Keesokan harinya, Katarina dan ketiga teman tinggalnya itu tidak lagi telat. Mereka bahkan dua puluh menit lebih awal daripada biasanya. "Main basket dulu nggak? Mumpung masih sepi," ajak Sam ketika mereka berempat berjalan ke arah kelas dan melewati lapangan basket indoor yang sepi.
"Gas," Dezel mengiyakan dan menunggu respon dari kedua temannya yang lain.
Katarina yang paham dengan tatapan Dezel dan Sam langsung saja ikut mengiyakan, dia bahkan langsung berjalan ke arah lapangan basket dan mengambil bola basket yang ada di ujung lapangan.
"Boleh kan?" Sam bertanya pada Welsen seperti seorang anak kecil yang meminta ijin apakah dia boleh makan permen kepada ayahnya.
"Boleh," kemudian Welsen menaruh tas ranselnya ke bangku lapangan sebelum dia ikut bergabung ke tengah untuk bermain. "Lepas kemeja lo pada kalau nggak mau basah," kata Welsen pada Sam dan juga Dezel sedangkan untuk Katarina, "lo jangan ikut main. Kalau ikut main nanti seragam lo basah."
"Nggak akan basah, lagian gue tinggal buka kemeja juga kok. Gue kan pakai kaos juga," Katarina menatap kesal ke arah Welsen, dia harus ikut main. Sudah lama dia tidak bermain basket jadi dia benar-benar sangat ingin untuk main.
"Kalau lo buka kemeja dan pakai kaos yang sekarang lo pakai, nanti kaosnya pasti bakalan lo lepas setelah main. Untuk cowok nggak masalah kalau pakai kemeja tanpa kaos di dalamnya, tapi kalau untuk cewek? Lo tau sendiri jawabannya," ujar Welsen.
"Kenapa emang kalau cewek?" Katarina memicingkan matanya, dia tau jelas kalau cowok itu pasti tidak memberikan dirinya ijin untuk main. Tapi, yang namanya Katarina pasti akan terus memaksa sampai dia mendapatkan apa yang dia mau.
"Tembus, Kat, tembus. Paham kan?" Sam kali ini yang ikut nimbrung karena dia tau Welsen tidak akan berterus terang dengan apa yang cowok itu khawatirkan.
"Nggak tembus, Sam. Percaya deh, nggak bakalan tembus," kata Katarina yang tetap kekeh dengan pendapatnya.
Untuk mematahkan opini Katarina mengenai bahan seragam sekolahnya yang tidak setipis yang dia kira, Dezel berkata, "Kat, lo lupa sama kasus Beverly anak kelas satu?" Dia yakin kalau kasus yang dia sebut pasti bisa membuat Katarina tidak ingin bermain basket dan mengorbankan kaosnya.
"Ih, nggak, itu mah emang keringet dia aja yang kebanyakan," ujar Katarina.
Tanpa mengatakan apapun, Welsen membuka kemeja seragamnya dan kaos yang dia pakai sehingga tubuhnya tidak terlapisi sehelai kain, "Ganti seragam lo sama kaos gue kalau tetep mau main," dia menyodorkan kaos hitam miliknya pada Katarina.
"Lo gila?! Ngapain buka baju!" sontak Katarina berteriak ketika dada Welsen terekspos dengan bebas, dia langsung saja menutup matanya walaupun reaksinya terbilang cukup telat mengingat dia sudah melihat semuanya, "Lo jangan gila! Lo kira ini rumah?! Udah sinting otak lo kali ya!"
"Seorang Welsen Rayden mau main basket jam segini," Sam melirik jam tangannya, "sepuluh menit lagi anak-anak pada datang. Lo mau dada lo diliat semua orang khususnya cewek-cewek?"
"Weel, lo nggak beneran mau main tanpa pakai baju kan?" Dezel bertanya, dia tidak yakin dengan keputusan yang Welsen ambil hanya karena Katarina ingin bermain basket bersama dengan mereka hari ini.
"Nanti lo mainnya nggak pakai baju?" Katarina mengerutkan dahinya tidak mengerti.
"Iya, nggak masalah kok," ujar Welsen dengan raut wajahnya yang santai, "lo ganti baju sana, nanti keburu bel jam pertama dan banyak anak-anak yang datang," Welsen kembali menyodorkan kaosnya kepada perempuan satu-satunya disana.
Katarina menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya dengan kelakuan Welsen, "Gue nggak mau main. Lo pakai aja tuh kaos lo. Jangan sampai orang lain lihat badan lo," Katarina menunjuk dada Welsen dari atas ke bawah dengan telunjuknya.
"Kenapa?" Cowok yang menjadi peran utama di lapangan basket itu pun bertanya.
"Lo polos atau bego sih, Weel?" tanya Sam yang juga ikut terheran-heran dengan temannya.
"Pakai baju lo cepetan bego!" teriak Katarina ketika beberapa perempuan berdatangan ke arah lapangan dengan ponsel yang sudah siap untuk memotret momen langka sekolah Hilton Jakarta ini.
Tidak melihat pergerakan apapun, Katarina memukul punggung cowok yang ada didepannya saat ini dengan keras, "Cepetan ih! Ngapain sih! Mau umbar-umbar abs lo hah?!"
"Sakit gila!" teriak Welsen lalu dia meringis kesakitan, sebelum dia dipukul untuk kedua kalinya, dia lebih dulu memakai kaos hitam miliknya kembali.
"Parah ya, Kat pelit banget nggak mau bagi-bagi, gue kan mau foto pemandangan surga," bisikan dari perempuan-perempuan yang sudah berdatangan itu terdengar ke telinga Katarina.
"Lo pada jangan gila ya! Mesum tau nggak! Liat dada dikit langsung mau foto!" sahut Katarina kesal, dia bahkan menghampiri beberapa perempuan yang ada disana, "hapus."
"Apaan sih,"
"Hapus!" Katarina dengan tegas memerintah cewek-cewek aneh yang ada di depan matanya saat ini. Dia tidak mau kalau Welsen dijadikan objek yang tidak-tidak bagi mereka semua.
"Lo nggak punya hak untuk nyuruh kita hapus foto-foto yang kita ambil," jawab salah satu perempuan dengan penuh percaya diri.
"Dia punya hak untuk itu, hapus," Welsen yang sedari tadi memperhatikkan kericuhan yang disebabkan oleh dirinya pun akhirnya ikut turun tangan. Pakaiannya sudah lengkap sekarang.
Katarina tersenyum penuh kemenangan ketika mendengar suara Welsen yang mendukungnya, "You heard the man, don't you, girls?"

KAMU SEDANG MEMBACA
END OF THE ROAD
Teen Fiction---------------------------------------------- This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia no.19 tahun 2002). Any reproduction or other unauthorised use of the written work...