ENAM PULUH DELAPAN

14 2 0
                                    

"Can I get extras sugar, please?" pinta Katarina pada pelayan cafe yang ada diseberang apartemen Camille. Sudah tiga jam dia habiskan di cafe setelah menghindar dari fakta bahwa cowok yang menghindari dirinya telah merencanakan kedatangannya ke London untuk ... dia tidak tau apa yang cowok itu akan lakukan setibanya di London.

"Here," Pelayan cafe tersebut memberikan apa yang diminta oleh Katarina, lalu dia menyodorkan donat gula dari meja kanannya, "dougnut, on the house."

"Wow, I should be coming here all day then," Katarina terkekeh melihat pelayan tersebut. Dia tidak tau kalau pelayan tersebut akan memberikannya donut gratis disaat dia baru saja ingin memesan sesuatu untuk mengganjal perutnya yang baru saja diisi dengan sereal dari apartemen Camille.

"The next time you came, maybe ... a little maybe," Pelayan tersebut mengisyaratkan hal kecil dengan tangannya, "I will ask you for dinner?" dia ragu-ragu saat mengatakan hal tersebut, takut keadaan akan menjadi canggung.

Kali ini Katarina tersenyum manis, dirinya benar-benar mencetak senyuman khas miliknya yang seringkali berhasil membuat orang jatuh cinta padanya, "Sounds great!" dia berseru. Kemudian, dia mengambil donut yang ada ditangan pelayan cowok tersebut dan kembali duduk ke tempatnya.

Betapa senang dirinya ketika donut gula tersebut masuk ke dalam perutnya bersamaan dengan kopi yang dia sudah campurkan dengan tambahan gula agar tidak begitu pahit. Katarina tersenyum sekali lagi. Kemudian, dia mengeluarkan laptopnya dari balik tas yang dia bawa dan mengetikkan email yang dia tujukan pada profesor kampusnya.

"Done!" seru Katarina sembari menekan tombol kirim. Email yang dikirimkan oleh Katarina adalah email yang berisikan penolakan secara halus dari dirinya untuk mengunjungi profesornya yang sekarang sedang berada di kota yang sama dengannya. Alasannya? Dia sudah cukup bosan untuk bertemu dengan profesor paling mudanya dari Oxford itu.

Tidak lama kemudian, nada dering ponselnya berbunyi menandakan adanya panggilan masuk dan dengan sigap dia memindahkan panggilan tersebut ke laptop agar dia dapat mengangkatkannya. "Halo," Katarina menyapa dari orang yang ada disebrangnya.

"Halo would be rude from someone who dumped me," sindir orang yang menelpon Katarina itu.

"I am not," Katarina memutar bola matanya meskipun dia tau profesornya itu tidak akan melihat. "Are you obsessed with me? Cause I think you are," ledeknya.

"I am in the middle of no where and you are the local person here, so, guide me?" Profesor Ryan memintanya sekali lagi, kali ini melalui telepon dan bukan email.

Katarina menimbang-nimbang keputusannya, kemudian dia mengecek jadwal yang tertulis di kalendar digitalnya dan sialnya dia tidak mempunyai jadwal apapun hari ini. Sepertinya dia harus mulai memarahi sekretaris pribadinya karena tidak menjadwalkan kegiatannya dengan benar? "Fine," dia menggerutu sembari memberikan syarat kepada Profesor Ryan yang dulu pernah membantunya untuk mencarikan angel investor untuk bisnisnya, "On one condition," dia menjawab, "If you can be here in ten minutes, I will guide you."

"Where are you now?"

"Me? Cafe."

"What cafe?"

"You have to find me."

"But, how? Kamu nggak kasih tau aku dimana."

"Last time I check, you are still a profesor, right?"

"Uhm ... yes?" Profesor Ryan ragu-ragu dalam menjawab. Entah jawabannya akan membuat dirinya tertiban sial atau keberuntungan.

"Then, use your knowledge, Profesor," jawab Katarina dengan kekehan diakhir. Tanpa menunggu lama, dia memutuskan panggilan mereka dan mematikan ponselnya agar tidak dapat dicari oleh Profesor Ryan. Ah, untuk ponselnya ... dia akan menyalakannya kembali setelah sepuluh menit. Dia sangat berharap kalau dirinya akan bersantai di hari yang tenang ini, tanpa harus pergi ke tempat-tempat yang dia benci saat ini.

Sembari menunggu kegagalan Profesornya, Katarina dengan asyik mengecek proposal tim marketingnya yang baru saja dikirimkan melalui email sekretaris pribadinya itu. Ah, sepertinya Tiffany memang sengaja mengosongkan jadwalnya untuk kegiatan tidak terduga seperti ini. Katarina memijat keningnya yang begitu pening sekarang, banyak sekali kesalahan yang dia sadari dari tim marketingnya.

"Huft, I am not late, right?" Seorang laki-laki berumur dua puluh sembilan tahun dengan syal merah di lehernya padahal sekarang adalah musim semi. Rambut-rambut halus diwajahnya kali ini dia biarkan menutupi wajahnya, "took me a while to notice your location."

"I am busy, Profesor," Katarina memutar bola matanya jengah, dia tidak percaya kalau Profesornya itu benar-benar menghampiri dan mencari dirinya. Begitu niat, menurut Katarina. Ketika matanya kembali fokus pada layar laptop yang menunjukkan proposal tadi, Katarina tidak sengaja menangkap inisial yang tertera di syal merah Profesor Ryan.

"Why? Something wrong with my scarf?" tanya Profesor Ryan yang kebingungan.

Katarina menggelengkan kepalanya dengan canggung, "Aku hanya seperti mengenal syal tersebut. Ah, iya benar, nggak mungkin di dunia ini cuman ada satu syal yang seperti itu. It is impossible that is Welsen's."

"Hm? Kamu mengenal Welsen?"

"Ya?"

"Welsen Rayden, is it?"

"Yeah? I ... do ... know him?" jawab Katarina ragu-ragu. Kenapa dia jadi ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan yang mudah seperti ini?

"Ah, begitu. Syal ini punyanya. I met him around last month I guess? He gave this scarf when I felt cold. Dia bilang katanya orang yang kasih syal ini selalu ngebuat dirinya hangat, seperti syal ini," Profesor Ryan menunjuk syal yang bukan miliknya itu.

Katarina menganggukan kepalanya cepat dengan canggung. "Ah, okay," dia lalu mengganti topik pembicaraan mereka karena sepertinya dia paham kalau tidak akan menjadi keuntungan apapun jika mereka membicarakan mengenai masa lalunya dengan Welsen. Atau, tidak mungkin juga kan dia bilang syal tersebut pemberiannya? Bisa-bisa dia akan di cap sebagai penerus Taylor Swift dengan lagu terbarunya yang membahas mengenai syal merah. "Jadi, gimana caranya kamu menemukanku disini, Prof? Tempat ini jarang ada yang ketahui, kecuali beberapa orang lokal yang ada disini."

"Exactly the point. Kamu adalah orang lokal disini, bukannya akan berpergian ke tempat yang hanya diketahui oleh orang-orangmu? Am I right?" Profesor Ryan menaik-turunkan alisnya dengan senyuman bangga yang terukir diwajahnya, yang tentu saja terlihat menyebalkan dihadapan Katarina. "So? Kemana kita harus pergi? Kayaknya restauran pizza bakalan enak deh? Setelah berlari kesini, perutku menjadi lebih sensitif dengan nafsu makan," ledeknya.

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang