Malam ini, Anjas sudah di izinkan untuk pulang. Dan ini masih pagi, tetapi Niswa sudah ada di sini karena paksaan dari Azzam. Lagi, ini semua lagi-lagi memang karena Azzam. Tak bisa Niswa pungkiri bahwa dia begitu mengkhawatirkan papanya kemarin.
Dan itu kemarin, lalu sekarang keadaannya sudah baik-baik saja, bahkan papanya sendiri yang mengatakan akan pulang sendiri bersama supirnya nanti. Namun Azzam tetap saja memaksa Niswa untuk menunggu papanya sampai pulang. Apa dia itu tidak tahu betapa sibuknya Niswa dan seberapa banyak pekerjaan yang terbengkalai beberapa hari ini?
Azzam bilang, orangtua memang begitu, selalu bersikap seakan tak membutuhkan bantuan karena tidak mau merepotkan anaknya. Padahal pada kenyataannya, mereka selalu ingin diperhatikan oleh anak-anaknya.
Jadi, yasudahlah. Terlepas apa yang dikatakan Azzam itu benar atau tidak, Niswa tidak mau terlalu panjang berdebat dengan Azzam. Aneh, itu memang aneh. Belakangan ini, entah kenapa Niswa jadi merasa aneh. Makin ke sini, Niswa jadi tidak tertarik bertengkar dengan Azzam. Dia jadi cenderung menurut pada pria itu.
"Niswa," panggil Anjas pada putrinya yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Kenapa Pa? Papa mau minum?" tanya Niswa.
Anjas tersenyum mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut putrinya itu. Dia memang terhitung tidak dekat dengan putrinya itu. Selama ini Anjas merasa, dia memang telah banyak mengabaikan anak-anaknya, mempercayakan mereka pada babysitter dan tidak ikut menyaksikan tumbuh kembang mereka. Mungkin itu sebabnya, dia tidak dekat dengan anak-anaknya.
Tetapi setelah menikah, Niswa jadi tak sekeras dulu. Dia tidak seketus dulu saat bicara. Bahkan dia menjadi anak yang perhatian seperti sekarang. Apa Anjas bisa menyebut ini semua karena Azzam? Ya. Tentu saja. Siapa lagi? Laki-laki itu memang sangat baik. Dia bisa mempengaruhi Niswa dengan hal-hal positif yang dia punya. Dan entah dengan cara apa dia membimbing Niswa.
"Pa? Kok malah diem? Ada yang sakit? Aku panggilin dokter ya?" tanya Niswa lagi.
"Enggak. Papa gak sakit kok," jawab Anjas.
"Terus kenapa Papa panggil aku tadi?" tanya Niswa lagi.
"Kenapa Nis? Kenapa kamu nyakitin Azzam nak?" tanya Anjas balik.
Bukannya menjawab pertanyaan dari putrinya, Anjas malah menanyakan hal lain yang sontak saja membuat alis dari Niswa menyatu sekarang. Kenapa masalah ini harus terbahas lagi?
"Pa ..., udahlah gak usah dibahas lagi," ucap Niswa.
Dia tidak ingin membuat papanya marah lagi dan berujung sakit lagi seperti yang lalu. Niswa sangat ketakutan saat itu, dan dia tidak ingin ada di posisi itu lagi. Tapi papanya itu malah kembali membahas ini.
"Gak usah dibahas gimana sih Nis? Kamu harus berubah nak. Sadari kalau dia itu memang laki-laki yang baik. Dia gak pantas disakitin," ucap Anjas lagi.
"Pa, di sini bukan cuma Azzam, tapi aku juga tersakiti Pa. Kenapa sih Papa terus-terusan nyalahin aku?" protes Niswa.
"Dari awal, aku juga udah bilang sama Azzam kalo aku gak mau nikah sama dia. Aku gak mau dijodohin. Makanya aku kasih surat perjanjian itu, biar dia mau batalin pernikahan ini. Tapi apa? Dia malah setuju. Itu berarti dia sendiri yang bikin diri dia sakit, bukan aku. Itu pilihan dia sendiri, aku gak paksa dia," lanjut Niswa.
Inginnya ditahan agar tidak menyakiti papanya, tapi karena terus diulas membuat Niswa tidak bisa menahannya. Dia merasa selalu disudutkan dalam masalah ini. Padahal dia dan Azzam sama-sama terpaksa kan ada dalam ikatan pernikahan ini? Jadi bukan hanya Azzam, tetapi Niswa pun juga tersakiti ada dalam ikatan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Azwa Karsa (END-COMPLETED)
General Fiction-••••••••••••••••- SEKUEL HAFIZA -••••••••••••••••- -••••••••••••••••- "Kamu tanda tangani surat ini, dan saya akan setuju menikah sama kamu," Ucap gadis itu sembari memegang sebuah bolpen seakan menawarkannya pada Azzam. Dia bahkan menyunggingkan...