"Kebanyakan nonton drama Korea kali ya mereka?" sindir Ivonne ketika mendengarkan apa yang diceritakan oleh sahabatnya, Isabella, mengenai hubungan antara Welsen dan juga perempuan yang paling dia benci di sekolah ini. Ivonne memasukkan es batu yang ada di gelas kosongnya ke dalam mulut, sudah menjadi kebiasaannya untuk melakukan itu, "lo dengar semua ini dari mana? Biasanya lo nggak mau tau kalau ada gosip-gosip tentang mereka berdua?"
"Gue tau dari temannya teman gue yang lain," ujar Isabella, sahabatnya Ivonne yang selalu bersifat netral dan tidak mau ikut campur. Sebelumnya juga dia biasa saja, namun sepertinya kisah kedua orang tersebut semakin menarik dan membuatnya ingin tau lebih lanjut lagi.
"Biasanya lo nggak peduli sama hal kayak gini," Ivonne mengulang perkataannya pada temannya itu, lebih tepatnya mendesak agar dijawab.
"Ya, gitu," jawab Isabella sekenanya saja, "lo udah tau tentang hal ini sebelumnya?"
"Belum."
"Kalau begitu, harusnya perjodohan lo dengan Welsen batal dong?"
"Maksud lo? Gue sama Welsen nggak akan batal tunangan."
"Kemungkinan besar pertunangan dan perjodohan lo dibatalin, Von," Isabella memberitahu, alasan kenapa dia ingin tau mengenai permasalahan orang lain adalah karena ada sahabatnya di dalam permasalahan tersebut meskipun semua orang tau dengan jelas kalau Ivonne hanyalah seorang peran pembantu yang melengkapi kisah Katarina dan tidak pernah terlihat sedikitpun dalam kisah tersebut.
"Nggak mungkin akan dibatalin, Bel. Keluarga Welsen dan gue itu udah dekat dari kecil dan nggak akan mungkin perjodohan kita dibatalin hanya karena Mamanya Welsen meninggal dan Katarina ngejauhin Welsen karena mereka mau fokus untuk sama-sama memperbaiki diri sebelum menjalin hubungan yang saat ini belum bisa mereka sanggupi."
"Jelas banget kalau lo yang akan kedepak, Von," Isabella mengingatkan temannya agar, "jangan banyak berharap sama cowok kayak Welsen, Von. He is a mess."
"He is not a mess," kekeh Ivonne yang belum juga sadar akan realita yang akan di hadapi kedepannya. "He. is. not. a. mess. You have to believe me," keyakinan Ivonna semakin bertambah seiring berjalannya laki-laki yang sedang dia bicarakan.
"Oh, he is a mess," jawab Isabella, dia menggelengkan kepalanya setelah itu, "mau sampai kapan lo nggak terima kenyataan pahit ini? You are in denial with everything yang berurusan dengan kehadiran Welsen. Please, sadar, Von. He is not gonna love you, buat ngelirik lo aja gue yakin dia nggak sudi." Bukan karena Isabella membenci Ivonne sehingga dia mengatakan hal-hal yang kejam seperti ini, dia hanya tidak ingin sahabatnya terluka. Sudah. Itu saja.
"He will love me, yeah," Ivonne menganggukan kepalanya yakin, menyunggingkan senyuman khasnya yang begitu manis dan memabukkan bagi beberapa siswa laki-laki di sekolah ini, "he will love me. Now, if you excuse me, I have someone to talk to," entah seperti sedang kena sihir, Ivonne berjalan menghampiri Welsen dan kedua temannya yang lain, yang baru saja masuk ke dalam kantin setelah penantian yang cukup lama ... delapan belas bulan.
"Von, Ivonne!" seru Isabella, dia memanggil terus-menerus nama wanita yang membuatnya kelimpungan dan lelah secara emosional setelah melihat tingkah laku sahabatnya itu. Jujur saja, dia sudah sangat lelah untuk mengingatkan kalau laki-laki seperti Welsen bukanlah seseorang yang harus dia kejar karena mau dikejar sebagaimanapun, Welsen bukan terlahir untuk Ivonne, tapi sayangnya Ivonne belum menyadari itu semua.
"Hai," sapa Ivonne ketika kaki jenjang Welsen terhenti di depan gerobak bakmie langganannya, "lo apa kabar?"
"Ya?" Welsen mengerutkan dahinya heran, dia tidak begitu kenal dengan perempuan yang sedang mengajaknya berbicara ini karena sulit baginya untuk menghapal setiap wajah siswa di sekolahnya itu.
"Lo inget sama gue nggak? Ah, harusnya gue bilang ini pas awal-awal kita kenal sih, cuman lo inget nggak sih sama gue?" tanya Ivonne yang langsung berterus-terang.
"Lo seangkatan sama kita kan?" Dezel yang menjawabnya.
"Ah, selain itu maksud gue," Ivonne menundukkan wajahnya agar merah merona wajahnya itu tidak dapat terlihat oleh siapapun. Ini pertama kalinya dia mendekatkan diri terlebih dahulu pada seorang pria.
"I am so sorry, no, I don't recognize you," Welsen menaruh tangan kanannya dengan canggung di curuk lehernya, "kayaknya kita nggak pernah ketemu selain di sekolah, if I am not mistaken," jawabnya dengan jujur.
Kecewa adalah perasaan yang dapat dideskripsikan oleh hatinya saat ini, Ivonne menghela nafasnya pelan. Dia tau ini akan terjadi tapi kenapa rasanya masih sakit ya? Dilupakan oleh cinta pertama dari masa kecilnya, "Gue calon tunangan lo, Weel. It's okay kalau lo belum kenal sama gue karena gue yakin ingatan manusia nggak akan mungkin tetap vivid, apalagi masa kecil sih," dia berusaha untuk memaklumi, "Mama, ah, maksud gue tante Jacquine rencananya mau ketemuin kita minggu ini tapi sayangnya she passed away."
"Ah, maksud lo kalian berdua dijodohin, iya?" Sam bertanya.
"Ya," anggukan kepala Ivonne dapat terlihat.
"Hmm, pendekatan yang baru ya," kekeh Dezel, kemudian dia tertawa dengan cukup pelan tapi masih dapat terdengar, "pendekatan yang baru kayaknya dari fans lo," dia berkata pada Welsen lalu memalingkan pandangannya ke perempuan yang menurutnya sangat menyedihkan itu, "sayangnya Mama Jacq nggak akan pernah jodohin lo sama Welsen, dalam keadaan hidup ataupun meninggal. She is not that blind to match you both," ujarnya.
"Apa?"
"Gue tau lo dengar apa yang gue bilang, nggak usah pura-pura nggak dengar. Sekali lagi, gue yakin lo juga udah dengar tentang rumor ini," tegasnya, lalu dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, "gue sebagai teman dari kedua orang yang sedang kalian rumorkan saat ini, pengen bilang kalau ya, mereka berdua emang sama-sama menjauh sekarang dengan ikatan yang sama sekali kalian belum pernah bayangkan sebelumnya. Jadi, untuk kalian di luar sana yang berpikiran mau dekatin salah satu dari mereka berdua, jangan banyak berharap."
Welsen menggelengkan kepalanya, "Lo nggak perlu ngelakuin ini. Terlalu berlebihan."
"Gue cuman cape aja ngeliat ada banyak banget orang-orang yang nggak tau diri dan mencoba untuk dekatin kalian hanya karena kalian lagi ngambil jarak. It bothers me a lot," ujar Dezel, lalu dia berjalan keluar dari kantin untuk meninggalkan siapapun yang ada disana, termasuk kedua sahabatnya itu.
"Gue minta maaf kalau Dezel terlalu kasar ngomongnya sama lo," Sam mendekat ke arah perempuan yang sedang dipermalukan secara tidak langsung oleh Dezel tadi, "dia terlalu emosional belakangan ini."
"It is okay," jawab Ivonne, air matanya sudah mau jatuh ke pelupuk mata dan mengalir dengan deras di depan semua orang, tapi sebisa mungkin dia menahan semuanya. Dia membalikkan tubuhnya dan mendapatkan sahabatnya disana, "ini baru drama Korea yang sesungguhnya."
"Von," panggil Isabella dengan suaranya yang lembut dan pelan.
"Makin lengkap kan dramanya? Lo sendiri tau kan adegan selanjutnya apa?" tanya Ivonne.
Kalau ditanya tentang itu, tentu saja Isabella tau dengan jelas adegan apa yang selanjutnya terjadi di drama-drama yang dia tonton itu. Peran pembantu wanita akan berjalan keluar dengan air mata yang akan terus menerus mengalir layaknya air terjun, tapi akan menghilangkan semua perasaaan yang ada di hatinya dan digantikan dengan perasaan yang lain. Benci. Marah.
"Maybe in another life, I can be with him, Bel," ujar Ivonne sebelum perempuan itu benar-benar pergi dari area kantin dan menumpahkan air matanya di lain tempat, yang pasti tidak didepan Welsen karena mau taruh di mata mukanya nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
END OF THE ROAD
Ficção Adolescente---------------------------------------------- This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia no.19 tahun 2002). Any reproduction or other unauthorised use of the written work...