan.

Teman-teman Athalas turun dari tribune—menghampiri Maura. Arga menoleh menatap Thander, "Maura cewek lo, kan? Gue minta tolong sama lo, tolong jaga dia. Jangan biarin dia kemana-mana. Kalau bisa lo bawa dia pergi menjauh dari area sekolah ini,"

"Tanpa lo suruh juga gue bakalan jaga dia. Maura akan aman sama gue," jawab Thander lalu mengambil alih tangan kanan Maura agar kekasihnya itu tidak dapat pergi.

"Lepas, Thander!" bentak Maura memberontak.

"Gak," singkat Thander. Ia tidak tau apa yang terjadi tetapi perasaannya mengatakan bahwa saat ini situasinya sedikit berbahaya jika dilihat dari keadaan ketua aeros tadi.

Setelah memastikan Maura ada dalam radar Thander, Arga perlahan mundur dan berbalik. Tinggal Neska yang harus ia cari dan lindungi.

Athalas orang terakhir yang turun. Ia berjalan santai dengan tangan yang dimasukan kedalam saku celana jogernya. Ia masih mencerna kejadian barusan. Ia melirik tetesan darah segar yang berhamburan di lapangan. Bau amis dari darah itu tercium jelas olehnya. Apa yang terjadi?

***

AthalasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang