DUA PULUH DELAPAN

10 2 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi ketika seluruh warga villa keluarga Dezel keluar dari kamarnya masing-masing setelah dibangunkan secara paksa oleh pelayan di villa tersebut. Sam dan Dezel langsung saja melakukan peregangan ototnya sesaat mereka keluar dari kamar, sedangkan Welsen dan Katarina langsung menuju dapur untuk mengambil sarapan yang katanya sudah disiapkan oleh pelayan villa tersebut.

            "Good morning," sapa Katarina pada dua perempuan lainnya yang sudah duduk manis didepan meja makan dengan ponselnya masing-masing.

            "Morning," balas Abigail, dia menyampingkan ponsel miliknya dan membalas tatapan orang yang sedang mengajaknya berbicara.

            "Tidur kalian gimana? Nyenyak?" tanya Katarina yang baru saja diturunkan oleh Welsen dari gendongan cowok itu. Pagi ini Welsen tidak membiarkan Katarina untuk menggunakan kursi roda, melainkan dengan bantuan dirinya secara langsung.

            "Lumayan kok, villanya nyaman," Abigail melebarkan senyumannya.

            "Kalian berdua nggak tidur sekamar kan?" Jade beterus-terang, dia agak curiga dengan kedatangan Welsen dan Katarina yang bersamaan.

            "Hah?" Katarina melongo, dia terkejut dengan pertanyaan yang ditanyakan oleh Jade, dia tidak tau kalau akan ada orang yang dapat secara gamblang bertanya mengenai asumsi yang ada dipikirannya sendiri.

            "Ah, nggak perlu dijawab kalau kalian merasa itu privasi," Jade tersenyum canggung, dia lalu meneguk segelas air putih yang sudah disiapkan diatas meja.

            "Bukan gitu," Katarina ingin menjawab pertanyaan tersebut, tapi Welsen lebih dulu memotong pembicaraannya dan menjawab, "Ya, privasi. Makanya jangan ditanya ya."

            "Ah, privasi ya," Jade menganggukan kepalanya paham.

            "Annoying," Welsen berkata dengan suara pelannya namun masih bisa terdengar oleh mereka semua yang ada disana.

            Jade mengerutkan dahinya, "Ya?" dia bertingkah seolah tidak mendengar apapun, "tadi lo ngomong apa?" dia menatap ke ke arah Welsen yang masih berdiri setelah menurunkan Katarina dari gendongannya itu.

            "Sifat lo emang dari lahir nyebelin ya?" Welsen bertanya.

            Alis Jade spontan mengerut, "Lo nyindir gue?"

            "Berasa kesindir? Bagus deh," ujar Welsen.

            "Apaan sih lo berdua," Katarina menyipitkan matanya pada Welsen lalu menginjak kaki cowok itu dengan kaki kiri Katarina yang tidak terlilit oleh perban, "diem."

            "Ish," Welsen meringis kesakitan, dia lalu mengambil tempat di sebelah cewek yang baru saja membuat kakinya sakit. Tanpa disuruh oleh siapapun, dia membagikan piring makan yang ada di sebelah kirinya pada tiga orang yang ada di meja makan saat ini.

            Abigail tersenyum manis pada saat menerima piring yang diberikan oleh Welsen, "Thanks."

            "Lo berdua cocok deh," Tiba-tiba saja Katarina mengomentari kedua orang yang ada didepan dan sampingnya, dia merasa kalau interaksi mereka berdua sangat cocok dan terlihat sudah ... nyaman, seakan-akan sudah mengenal dari lama.

            "Ah, nggak," Abigail mengelak agar dia dapat mengontrol raut wajah dan respon dari komentar yang diberikan oleh Katarina. Dalam hatinya Abigail juga berharap apa yang dikatakan oleh Katarina itu benar, tapi sayang sekali ... dia tau kalau hati cowok itu tidak akan diberikan kepada siapapun kecuali perempuan yang dia yakini sebagai orang yang disukai oleh Welsen.

            "Gimana pendapat lo soal Welsen, Bi? Ganteng kan?" Katarina melebarkan senyuman jahilnya dengan tujuan untuk menjodohkan temannya yang sudah lama menjomblo itu. "Dia perhatian, pecinta hewan, bisa komunikasi sama siapapun termasuk setan dan hewan karena dia termasuk ke dalam bagian itu, terus juga lumayan pinter sih. Jadi baguslah buat gen ke depan," dia terkekeh.

            Welsen membelakkan matanya, menahan nasi yang akan dia berikan ke piring perempuan yang membicarakan tentang dirinya, "Maksud lo, gue hewan sama setan?" dia mengangkat alisnya heran.

            "Ngerasa ya, Masnya?" kekeh Katarina, dengan santai dia memandu tangan Welsen yang terhenti dan mengarahkannya ke piring makannya.

            "Gue manusia, Kat. Mana ada hewan sama setan yang mau obatin luka lo, ganti perban luka lo, gendong lo, mana ada," ujar Welsen yang tidak terima dengan gurauan cewek itu.

            "Iya iya," Katarina menganggukan kepalanya mau tidak mau, dia kembali melayangkan aksinya untuk menjodohkan Abigail pada Welsen, "tapi beneran deh, kalian berdua cocok. Serius, nggak bohong," Katarina meliat ketiga jarinya dan menyisakan jari tengah dan telunjuk, "sumpah, nggak bohong."

            "Mau sumpah seberapa kalipun untuk jamin mereka berdua cocok, nggak akan ngaruh," sindir Jade yamg sedari tadi menyimak, "karena temen gue nyadar sama posisinya yang nggak bakalan tergantikan sama cewek yang disuka sama Welsen."

            "Sok tau banget lo jadi orang," sindir Welsen.

            "Emang bener kali," balas Jade yang tidak mau kalah.

            "Sok tau banget, emangnya gue suka sama siapa? Temen-temen gue aja nggak tau, apalagi lo yang statusnya masih orang asing," sahut Welsen, raut wajahnya sudah lebih kesal daripada yang sebelumnya. Jujur saja, Welsen jarang sekali marah karena hal-hal sepele seperti ini, biasanya cowok itu hanya akan membalas gurauan yang memang masuk ke pemikirannya karena dia tau teman-temannya itu hanya bercanda dan tidak perlu untuk dimasukkan ke dalam hati. Namun, beda halnya ketika orang asing yang baru saja dia kenal dalam beberapa hari, malah berani menilai hatinya.

            Katarina membuang nafasnya panjang. Lagi dan lagi, pikirnya. "Haduh, kenapa jadi ribut terus sih. Gue kan udah bilang sebelumnya, ketika kita pergi ke Bali itu yang harus dilakuin ya nggak berantem. Cape gue dengernya," keluh cewek itu. "Tolong anterin gue ke kamar, Bi."

            "Ya?" Abigail menunjuk dirinya dengan telunjuk, dia lumayan bingung apakah Katarina memanggil dirinya atau tidak.

            "Tolong bantu dorongin kursi roda gue, Bi Gue mau balik ke kamar," pinta Katarina sekali lagi.

            "Gue aja yang dorong," usul Welsen yang diabaikannya oleh Katarina ketika cowok itu berinisiatif namun langsung ditolak oleh perempuan itu, "Nggak usah," katanya.

            Mendengar penolakan yang diberikan oleh Katarina membuat Abigail berdiri dari tempatnya dan segera untuk mendorongkan kursi rodanya ke kamar cewek itu yang sebelumnya belum dia ketahui karena kemarin malam, mereka langsung berpisah saat sampai di vila.

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang