SATU

116 9 0
                                    

Senin pagi adalah hari yang paling dibenci oleh semua orang, termasuk ke empat orang yang baru saja datang pagi ini dan terpaksa masuk ke daftar orang yang terlambat. Sialnya, senin adalah hari dimana seluruh guru piket bertugas dan mencatat secara gila-gilaan kepada siapapun yang melanggar peraturan.

            "Gara-gara lo kita telat," omel Dezel pada Sam yang sedang mengikat tali sepatunya yang lepas.

            "Maaf sih elah, tadi itu air shower kita mati," jawab Sam, "jadi mau nggak mau gue nunggu dulu lima belas menit, abis itu nggak lama airnya baru ngalir lagi." Tadi pagi memang ada sedikit insiden yang mengakibatkan mereka berempat telat.

            "Harusnya lo nggak nunggu lima belas menit dong, Bambang!" Dezel berkata pada Sam.

            "Terus gimana? Masa gue keluar kamar mandi telanjang dada buat numpang mandi di kamar Kat," ujar Sam yang kamarnya memang selantai dengan Katarina, dan hanya Katarina saja karena Dezel dan Welsen berada di lantai satu.

            "Nggak di kamar gue juga dong, bego!" Kali ini Katarina yang menyahuti kedua temannya itu.

            "Masa ke kamar mereka berdua sih, Kat? Kamar yang terdekat kan elo," jawab Sam dengan tingkat kepolosan yang tinggi, dia sampai lupa kalau mereka berdua berbeda jenis kelamin.

            "Gue cewek, cewek, Sam," Katarina menunjuk dirinya sendiri dengan kedua telunjuknya.

            "Oh, iya, bener juga," Sam terkekeh, lalu dia berkata, "tapi nggak logis kalau gue masuk ke kamar mereka berdua," dia menunjuk Dezel dan juga Welsen yang mengarahkan pandangannya kepada dirinya, "mereka itu cowok, masa gue jalan naked ke kamar mereka. Homo dong. Serem banget."

            "Homo nggak begitu, goblok, Sam!" protes Katarina.

            "Jangan ladenin orang bego," Welsen berkata, dia mengalihkan perhatiannya kepada guru-guru piket yang sedang sibuk mencatat nama murid-muridnya yang melangga peraturan.

            "Kalian akan Bapak hukum dengan hukuman fisik," ujar Pak Bondhi, salah satu guru piket. Dia berjalan menghampiri satu persatu muridnya dan menyebutkan hukuman fisik apa yang akan dilakukan oleh mereka. Ketika berada di depan Katarina, Pak Bondhi berkata, "Lari keliling lapangan dua belas kali karena kamu telat dua belas menit."

            "Saya lari, Pak?" Katarina mengerutkan keningnya heran, dia tidak menyangka kalau dirinya akan kena hukuman lari karena Sam, Dezel dan Welsen terpilih untuk melakukan push-up sebanyak seratus dua puluh kali.

            "Ya, kamu lari," Pak Bondhi menganggukan kepalanya.

            "Nggak bisa sit-ups aja pak?" Katarina berusaha untuk menawar. Bukannya apa, dia hanya tidak bisa berlari di tengah matahari terik. Walaupun sekarang masih jam delapan pagi, tapi matahari yang ada sudah cukup untuk membuat wajahnya yang sensitif itu kemerahan.

            "Kamu saya perintahkan untuk lari, hukuman kamu adalah lari dan kamu harus melaksanakan itu," jawab Pak Bondhi.

            Welsen yang sudah bersiap-siap untuk melakukan hukumannya, langsung saja berdiri tegak di depan Pak Bondhi, "Muka dia sensitif, Pak. Lari satu kali di tengah matahari aja mukanya udah merah padam, selain itu juga akan perih seharian."

            "Kalau memang tidak mau kena hukuman lari, seharusnya dia tidak telat," tegas Pak Bondhi.

            "Ada insiden tadi pagi, Pak. Itu yang menyebabkan kita berempat telat," ujar Welsen.

            "Saya tidak mau tau, pokoknya kalian telat dan harus melakukan hukumannya," tegas Pak Bondhi.

            "Saya mohon untuk diganti hukumannya, Pak," pinta Welsen.

            "Daripada saya ganti, mending kamu ikut dia aja lari," kata Pak Bondhi, "kamu saya perintahkan untuk lari bersama dengan Katarina sebanyak dua puluh kali. Sekarang!"

            "Kalau gitu, gimana kalau hukuman Katarina dikasih ke saya aja, Pak? Saya akan lari empat puluh kali yang termasuk hukuman saya dan Kat," Welsen tidak berhenti untuk membujuk guru piketnya itu, dia tidak mau kalau temannya itu harus melewati hari ini dengan keperihan di seluruh wajahnya seperti tiga bulan lalu.

            "Kamu suka sama dia ya?" Pak Bondhi berterus-terang.

            "Saya sahabatnya," jawab Welsen dengan penuh keyakinan.

            "Kalau begitu berhenti untuk peduli sama dia kalau dia cuman sahabat kamu. Sudah ya, kalian berdua lari di lapangan. Masing-masing dua puluh kali," ujar Pak Bondhi final, dia tidak akan mengubah keputusannya.

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang