SEBELAS

12 4 0
                                    

Acara potluck tidak berjalan semulus yang biasanya, bahkan Katarina tidak bisa makan makanan masakannya sendiri dan masakan teman-teman kelasnya yang lain. Dia sama sekali tidak mempunyai nafsu makan setelah apa yang terjadi setelah lima menit duduk melingkar di kelasnya. Perutnya benar-benar tidak terisi apapun saat dia berjalan ke arah dapur rumahnya sekarang.

            "Ah, untung kemarin beli roti," Katarina tersenyum senang, dengan cepat dia menyiapkan roti panggang dengan selai kacang yang dia suka. Tidak lupa juga dia membuat roti lebih untuk berjaga-jaga ada yang mau.

            Roti panggang adalah makanan favorit Katarina sejak dia beranjak dewasa. Awalnya dia tidak pernah mau menyentuh yang namanya roti karena roti mengingatkannya pada film barat yang dia tonton dan menimbulkan efek traumatis pada dirinya sendiri. Namun, ketika dia tinggal bersama dengan Welsen, Dezel, dan Sam yang terbiasa dengan roti, mau tidak mau dia harus bisa beradaptasi dengan roti.

            "Lo lagi ngapain, Kat?" Sam yang baru saja menyelesaikan jadwal renangnya datang menghampiri.

            "Lo habis renang?" Katarina malah bertanya balik.

            "Ya," Sam menyunggingkan senyuman bangganya, "sore ini gue bisa nahan napas selama tiga menit."

            "Good," Katarina menganggukan kepalanya, kakinya berjalan ke arah kulkas dan mengambil sekotak susu pisang yang sengaja dia simpan.

            "Keadaan rumah jadi sepi," Sam menundukkan kepalanya, senyumannya mendadak hilang. Dia menarik bangku tinggi meja bar yang ada di dapur, "Gue nggak nyangka mereka bakalan berantem."

            "Gue juga," Katarina menghela nafasnya lelah.

            "Gue sama sekali nggak nyalahin lo dalam permasalahan ini, Kat. Sepenuhnya emang salah dua orang bego itu, mereka terlalu berlebihan. Dezel salah besar dengan menganggap lo akan bantu dia karena kasihan dan Welsen malah memperkeruh suasana dengan mempermasalahkan hal yang seharusnya belum sampai sana dibahasnya. However, gue paham kok sama maksud masing-masing dari mereka."

            "Semuanya salah gue, Sam. Kalau aja selama enam tahun ini gue jaga sikap, Dezel nggak mungkin menganggap gue kayak gitu. It was my fault," ujar Katarina, lagi-lagi dia menghela nafas panjangnya.

            "Bukan salah lo, Kat."

            "Salah gue, dan kalau sampai besok mereka masih berantem karena gue ... lebih baik gue keluar aja dari rumah ini, Sam. Sikap gue cuman bawa masalah untuk rumah ini," Katarina menahan tangisannya saat ini, dia tidak mau air matanya keluar di depan Sam yang nantinya malah akan mengkhawatirkan cowok itu.

            "Kat, ini bukan salah lo. Lo harus tau hal itu," ujar Sam.

            "Nggak apa-apa, Sam. Gue balik ke kamar ya, gue bikin rotinya lebihan just in case mereka mau makan," Katarina membawa piring yang berisikan roti untuk dirinya dan menunjuk piring roti lainnya, "rotinya belum gue isi karena masih belum tau mereka lagi mau pakai selai apa buat hari ini."

            Sam menganggukan kepalanya.

            Sebelum Katarina naik ke kamarnya, dia berhenti di depan tangga dan menatap Sam yang masih memperhatikkannya dari arah dapur, "Gue nggak apa-apa, Sam. Gue menerima kalau ini semua itu salah gue. Mereka bertengkar karena gue, setidaknya itu yang harus mereka percaya kalau mereka mau baikan, tentunya tanpa gue di pertemanan itu." Setelah itu, Katarina memalsukan senyuman manisnya dan masuk ke dalam kamarnya.

            "Bodoh, kalian semua bodoh," Sam menggerutu, dia melempar piring yang berisikan roti buatan Katarina untuk meledakkan emosinya, "kenapa bisa gini sih?!"

            "Ya ampun, Den. Kenapa sampai lempar piring sih," Bi Halimah datang menghampiri setelah mendengar suara gaduh dari area memasaknya itu.

            "Nggak ada apa-apa, Bi." Sam melenggos pergi dari dapur dan melangkahkan kakinya ke ruang boxing sebagai bentuk pelampiasaan dari amarahnya.

            "Haduh anak muda," Bi Halimah menggelengkan kepalanya terheran-heran dengan sikap Sam dan ketiga orang yang ada di rumah mewah yang sudah dia urus beberapa tahun belakangan ini.

            Beberapa menit kemudian, Welsen mendatangi dapur untuk bertemu dengan Bi Halimah, "Bi, lagi ngapain?" Welsen menatap pembantu rumahnya dengan terheran-heran.

            Bi Halimah yang masih sibuk membersihkan pecahan piringnya berkata, "Ah, lagi bersihin doang, Den. Ada apa?"

            "Tolong buatin cemilan ya, Bi. Aku mau belajar untuk ulangan. Nanti bawa ke kamar aku aja," pinta Welsen, matanya secara tidak sengaja melihat roti yang ada di lantai, "roti siapa itu, Bi?"

            "Ah, punya Aden Sam," jawab Bi Inah.

            "Oh ya? Rotinya udah berjamur, Bibi pakai masker gih bersihinnya," saran Welsen.

            "Oh ya, Den?"

            "Jamur yang ada di roti itu namanya Spora dan ketika Bibi secara tidak sengaja menghirup jamurnya, kemungkinan besar pernapasan Bibi bisa bermasalah," Welsen memberitahu. "Sam nggak ngasih tau tentang ini, Bi?"

            Bibi Halimah menggelengkan kepalanya, "Nggak, Den."

            "Tumben banget, biasanya dia yang paling paham kalau ada jamur di roti," Welsen terlihat kebingungan.

            "Saya juga kurang tau, Den."

            "Ah, mungkin dia sengaja buang rotinya setelah tau ada jamur kali ya. Mungkin kayak gitu," Welsen menyimpulkan pemikirannya. "Masak makanan aku pas Bibi udah bersihin jamurnya aja ya, jangan lama-lama karena takut jamurnya malah nimbulin permasalahan pernapasan di bibi."

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang