TIGA PULUH TIGA

6 4 0
                                    

"Mama udah bilang bukan sama kamu? Hati-hati kalau berjalan, berdiri ataupun duduk," omel Rosalinda Yunaya, Ibu dari Katarina yang sekarang berada di salah satu cafe kecil yang ada di London untuk melepaskan penatnya, tapi tidak jadi lepas karena kabar buruk yang dia dapatkan dari Welsen mengenai kondisi kaki anak perempuannya itu.

            "Ma, bukannya di London sekarang jam kerja ya?" Katarina menyalakan mode speaker panggilannya dan melihat jam sudah menunjukkan waktu delapan malam di Bali dan jam dua siang di London. Dia sengaja mengalihkan percakapannya agar tidak kena omel Ibu negara.

            "Jangan ngalihin pembicaraan, kamu kira Mama nggak tau intention kamu apa?"

            "Iya, iya," Katarina menganggukan kepalanya walaupun dia tau kalau hanya Welsen saja yang melihatnya di ruang tamu vila tempat mereka menginap.

            "Well, ok, kamu harus tau kalau minggu depan Mama akan pulang untuk menemani kamu lepas jahitan and until then, please hati-hati dalam bergerak. Do you understand my ultimatum here, Katarina?" Rosa bertanya untuk memastikan kalau anak perempuannya itu paham betul dengan perkataannya.

            "Mama akan pulang?"

            "Ya, mama akan pulang."

            "Mama naik pesawat dan berhenti di Bandara Soekarno Hatta? Mama betul-betul pulang kali ini? Tidak seperti bulan lalu?" Mata Katarina membesar, menandakan kalau dia terkejut dan senang secara bersamaan.

            "Ya."

            "Baik," Katarina menjawab dengan singkat padahal dalam hatinya sudah meledak-ledak seperti kembang api pada perayaan pergantian tahun baru. Dia sudah beberapa tahun tidak bertemu dengan kedua orangtuanya karena kesibukkan mereka di London dan terlebih lagi ketika mereka berencana untuk pulang, selalu ada saja permasalahan yang terjadi di kantor dan menyebabkan mereka untuk tidak jadi pulang ke Indonesia untuk bertemu dengan putri tunggal mereka.

            "Kamu nggak mau berkunjung ke London?" tanya Rosalina pada anak perempuan satu-satunya yang sepertinya paling tidak suka London. Entah karena alasan apa.

            "No, thanks," Katarina cepat-cepat untuk menolak sebelum Ibunya mengirim pesawat pribadi ke landasan udara yang ada di atas rumahnya di Jakarta ataupun di vila Bali saat ini.

            "Why?"

            "Nggak ada alasan spesifik," jawab Katarina.

            Rosalina menyipitkan matanya dan bertanya, "Kamu selalu menolak untuk pergi ke London, pasti ada alasan tertentu kamu menolaknya, Kat."

            "Seperti yang udah aku bilang, Ma. Nggak ada alasan spesifik untuk aku nggak pergi ke London."

            "Kalau begitu Mama akan mengirim Pak Yaya untuk kesana menjemput kamu. Kita lunch bareng besok."

            "Tidak."

            "Tidak? Kalau begitu beritahu satu alasan konkrit yang bisa membuat Pak Yaya tidak menerbangkan pesawat milik keluarga kita ke Bali untuk menjemput kamu dan satu alasan kenapa kamu tidak mau menengok Papa dan Mama di London," kekeh Rosalina.

            "Ma," saat Katarina memanggil Ibunya, dia menoleh ke arah Welsen yang sekarang sedang bermain dengan kucing milik salah satu pembantu Vila di kursi rodanya dengan riang, sedangkan dia duduk di sofa berkat bantuan gendongan dari pria itu.

            "Apa? I am listening," Rosalina memberitahu.

            Katarina mengigit bibir bawahnya gugup, dia tidak tau apakah dia harus memberitahu alasannya membenci London atau mengarang satu alasan yang lain. "Aku, aku, punya teman disini. Ya," dia menganggukan kepalanya, "disini aku punya dua teman baru yang ngebantu nyuksesin acara pernikahan Kak Echa tadi siang. They are kind, jadi aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan mereka."

            "Mereka? As in perempuan atau laki-laki seperti Welsen, Dezel dan juga Sam?"

            "Perempuan," dia berharap dengan jawabannya dapat membuat Rosalina tidak menyuruhnya untuk terbang ke London saat ini. Dia menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang terbebas dari apapun pada Welsen yang masih sibuk dengan kucing berbulu hitam itu.

            "Apa?" Perhatian Welsen akhirnya berganti ke arah Katarina, dia bertanya tanpa suara karena sadar bahwa perempuan itu masih terhubung dengan Ibunya.

            "Help me," Katarina meminta pertolongan tanpa suara juga, dia lalu menarik secarik kertas yang ada dibawah meja kaca ruang tamu dan menuliskan sebuah kata dengan pena yang secara kebetulan ada disana juga. Dengan telinga yang bekerja untuk mendengarkan celotehan Rosalina mengenai pertemanan, tangannya menuliskan satu perintah bagi Welsen.

            "Matiin wifi?" Alis Welsen naik seketika membaca kertas itu, dia menoleh ke arah kucing hitam yang sedang menatap ke arahnya juga dalam diam, dengan tatapan bertanya, "Ngapain?"

            Katarina menjauhkan ponsel miliknya dengan mulut karena dia ingin berbicara dan berharap bahwa yang mendengarnya hanya Welsen. Karena kalau tidak nyawanya akan melayang saat ini juga dan Pak Yaya tentu saja akan menerbangkan pesawatnya dengan kecepatan turbo sampai di Bali untuk menjemputnya. Tidak melihat pergerakan apapun dari musuhnya, dia mengambil cepat bantal sofa dan melemparkannya tepat ke arah wajah Welsen yang sayangnya tidak sempat dihindari oleh  cowok itu, "Cepetan," kemudian Katarina memerintah dengan suara  yang pelan namun dapat terdengar oleh Welsen.

            "Iya," dengan malas akhirnya Welsen bangkit dari duduknya di kursi roda milik Katarina dan berjalan menuju ruang kerja yang menjadi titik pusat dari tempat penyimpanan kotak wifi. Dia lalu mematikkan jaringan wifi seperti yang dipinta oleh Katarina, dari kejauhan dia dapat mendengar percakapan antara Ibu dan anak yang terjadi setelah perbuatannya itu.

            "Y-ya? Ma-ma? Aku tidak dapat mendengarmu, apa? Ah, sepertinya jaringanku tidak stabil. I will call you ketika koneksinya stabil. See you next week then?" Katarina segera menjauhkan ponsel miliknya dari telinga, agar Ibunya tidak dapat mendengarkan suaranya dengan jelas, "stay healthy, Ma."

            "What was that?" Welsen kembali dari ruang tamu dengan Katarina yang sudah tersenyum lebar menatapnya, menunjukkan dia sangat berterimakasih padanya.

            "Well, tadinya gue mau berterimakasih, tapi kayaknya nggak jadi," Katarina mengganti raut wajahnya, senyumnya mendadak hilang, "lo ngapain ngadu ke nyokap gue kalau kaki gue perlu dijahit?" dia menatap Welsen dengan sangar.

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang