DUA PULUH DUA

10 2 0
                                    

Ada satu mata pelajaran yang tidak pernah ada di sekolah-sekolah lain kecuali Jakarta Hilton, yaitu, Law. Mengingat kurangnya fasilitas dan peminatan yang tidak sampai sana, Jakarta Hilton menyediakan law court khusus untuk mata pelajaran tersebut dengan tujuan agar para siswanya dapat explore lebih dalam jurusan-jurusan yang sekiranya dapat mereka ambil ketika lulus nanti.

"Hari ini lo kebagian jadi apa?" tanya Katarina pada Sam yang duduk di ruang tunggu persidangan, dia mengulung lengan kemeja putihnya yang telah dia ganti tadi.

"Hm?" Sam mengangkat wajahnya dari pandangannya terhadap Ipad yang menunjukkan hasil ulangan fisikanya tadi pagi, dia menunjukan tanda pengenalnya pada Katarina yang tertulis sebagai petugas keamanan.

"Sial banget gue kebagian jatah jadi jaksa," dumel Katarina, walaupun hari ini baru pembagian dan pemahaman kasus, dia sudah sangat membenci perannya.

"Well, nggak apa-apalah. Daripada jadi panitera, nggak cape lo ngurus berkas administrasi mulu?" tanya Sam, dia ingat betul kalau teman perempuannya itu seringkali dipilih sebagai panitera di kasus-kasus persidangan sebelumnya karena Katarina termasuk ke dalam salah tiga murid yang dapat mengetik dengan cepat dan sangat berkompeten dalam mengikuti dan mencatat jalannya persidangan.

"Kasus hari ini nggak dipublish ke portal ya?" Dezel memasuki ruangan persidangan dan menghampiri kedua temannya yang sedang bercengkrama, kedua tangannya dia gunakan untuk membawa kertas-kertas yang digunakan sebagai acuan kelas kasus persidangan hari ini.

"Lo jadi sekretaris lagi?" Katarina mengernyitkan dahinya.

Dezel menganggukan kepalanya, "Lo nggak liat ni kertas-kertas materi persidangannya ada sama gue? Kalau bukan jadi sekretaris, nggak mungkin kan?"

"Good luck deh," kekeh Katarina, dia tau jelas bahwa tugas seorang sekretaris bukanlah suatu hal yang mudah karena tugas-tugas yang dikerjakan sangatlah banyak, dimulai dari mempersiapkan materi, memastikan bahwa seluruh surat yang masuk dan keluar selama kelas dapat terorganisir dengan baik. Terlebih lagi sekretaris juga harus mengkoordinir masalah seperti lingkungan persidangan yang aman, nyaman serta membuat laporan pertanggungjawaban selama persidangan dimulai.

"Cape sih," keluh Dezel, sudah sebanyak tiga kali dia menjadi sekretaris tapi sama sekali masih belum terpikirkan sesuatu yang dapat memudahkan pekerjaannya.

"Kira-kira Welsen dapat peran apa ya hari ini?" Katarina bertanya pada kedua temannya yang lain.

"Hakim mungkin," jawab Dezel.

"Kayaknya nggak deh, masa dia jadi hakim mulu," Sam berpikir sejenak mengenai peran apa yang sekiranya diberikan pada Welsen pada persidangan kali ini karena tidak mungkin cowok itu bisa mendapatkan peran yang sama selama tiga kali sidang sejak kelas sepuluh, "kayaknya jadi hakim pembantu dan bukan hakim utama yang kayak biasa."

"Masa sih? Tapi kayaknya dia jadi sesuatu yang nggak pernah gue pikirin," Katarina membalikkan tubuhnya ketika pintu terbuka dan menunjukkan satu orang yang menjadi topik pembicaraan mereka, dia menunjuk orang tersebut, "tersangka."

"Wh-," perkataan Sam dan Dezel terputus dengan keterkejutan mereka ketika Welsen melambaikan tangannya dengan wajah datar khas miliknya, tidak lupa dengan baju tahanan warna orangenya yang melekat ditubuh atletis miliknya.

"Gue yakin, Ko Bernard udah gila ngasih lo peran tersangka kayak gini," Sam mengangguk yakin, melihat pakaian aneh-baginya, Welsen dari atas sampai bawah tanpa terkecuali.

Berbeda dengan Sam, Dezel mengatasi keterkejutannya dengan bertepuk tangan dan melebarkan tawanya, "Hebat, gue salut sama Ko Bernard sih. Bisa-bisanya dia pilih pentolan hukum Jakarta Hilton buat jadi tersangka. Gue percaya kali ini tim pengacara yang akan menang sih," dia melirik Katarina, "sorry, Jaksa. Gue berada di pihak pengacara hari ini."

"Sialan," Katarina berdecih, memakai jubah jaksanya yang sedari tadi dia pegang, "gue bakal menang," dia menatap teman-temannya dengan penuh percaya diri, dia yakin bisa memenangkan kasus persidangan kali ini dan mendapatkan free pass untuk ujian akhir semester.

Sam mengeluarkan permen karet miliknya dari kantung celana seragam petugas keamanannya dan melihat layar ipadnya yang berbunyi menandakan ada pesan masuk, "Well, gue sebagai petugas keamanan kayaknya bakalan kerja extradeh di persidangan kali ini," dia menaruh ipadnya diatas bangku setelah melihat apa yang seharusnya dilihat oleh semua orang.

"Ya?"

"Lo tau lawan lo siapa nanti?" Sam bertanya pada Katarina yang dibalas dengan gelengan kepalanya karena cewek itu belum sempat untuk mengecek portal siswanya hari ini.

"Gue belum tau siapa pengacaranya, siapa emang?" Dezel juga ikut bertanya.

"Ivonne, lawan lo Ivonne, Kat," ujar Sam.

Nama yang seketika membuat nyali Katarina sedikit menciut, tapi dia berusaha untuk mengantur reaksi wajahnya agar tidak terlihat kalau dia sedang gugup dan takut di depan ketiga temannya yang lain. Ada alasan kenapa Katarina tidak begitu menyukai lawannya hari ini. Dia tau kalau tidak mungkin dia bisa menang melawan Ivonne, perempuan cerdas yang memang benar-benar ambisius di mata pelajaran hukum karena memang tujuan Ivonne adalah menjadi seorang pengacara dan jaksa di masa depan.

"Kok dia bisa jadi pengacara? Biasanya jadi jaksa?" Dezel mengerutkan keningnya heran, biasanya Ivonne mendapatkan peran sebagai jasa dan memang selalu memenangkan persidangannya itu.

"Karena dia yang kepilih jadi jaksa buat kasus kali ini," Welsen menunjuk Katarina yang terlihat santai padahal di dalam hatinya dia sedang bertarung dengan perasaaannya sendiri.

Bagaimana kalau dia gagal melawan Ivonne? Perempuan itu jelas lebih hebat dibandingkan dirinya ketika berurusan dengan mata pelajaran hukum ini. Katarina benar-benar tidak percaya diri saat ini. Dia secara tidak sadar meremas jubah jaksa yang di pakai.

"Lo tenang aja, gue yakin lo bisa lawan Ivonne," Welsen mendekat ke Katarina dan membisikan kata-kata magis yang membuat jantung perempuan itu mendadak berdetak seperti biasa.

"G-gue," kata-kata Katarina menggantung, dia cukup bingung apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Satu detik dia gugup, cemas, dan detik selanjutnya dia biasa aja karena apa yang dikatakan oleh Welsen padanya.

Apa yang sekarang sedang dia rasakan?

Kenapa bisa seperti itu?

Kekuatan apa yang Welsen memiliki sampai bisa membuatnya menjadi lebih tenang?

Tidak masuk akal.

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang