EMPATPULUH TUJUH.

19 2 0
                                    

Di dalam mobil tak ada yang angkat bicara, apalagi melihat Raya begitu fokus menyusuri jalan membuat Athar yang ingin memecah keheningan jadi ragu.

"Em..."

"Eyang enaknya di bawain apa?."

Belum saja Athar bersuara Raya lebih dulu memberinya pertanyaan.

"Martabak mungkin."

"Ooh." Raya mengangguk saja, syukurlah Athar dapat menjawabnya itu berarti dia sedikit lebih nyaman dari pada sebelumnya yang hanya menutup mata.

Athar menoleh sedikit memperhatikan raut wajah gadisnya. Ada sesuatu dari figur tersebut, wajah yang tampak cuek dan bahkan sesekali menekuk kedua alisnya tak suka. Yang jelas setau Athar dia tidak melakukan apa apa, lalu apakah Raya marah? Memangnya Athar ada salah apa?

Raya mendengus kesal ketika lampu tak segan berubah menjadi hijau, belum lagi suara klakson mobil di belakangnya membuat gendang telinga ingin pecah "Apasih anjir!."

Braaak!...

Raya menggebrak stir mobil membunyikan klakson sebentar lalu membuka kaca segera menengok ke asal suara bising itu. "WOI! BISA DIEM GAK SI? GAK LIAT APA JALANAN MACET! BUTA LO MATA LO?."

Bukan Raya, malah Athar yang seketika panik buru buru cowok itu menyentuh lengan Raya perlahan menarik lehernya agar masuk lagi ke dalam mobil, meskipun sempat memberontak gadis itu akhirnya diam menyaksikan wajah memohon Athar yang tak mau ribut ribut.

"Lo diem! tidur gih."

"Mana bisa gue tidur kalo lo teriak teriak gitu." Ujar Athar pelan menghasilkan decakan dari cewek itu. Malas sekali menyaksikan wajah melas seperti ini.

Mobil akhirnya perlahan melaju, Raya memilih untuk tidak menanggapi lagi. fokusnya kembali mengemudi menyaksikan beberapa motor menyerobot di depanya membuat ia lagi lagi mengumpat kecil. "Itu jalan gue anjir... Minta di lindes itu orang." Gerutu Raya dengan nada kecil berharap Athar tak mendengar. Tapi harapanya nihil.

"Udahlah gakpapa. Gue juga biasanya gitu kalo naik motor."

"Nggak nanya."

"Kalo nyetir gak usah Pake emosi, bahaya loh."

"Siapa yang emosi sih."

"Lah situ?."

Raya diam lagi tak menjawab lebih tepatnya berusaha meredam amarahnya agar tidak meledak.

Apasi kenapa gue marah marah kek gini?

"Nanti ada pertigaan belok kiri." Instruksi Athar takut takut jika Raya salah jalan.

"Iya tau. Diem"

"Tadi kalem banget, sekarang kok berubah galak kenapa?"


"GALAK GALAK PALA LU SEGITIGA BIRU! LO YANG MANCING YA."

Athar meneguk ludah susah payah di barengi matanya mengerjap beberapa kali. Gue salah apa ya Alah?

"Gue masih sakit loh yang, kok jawabnya Pake ngegas gitu."

"Ya mangkanya lo diem."

Athar terpaksa mengalah, merutuki dirinya karena gak tau Raya bakal semarah ini. Pasti bukan karena dia yang banyak bicara. Mungkinkah ada yang di sembunyikan Raya hingga berhasil ngamuk ngamuk gak jelas seperti ini.

Oh, shit muka Raya sampe merah seperti itu.

"Lagi kesel ya, kenapa? Cerita aja gapapa."

Dasar Athar!, di suruh diem masih aja ngomong, emang dasarnya spesies kayak Athar gini minta di hujat. Untung Raya tau situasi ya, jangan sampe Raya segan menggantung kepala Athar di bawah kolong jembatan.

Raya&Athar (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang