ENAM PULUH LIMA

8 1 0
                                    

Perpustakaan begitu ramai saat ini karena besok adalah hari dimana semua siswa kelas dua belas akan melangsungkan ujian yang akan menentukan tingkat kelulusan dari pembelajaran mereka selama tiga tahun di bangku SMA. Katarina menguap ketika dirinya akan menerobos keramaian yang sedang mengantri untuk mengambil buku ujian biologi yang hanya akan disediakan sepuluh buku oleh pihak sekolah. Apakah Katarina akan mendapatkan buku itu? Ya, tentu saja. Dia sudah berdiri sejak sepuluh menit yang lalu dan menghitung kalau dirinya berada di posisi ke sembilan, yang berarti buku contoh soal ujian biologi tersebut adalah miliknya.

"Lo lagi ngantri buku? Yakin dapet? Gue barusan dari depan dan petugas perpustakaan bilang kalau bukunya cuman tinggal dua dan posisi lo saat ini jauh dari jangkauan," ujar Sam yang secara tidak sengaja bertemu dengan sahabat perempuan yang sudah sangat dia rindukan kehadirannya di rumah, sudah tidak ada lagi yang bisa dia ajak bertengkar sebelum memberikan makan pada ikan satu, ikan dua dan ikan empat.

Berbicara mengenai ikan, semalam ikan tiga sudah tewas dengan tragis karena digigit oleh temannya sendiri yang tidak diketahui oleh Sam, "Ikan tiga udah meninggal by the way," dia memberitahu.

"Apa? Dan apa?!" Katarina terkejut akan kedua hal yang diberitahu oleh Sam barusan.

"Ya, dan ya. Ikan tiga tewas dan lo nggak dapat buku contoh soal ujian biologi," ujar Sam.

"GUE UDAH NGANTRI SEPULUH MENIT! KENAPA BISA NGGAK DAPAT!" serunya dengan nada yang sangat amat tinggi, membuat beberapa orang menoleh ke arahnya dan melayangkan tatapan peringatan untuk menyuruh mulutnya diam. "Siapa? Siapa yang berani ambil buku lebih dari satu?" dia menyipitkan matanya, "lo kan?"

"Kepala lo buntung! Ya kali, gue nggak mungkin berani ambil lebih dari satu di saat gue tau ada berpuluh-puluh orang yang ngantri untuk minjam buku keramat itu," jawab Sam dengan santai.

"Ah," Katarina menghela nafasnya, setidaknya bukan Sam yang mengambil buku tersebut. Karena kalau tidak, sudah dipastikan dia akan membanting cowok itu dan menendang tulang keringnya.

"Tapi, kabar baiknya ... salah satu dari kita bertiga berhasil dapat buku itu," Sam menyunggingkan senyum bangganya, mengingat ada satu manusia dari kalangannya yang mendapatkan buku keramat tersebut.

"Oh ya? Siapa?"

"Welsen."

"Ah, of course."

"Kenapa jadi nggak semangat gitu?"

"Nggak apa-apa."

"Yakin nggak apa-apa?"

"Ya."

Sam menganggukan kepalanya, "Mau gue pinjemin bukunya dari Welsen?"

"MAU!"

"Mendadak jadi semangat begitu," cibir Sam, sepertinya dia juga sudah menebak semuanya karena Katarina bukanlah seseorang yang sulit ditebak ketika perempuan itu sudah menginginkan sesuatu. "Nanti gue fotoin aja contoh-contoh tebakan yang nantinya bakalan keluar pas ujian."

Katarina menganggukan kepalanya dengan antusias, dia begitu senang sampai-sampai tidak sadar kalau Welsen dan Dezel berada tidak jauh di belakangnya.

"Kat, malam ini lo ikut kan?" tanya Dezel yang langsung saja melangkahkan kakinya cepat.

"Eh?" Secara tidak sengaja, kakinya terperanjat hingga dirinya hampir terjatuh kalau saja tidak buru-buru ditangkap oleh Welsen yang kebetulan ada di belakangnya—karena cowok itu berlari kencang untuk menangkapnya.

"Kat!" seru Sam dan Dezel secara bersamaan. Jangan kira kalau kaki mereka juga tidak reflek melangkah untuk menyelamatkan Katarina, mereka berdua melakukan hal itu, tapi sayangnya usaha mereka belum cukup untuk dikatakan berhasil.

"Minggu kemarin gue udah bilang kalau lo harus hati-hati, di setiap langkah yang lo ambil itu harus selalu dahuluin keamanan, Kat," kata laki-laki yang menangkapnya, sedangkan dirinya masih terbatu dipelukannya. "Udah siap buat bangun?"

"B-bangun?" gugup Katarina, jiwanya belum sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi saat ini.

"Maksud gue berdiri," Welsen membantu Kat untuk berdiri tegak, berpijak dengan kedua kaki perempuan itu sendiri, "you are safe."

"I-i," Katarina ingin sekali membunuh dirinya sendiri saat ini. Bisa tidak kalau jiwa dan raganya itu tenang kalau berhadapan dengan Welsen? Bisa tidak dirinya tidak jantungnya bekerja sama agar tidak berdetak terlalu kencang ketika cowok itu berada di hadapannya? Bisa tidak hatinya mengatakan keinginannya untuk terus melaju dengan cowok itu di saat otaknya mengatakan tidak? Jawabannya? Tetap tidak. Tidak akan pernah ada hal yang terjadi di saat dirinya masih menganggap Welsen belum siap akan semua hal. 

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang