TIGA PULUH SATU

10 3 0
                                    

Angin bertiup kencang seakan menyambut kedatangan dari pengantin wanita yang diapit oleh Jade dan perempuan lainnya dari pihak keluarga laki-laki. Seluruh tamu undangan bangkit berdiri—kecuali Katarina yang duduk di kursi roda, dari tempat duduknya dan tersenyum hangat ketika perempuan yang sedang berbahagia hari ini berjalan melintasi karpet merah khusus untuknya.

"Kalau gue jadi Kak Echa, I will use my favourite sneakers buat jalan ke pelaminan," Katarina berkata sembari tersenyum pada Kak Echa, sepupu perempuan Dezel yang menoleh ke arahnya saat berjalan.

"And I will be the one who will tie your shoes ketika talinya kelepas, kayak sepuluh tahun yang lalu," ujar Welsen yang berada di belakang Katarina karena Sam sedang sibuk membantu Abigail yang kelimpungan akibat banyaknya tamu undangan yang hadir dan harus mengisi informasi datanya di meja tamu, dan Dezel yang harus memastikan bahwa wedding organizer pilihan sepupunya itu sudah bekerja dengan maksimal.

"Why would you?" Katarina dengan bingung bertanya.

"Because you are the clumsy person I know, even when your biggest day—wedding, gue yakin kalau lo pakai sepatu, talinya akan lepas nanti," Welsen memperjelas maksudnya.

"Maksud gue, kenapa harus lo yang taliin tali sepatu gue kalau lepas? I will ask my future husband to tie my shoes," Katarina menyipitkan matanya menatap Welsen, "you have no right to tie my shoes ketika gue udah menikah."

"Well, sebagai teman lo, gue masih punya hak untuk melakukan itu," ujar Welsen, "apalagi ketika gue memilih lo ketimbang Rebecah, don't you think so?" Dia kembali mengingat apa yang terjadi pada sepuluh tahun yang lalu, pertanyaan bodoh yang seharusnya tidak ditanyakan oleh anak kecil berumur delapan tahun.

"Ah, that woman," memikirkan nama yang baru saja Welsen sebut sudah membuat kepalanya menjadi pusing, emosinya seakan meningkat secara tiba-tiba, dia sangat tidak menyukai perempuan itu. Dulu, sekarang ataupun nanti.

"That woman is the future Queen of Ravandele, country of wool," Welsen memberitahu, sudah lama dia tidak melihat Rebecah, perempuan itu seperti menghilang begitu saja di Indonesia setelah berpamitan untuk kembali ke negaranya beberapa hari setelah makan malam bersama keluarga besar Welsen di Belanda, musim dingin delapan tahun yang lalu.

"I know, she is the Queen Of Ravandele, tapi buat apa punya title sebagai ratu jika tidak memiliki rajanya. She needs to have King to be a Queen,"

"Nggak, lo salah. Nggak perlu punya Raja ketika dia memang dilahirkan untuk menjadi seorang ratu, Kat. Rebecah adalah seorang perempuan tangguh yang bisa memimpin sebuah negara dan memakmurkan rakyatnya agar terbebas dari kemiskinan dan kelaparan, sendiri, tanpa siapapun. She is that type of Queen, Kat," ujar Welsen yang memang sudah berteman dengan Rebecah sejak lama dan seringkali bertemu di tempat kursus piano dan tempat favoritnya untuk berkuda.

"Yeah, whatever," Katarina memutar bola matanya malas, dia tidak begitu suka ketika Welsen seakan membela perempuan yang dia benci itu. Walaupun dia memang bukan tipe perempuan yang pendendam, tapi dia begitu kesal dengan Rebecah sampai saat ini juga. Jadi, bisa disimpulkan bahwa hanya ada satu orang yang berhasil membuat Katarina menjadi seorang pendendam.

"She is kind, Kat," kata Welsen.

"She was kind, bentuk past tense, karena dia udah nggak lagi disini dan udah lama juga lo merasakan kalau dia orangnya baik. Untuk tambahan informasi, dia cuman baik ke lo doang, bukan sama gue," ujar Katarina.

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang