TUJUH PULUH

7 1 0
                                    

London,

Katarina belum pernah selelah ini sampai-sampai dia tertidur selama delapan belas jam dan baru saja terbangun pada saat matahari tenggelam. Bahkan, dia sudah melewatkan makan pagi dan makan siang yang harusnya dia lakukan bersama salah satu kolega bisnisnya. "Perut gue bener-bener rasanya kelaparan. I am starving," Katarina berjalan menuju dapur kecil apartemen milik Camille sembari menguap beberapa kali.

"You slept for a very long time and still sleepy? You are an amazing woman, Kat," pujian yang sebetulnya dimaksudkan sebagai sindiran terdengar dari arah kulkas dapur. Camille mengeluarkan beberapa bahan makanan untuk makan malam mereka dan tamu-tamunya nanti. Ah, tanpa diberitahu, kalian juga sudah tau kan siapa tamunya?

"I am still sleepy. Kamu nggak tau kan seberapa banyak tempat yang aku kunjungin kemarin sama Profesor Ryan? Kita naik kereta, bis, taksi, small boat and lastly pesawat kecil."

"Ah, it must be nice," Camille kemudian menyadari apa yang dia katakan, tangannya dia rangkapkan kedepan dada dan mengatakan, "Not nice, I know," dia lalu mengangguk seperti sedang memaksa otaknya memahami dan memproses apa yang sedang terjadi saat ini.

"Untung langsung nyadar. Kalau gue kemarin itu bisa gunain kesempatan sekali dalam seumur hidup buat kurang ajar sama orang yang lebih tua, gue pasti bakalan getok kepalanya dan tinggalin dia di desa terpencil di kota ini. I hate him. A lot," jujur Katarina dengan nadanya yang begitu kesal. Sesaat kemudian dia menyadari kalau dia sedang menggunakan gue-lo kepada Camille, "I mean aku, aku bakalan getok kepalanya dan,"

"Apaan sih, Kat," Camille tertawa melihat apa yang sedang sahabatnya itu lakukan, "it is very okay if you want to use gue-lo, that is fine for me."

"Thought it will be awkward," ujar Katarina.

"Never. We have been friends for a long time. Masa karena pakai gue-lo aja langsung canggung? Aneh lo," ledek Camille.

"I mean ... yeah, soalnya kan kita jarang banget ngomong pakai gue-lo, bahkan nggak pernah? Jadi, takut lo nggak terbiasa dan canggung aja," kata Katarina kepada Camille yang sekarang dengan santainya memotong bahan-bahan masakan yang perlu dia masak.

"Don't bother," Camille menggelengkan kepalanya sekali, "sebetulnya ada satu masalah yang harusnya kamu pikirin daripada mikirin hal yang nggak penting kayak gini," kemudian dia menyempatkan diri untuk mencari dan menatap kedua mata temannya yang berwarna hitam pekat itu, "Today is the day, Kat. Hari dimana kemungkinan besar akan merubah rencana kamu selama beberapa hari, bulan, atau beberapa tahun kedepan."

"Ah," Katarina menekan layar ponselnya yang memperlihatkan tanggal yang membuatnya tidak ingin berada di London untuk sehari. Dia berdeham, "No problem at all."

"Yakin nggak ada masalah?"

"Ya."

"Masa lalu kamu kembali dan kemungkinan besar akan mengajak kamu untuk nata masa depan yang sepertinya masih buram¾saat ini, dan kita nggak tau kedepannya akan gimana."

"Gue jujur bingung maksud lo apa sih, Cami. Terakhir kita bertengkar lo seakan ngebela gue untuk balikan sama Welsen and now what? Your opinions ... seems the opposite now."

"I just want the best for you."

Katarina menyunggingkan senyuman sinisnya, "What's best for me? Cause, lately I haven't think about anything. Not my business, future, love life, or family."

"Kat,"

"Cape nggak sih? Selama lima tahun belakangan ini yang ada diotak gue itu cuman tiga. Satu, am I doing the right thing untuk ninggalin dia waktu itu dan misah sama sahabat gue yang lainnya? Dua, do I deserve happy ending sama dia disaat kemungkinan besar kita semua juga tau kalau he will come to me as a man, nggak seperti sahabat lagi¾which he tried before and failed. Tiga, apa yang udah terjadi di masa lalu, keputusan yang gue putusin dulu itu, bakalan ngefek ke masa depan gue sama dia nggak sih? Itu," Katarina berkata, "itu semua yang ada diotak gue selama ini ketika lo berdebat tentang ini dan itu mengenai Welsen. Simply? Bukan cuman lo doang yang mempertanyakan tindakan anak remaja yang pada saat itu takut kalau dirinya akan menjadi the next victim," jujur Katarina. Dia sesekali mendongakkan wajahnya, dengan maksud agar air matanya tidak terjatuh.

"Okay," Camille menganggukan kepalanya, "I am so sorry about whatever things that came out, mau hari ini ataupun hari-hari sebelumnya. I am deeply sorry," ujar Camille dengan raut wajahnya yang begitu menyesal, dia menghampiri sahabatnya dan memeluknya pada saat ada seseorang yang masuk secara tidak sopan ke dalam apartemennya.

"Don't you dare!" seru Camille pada orang yang baru saja masuk ke dalam apartemennya dengan kunci yang sudah dipastikan milik kekasihnya. Saat ini dia masih dengan posisi yang sama yaitu memeluk sahabatnya, sedangkan Katarina yang dipeluk tidak dapat melihat apapun kecuali mendengar suara sahabatnya itu.

"What happened? Why is she hugging you? Is she crying?"

Katarina membulatkan matanya dibalik pelukannya dengan Camille. Suara yang dia kenal dan rindukan. Suara yang selama ini jarang sekali dia dengar. Apa yang terjadi kalau lima tahun yang lalu dia tidak memilih untuk memisahkan diri dan tetap melanjutkan hubungan yang awalnya coba-coba itu? Apakah dia akan berlari ke arah cowok itu dan memeluknya erat dengan perasaan bahagia?

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang