DUA PULUH ENAM

10 2 0
                                    

Selagi Welsen, Sam dan Katarina berada di dalam ruangan jaga dokter bandara, Dezel dan kedua perempuan yang akan bergabung dengan perjalanan mereka pun duduk dengan raut wajahnya yang khawatir dan campur aduk dengan perasaan bersalah. Mereka tidak berbicara apapun selama sepuluh menit pertama mereka duduk menunggu kabar dari ketiga orang yang ada didalam sana.

Dezel mengigit kukunya tanpa sadar, dia sudah lama tidak melakukan kebiasaan ini, terutama ketika dia sedang merasa gugup dan khawatir akan apa yang akan terjadi dihidupnya, termasuk kejadian saat ini. Jujur saja, yang ada dipikirannya saat ini adalah dia berharap luka yang mengenai kaki Katarina tidak akan mempengaruhi produktivitas cewek itu, dan juga dia berharap kalau kejadian tadi tidak terjadi. Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur dan kaki Katarina sudah tertancap pecahan beling dari piring makannya.

"Gue harap dia nggak kenapa-napa," Abigail bersuara, memecah keheningan yang terjadi.

Jade yang berada persis disebelah Abigail hanya mengangguk pasrah, dia juga berharap demikian. Dia tidak pernah menyangka kalau pelukannya akan berujung maut seperti itu, dia hanya ingin mengejutkan Dezel dan ternyata malah berakhir seperti ini. "Gue minta maaf, seharusnya gue nggak begitu," Jade menundukkan kepalanya dalam, tidak berani menatap siapapun dan apapun kecuali lantai yang ada dia pijak.

"Iya, seharusnya memang lo nggak begitu," suara Dezel terdengar lebih serius dan berat daripada yang biasanya, membuat kedua perempuan yang ada disampingnya itu terkejut dalam diam, termasuk Jade.

"Ma-maksud lo?" Jade bertanya kebingungan, dia memang merasa bersalah dan merasa kalau tindakannya itu tidak bisa ditoleransi, tapi kenapa cowok yang dia kira suka padanya tidak membela dan menenangkan dirinya yang sedang bergelut dengan perasaan bersalahnya itu?

"Kenapa?" Dezel menoleh ke samping kanannya, tepat dimana Jade berada.

"Lo nyalahin gue atas peristiwa ini? Lo tau kalau ini semua kecelakaan kan? Kalau aja lo nggak berusaha untuk menghindar, piring yang ada ditangan lo itu nggak akan jatuh dan mengenai kakinya teman lo," jawab Jade, nada bicaranya sudah sepenuhnya berubah saat ini.

"Jadi itu salah gue? Iya?!" Dezel dengan egonya yang tinggi itu bertanya, kemudian dia tertawa kecil sambil menatap lurus ke arah Jade, "lo gila, tau?"

"Gue gila?!" Nada suara Jade pun sudah berubah menjadi lebih tinggi.

"Ja ... Jade," panggil Abigail yang berusaha untuk menenangkan sahabatnya yang sudah emosi itu.

"Iya, lo gila. Satu menit empat puluh detik yang lalu lo minta maaf dan ngerasa itu kesalahan lo, tapi sepuluh detik kemudian ketika gue menyetujui hal itu, lo marah? Bukannya itu ciri-ciri orang gila?" Dezel mengakhiri kalimatnya dengan sebuah pertanyaan yang kembali memicu perperangan.

"Tapi bukan berarti lo bisa nyerang gue juga dong dengan statement yang gue kasih," ujar Jade yang tidak terima.

Dezel mengeraskan rahangnya, menunjukkan kalau dia benar-benar sedang emosi dan tidak mau diganggu gugat. "Terserah lo mau ngomong apa, menurut gue, lo itu gila, fake, dan nggak mau ngaku kesalahan yang udah lo perbuat."

"Kesalahan gue?" Jade mengerutkan keningnya, dia menunjuk Dezel dengan telunjuk tangannya ketika dia bangkit dari tempat duduknya dan berdiri, "Kejadian hari ini itu bukan cuman karena kesalahan gue dan lo bener-bener nggak masuk akal sih!"

"Fine, gue akuin memang itu kesalahan gue karena ngundang lo ke acara pernikahan sepupu gue. Harusnya, ya, harusnya gue nggak maksa Welsen untuk ikut double date sama gue hanya karena lo mau bawa temen lo juga ke pertemuan pertama kita. Harusnya, gue biarin aja Welsen dan Katarina pergi ke pasar ikan hari itu," dada Dezel naik turun saat mengatakan itu, dia benar-benar menyesal dengan keputusannya pada saat itu.

"Maksud lo apa hah?!" sahut Jade marah. "Terus apa abis itu?"

"Ya, kita nggak akan ketemu dan kejadian hari ini nggak akan terjadi, don't you think so?"

"Jade, ini bandara, lower your voice," Abigail menahan amarah Jade sebisa yang dia lakukan, dia tau kalau semua perkataan yang keluar dari mulut Dezel hanya akan memperkeruh suasana, "kita pulang, Jade."

"Pulang? Nggak akan gue pulang!" teriak Jade, dia tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang lalu lalang melewati lorong.

Ketika Dezel mau membalas ucapan dari Jade, seseorang lebih dulu menautkan jari-jari tangannya pada milik Dezel, "Pulang? Jangan ada yang pulang!" perempuan itu tersenyum lebar seakan tidak ada yang terjadi sebelumnya, dia mendekat seakan sedang berbisik agar cowok yang dia bicarakan tidak mendengar suaranya, "gue udah buat perjanjian sama setan, anak dajjal, tentang kepergian kita ke Bali. Jadi, jangan sampai ada yang pulang atau sia-sia pengorbanan gue nanti," dia terkekeh.

"Kaki lo nggak apa-apa, Kat?" Dezel menoleh dengan panik dan khawatir pada cewek itu, "gue minta maaf. Kalau aja,"

"Bawel," balas Katarina yang duduk di kursi roda.

Melihat kursi roda yang dipakai oleh Katarina saat ini, membuat hati Dezel diliputi oleh perasaan bersalahnya lagi. Dezel menunduk agar sejajar dengan cewek itu, "Gue minta maaf, Kat."

"Apaan sih," kekeh Katarina, "gue nggak butuh permintaan maaf siapapun. Yang terjadi udah biarin aja terjadi. Sekarang kita ke Bali."

"Bukannya pesawatnya udah pergi?" tanya Abigail, ketika dia bertanya, dia secara sengaja melihat tatapan cowok yang dia suka pada perempuan yang sudah secara tidak langsung menjadi pemenang dari pertarungan yang ada.

"Welsen udah telefon bokapnya untuk terbangin pesawat pribadi keluarga besar Rayden dan sepuluh menit lagi bisa sampai," Sam yang menjawab kali ini, wajahnya terlihat lebih ramah daripadi tadi saat mereka di VIP Lounge.

Abigail membulatkan matanya terkejut dengan apa yang dikatakan oleh temannya Dezel, belum pernah dia naik pesawat pribadi seumur hidupnya. Paling mewah menurut dirinya dan keluarga adalah ketika merasa bisa duduk di bangku business class tanpa siapapun. Itu arti kemewahan bagi dirinya. "Kita naik pesawat pribadi ke Bali?"

"Iya, karena jarang banget keluarga besar Rayden mau keluarin pesawat pribadi, please, jangan sampai ada yang marah-marah atau cekcok ketika nanti kita di Bali," Katarina mengingatkan, "bisa ya?"

"Gue sih nggak masalah," Jade yang berbicara untuk menjawab pertanyaan Katarina, dengan nadanya yang terkesan masih nyolot tapi berusaha untuk tenang.

"Bisa kan?" Katarina yang masih menautkan jari-jari tangannya pada Dezel pun bertanya pada cowok itu, sebelum semuanya berangkat ke Bali untuk merayakan acara pernikahan sepupunya Dezel.

Sebelum menjawab pertanyaan yang menurutnya begitu berat karena dia tidak yakin dapat melakukan itu, Dezel berpikir terlebih dahulu. Menimang-nimang keputusannya, kemudian ketika matanya bertemu dengan mata hazel yang ada disampingnya saat ini, dia mengangguk, "Bisa, Kat. Gue akan jagain lo disana tanpa melakukan hal lainnya."

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang