Ada tiga hal yang dapat membuat dapur rumah mereka berantakan dan ramai. Yang pertama, ketika Katarina sakit dan pembantu di rumah mereka sedang libur dan terpaksa para cowok-cowok yang akan memasak makan pagi sampai malam. Kedua, ketika salah satu dari orangtua mereka datang dan yang terakhir adalah ketika ada acara sekolah yang mewajibkan mereka untuk masak, mereka dalam artian para cowok-cowok.
"Woi ini gimana sih cara panggang ham-nya?" tanya Welsen yang sudah berdiri di depan kompor dan bersiap untuk memanggang daging untuk burgernya.
"Tinggal kasih mentega terus taruh dagingnya," jawab Katarina yang baru saja turun dari kamarnya. Jam menunjukkan pukul tiga pagi dan dia baru saja bangun setelah dibangunkan oleh Dezel.
"Lo baru bangun?" tanya Sam yang sekarang sibuk dengan gulungan sushinya yang terbalik tanpa dia sadari.
Katarina mengangguk untuk menjawab pertanyaan Sam, "Gulungan lo kebalik, Sam."
"Gue benci masak!" Sam berteriak keras, dari raut wajahnya semua orang sudah tau kalau cowok itu pasti sebentar lagi akan membanting peralatan masaknya dan pergi.
"Sial! Sial!" Welsen berteriak di depan kompor dengan celemek warna pink milik Katarina yang tidak sengaja dia pakai.
"Kenapa?" Katarina menghampiri cowok yang sepertinya kena panci panas ham-nya. Tanpa mengatakan apapun, dia mengambil alih tangan Welsen dan membawa cowok itu ke wastafel, "kalau kena panci panas atau minyak langsung kasih air dingin biar nggak bertanda."
Welsen menganggukan kepalanya patuh tanpa berkata apapun.
"Kat! Bantuin gue please! Ini nggak mau kegulung," Sam menunjuk sushinya yang tidak tergulung rapi, "tolong! tolong!"
"Ya Tuhan," Katarina menghela nafasnya panjang, sepertinya pagi ini akan menjadi pagi terberatnya, lebih berat daripada tahun lalu.
"Bantu gue!" pinta Sam, dia benar-benar terlihat putus asa sekarang.
"Ya, bentar," dia menoleh ke tangan Welsen yang dipegangnya, setelah merasa sudah cukup dia mengambilkan tisu kering untuk tangan Welsen yang terkena panci tadi. "Udah."
"Udah?" Welsen mengerutkan dahinya.
"Ya, udah. Mau apa lagi emangnya?" tanya Katarina, lalu dia melepaskan tangan cowok yang sekarang masih menatapnya terheran-heran.
"Belum dikasih obat," ujar Welsen.
"Nggak bakalan bertanda, Weel," jawab Katarina yang tidak digubris oleh cowok itu, sampai pada akhirnya dia memanggil Dezel dan meminta cowok itu untuk melakukan apa yang dipinta oleh Welsen karena dirinya harus siap-siap untuk masak semua makanan potluck hari ini.
"Manja bener sih, udah gede bukannya obatin tangan sendiri," protes Dezel pada Welsen. Dia sengaja menekan tangan Welsen yang sekarang kemerahan.
Welsen memutar bola matanya, "Gue bisa obatin sendiri, lo nya aja yang maksa."
"Kalau nggak karena Kat mau masak, gue nggak bakalan obatin tangan lo," jawab Dezel sinis, pura-pura sinis lebih tepatnya.
"Mau uang jajan lo gue potong habis?"
"Mau urat nadi lo gue potong sampai habis?" Dezel membalikkan pertanyaan Welsen dengan sebuah pertanyaan yang tidak bisa cowok itu jawab.
"Orang gila," balas Welsen. Dia menyenderkan kepalanya ke bantal sofa kuning yang ada di belakangnya sedangkan Dezel masih sibuk untuk memakaikan krim untuk Welsen.
"Sam mana? Dia bukannya tadi mau kesini juga?" Dezel melirik ke kanan dan ke kiri, tapi dia tidak menemukan siapapun kecuali Welsen di ruang tamu.
"Disekap sama Kat kali," Welsen menjawab dengan acuh.
Dezel mengangkat kedua bahunya, "Mungkin."
"Tahun depan lo jadi kuliah di luar?"
"Kuliah di luar?"
Membutuhan dua menit bagi Welsen untuk mengingat nama kota yang pernah disebutkan oleh Dezel beberapa minggu yang lalu saat mereka masuk sekolah, "Lo bilang mau ke New Orleans, bener kan?"
"Ah, gue kayaknya nggak jadi ke New Orleans," Dezel bangkit berdiri dari tempat duduknya dan mengambil posisi di lantai dan menyender pada sofa yang ditempati oleh Welsen.
"Kenapa?"
"Nyokap bokap, perusahaannya nggak semaju dulu," ujar Dezel, sudah beberapa minggu dia menyimpan keadaan keuangan orangtuanya tanpa memberitahu siapapun. Akhirnya hari ini dia memutuskan untuk memberitahu Welsen dan hanya Welsen. "Their financial status udah nggak begitu bisa menjamin pendidikan gue sampai kuliah."
"Lo baru bilang ini sekarang, Zel?" Welsen terkejut tentu saja dengan hal yang baru saja diberitahu oleh temannya.
"Sorry, gue cuman nggak mau lo pada khawatir, khususnya Kat. Lo sendiri tau kan apa yang bakalan Kat lakuin kalau tau mengenai hal ini?" Dezel memberitahu alasannya.
"Kat? Apa urusannya Kat sama ini?"
"Kat will call my parents and tell them that her family is going to pay my tuition sampai lulus. Dia tipe cewek yang kayak gitu, Weel," jawab Dezel, dia menundukkan kepalanya.
"Terus yang ngeberatin lo apa?" Welsen tidak paham jujur saja. Kalau memang Katarina akan melakukan hal itu, bukannya bagus? Bukannya itu yang akan dilakukan oleh seorang teman? Membantu ketika keadaan sedang sulit kan?
"Fakta kalau ada orang yang mengasihani gue, I hate that," ujar Dezel.
"Mengasihani lo?"
"Ya."
"Dia nggak akan mengasihani lo. Lo udah kenal sama dia berapa tahun sih sampai nggak kenal sifat Kat kayak gimana," ujar Welsen.
"Enam tahun dan selama enam tahun, Katarina adalah tipe cewek yang akan menggunakan kemampuan keluarganya karena mengasihani orang. She is that type, don't you get it?" Dezel meninggikan suaranya.
"What a fool are you, Zel? Kalo lo beranggapan seperti itu, well, I have nothing to say to you kecuali lo adalah orang bego yang nggak bisa liat niat baik orang dan tidak bisa membedakan yang namanya tulus membantu dan belas kasihan."
"Tulus membantu?" Dezel tersenyum sinis.
"Lo barusan ngapain?" Raut wajah Welsen mendadak berubah ketika melihat senyuman yang diberikan oleh Dezel. Tangannya tiba-tiba menarik kaos cowok yang memancing emosinya itu, "Don't you ever smile like that in front of me, especially ketika kita lagi ngomongin tentang Katarina."
"Lo berdua ngapain sih?" Suara perempuan terdengar dari balik Welsen dan juga Dezel yang sudah siap untuk bertengkar. Tangannya yang sedang memegang kotak-kotak sushi, burger dan juga sandwich mendadak gemetar tapi dia berusaha untuk menutupi itu semua agar terlihat baik-baik saja sekarang. Katarina memalsukan senyumannya dan menaruh kotak-kotak yang berisikan makanan untuk potluck hari ini ke atas meja.
"K-kita,"
"Jangan pernah ributin permasalahan yang belum terjadi," Katarina mengutip perkataan yang pernah dia katakan pada hari pertama mereka tinggal bersama, "itu yang gue bilang enam tahun lalu ke kalian bertiga dan sekarang kalian mau coba-coba untuk melanggar peraturan itu karena gue sendiri ya? Gue nggak pantes untuk dijadikan bahan pertengkaran kalian, guys," dia kembali tersenyum, senyum yang paling dibenci oleh Welsen karena cowok itu tau apa yang sebenarnya ditutupi oleh senyuman seorang Katarina.
KAMU SEDANG MEMBACA
END OF THE ROAD
Teen Fiction---------------------------------------------- This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia no.19 tahun 2002). Any reproduction or other unauthorised use of the written work...