"Tadi lo bilang apa, pecahan belingnya dikit? Dikit kata lo?!" Welsen bertanya dengan maksud untuk menyindir karena cowok itu menaikkan ke beberapa oktaf dari suara aslinya yang seharusnya terdengar berat dan gagah. Untung saja dia segera membawa cewek keras kepala yang sekarang sedang duduk sambil menahan sakit karena dokter sedang menjahit beberapa lukanya yang lumayan dalam dan perlu jahitan. Saat ini mereka sedang berada di ruangan khusus untuk dokter jaga di bandara yang sekali lagi, untungnya ada.
"Bawel ih," balas Katarina yang malas untuk meladeni omelan dari Welsen karena sekarang dia sedang fokus untuk menahan rasa sakit ketika luka kakinya dijahit. Dia memegang erat baju lengan panjang berwarna putih yang dipakai Sam dan berlindung dibalik dada bidang cowok itu.
"Close your eyes," ujar Sam yang rela bajunya lecak akibat pegangan Katarina yang benar-benar erat. Dia membiarkan cewek itu untuk melakukan hal tersebut adalah karena dia tau dengan jelas bahwa Katarina takut dan kesakitan. Jelas sekali.
Katarina tidak menjawab apapun, dia hanya membalasnya dengan anggukan kepala yang hanya dirasakan oleh Sam karena kepala cewek itu menempel di bagian perutnya dengan nyaman walaupun ketakutan.
"Bisa kita cancel aja nggak sih trip kali ini? Bilang aja sama sepupunya Dezel kalau kita lagi berhalangan hadir karena ada yang terluka dan perlu untuk diurus selama beberapa hari kedepan. Toh, memang begitu yang terjadi kan?" Welsen tertegun melihat luka kaki Katarina, tapi dia tetap menutup rapat mulutnya untuk tidak mengatakan apapun karena dia tau apa yang akan terjadi jika dia berbicara mengenai luka tersebut.
"Jangan dibatalin, apaan sih, I want to go there, kaki gue juga nggak apa-apa kok," Katarina menjauhkan wajahnya dari dada Sam dan dengan sungguh-sungguh berbicara pada Welsen, dia tau kalau keputusan pergi atau tidaknya akan bergantung pada cowok itu.
"Tapi kaki lo sama sekali nggak mendukung, Kat. We can not go," balas Welsen.
"Nggak. Gue bisa pergi kok. Setelah dijahit, gue bisa pakai kursi roda biar nggak banyak aktivitas yang menggunakan kaki. Lo bisa dorong kursi roda gue nanti di pernikahan sepupunya Dezel, atau mungkin Sam yang dorong nanti," Katarina berusaha untuk memberikan solusi yang terbaik menurutnya, "atau nanti gue dorong sendiri juga bisa kok."
"Kat ..."
"No, beneran. Gue bisa dorong sendiri nanti kalau memang kalian sibuk nyari cewek atau keliling, terserah kalian karena I can handle the wheelchair by myself, Weel. Really," Katarina membentuk jarinya menjadi angka dua, "lo semua nggak perlu khawatirin gue."
"Lo belum pernah pakai kursi roda, nggak mungkin lo bisa dorong kursi roda itu sendirian," Sam kali ini yang membuka suara, "nanti gue yang dorongin aja. Tapi, kalau dipikir-pikir, gue setuju sama Welsen. Kita bisa aja kok ijin. Skip satu kali pernikahan keluarga besar nggak akan ngebuat orangtua kita marah. Nggak akan ada perubahan apapun."
"Nggak, nggak, gue bisa beradaptasi sendiri nanti sama kursi rodanya, Sam. Please, kita ke Bali ya? Sesuai rencana kita," Katarina mengeluarkan jurus andalannya yang dia tau pasti berhasil, "I need this. I really want to go, Weel."
Setelah menimang-nimang keputusan, akhirnya Welsen menganggukan kepalanya dua kali, menandakan kalau cowok itu sudah setuju untuk terus melanjutkan perjalanan sesuai dengan rencana, "in one condition. Gue yang akan dorong kursi roda lo selama kita di Bali dan nggak ada aktivitas yang berat-berat buat lo seperti waterboom dan aktivitas air yang udah lo booking untuk kita."
"HAH? SERIUSAN?" Katarina terkejut sampai-sampai kakinya ikut tergoyang dan kena omel oleh dokter yang masih berkutat dengan jahitannya.
"Iya, jadi gimana? Deal or no deal? Keputusan lo akan mempengaruhi seluruh kegiatan kita nanti di Bali," Welsen melebarkan senyuman bangganya.
"Tapi, gue mau main di waterboom," Katarina malah memang sengaja untuk memesankan tiket ke taman bermain air yang ada di kota penuh permainan air itu, bahkan dia juga sudah membeli baju renang khusus untuknya. Tatapannya berubah menjadi sendu ketika memikirkan bahwa dia tidak akan bermain di Bali nanti.
"Nggak bisa, kita bisa ke Bali, tapi lo nggak bisa untuk main di waterboom," tegas Welsen. Sebetulnya, tanpa cowok itu tanya juga Welsen sudah tau apa yang akan dijawab oleh Katarina, cewek itu pasti ngotot untuk pergi.
"Gimana nih ... tapi gue mau main air, Sam," Katarina menaikkan wajahnya, berbicara pada laki-laki yang masih setia berada didepannya.
"Kali ini gue setuju sama Welsen sih, lo nggak boleh main-main sama air dulu selama di Bali," ujar Sam.
"Aduh, sial banget sih," dumal Katarina.
Welsen secara tiba-tiba membuka hoodie yang dia pakainya tanpa berbicara apapun karena dia sedang membiarkan Katarina untuk berpikir atas keputusannya.
"Jadi gimana, pergi nggak nih ke Bali?" Sam bertanya setelah dua menit diisi dengan keheningan karena di ruangan tersebut hanya ada dirinya, Katarina, Welsen dan seorang dokter.
"Kalau saya jadi Mbak, saya akan pergi ke Bali tanpa main waterboom," Dokter yang bernamakan Cyrus memberikan jawaban yang sekiranya bisa digunakan untuk pasiennya itu. "Mendingan nggak main air daripada nggak bisa main seumur hidup karena jahitannya nggak kering."
Katarina yang mendengar itu langsung saja terkejut, dia tidak bisa main seumur hidup? "Seriusan, Dok?"
"Nah, udah. Berarti deal ya? Kita ke Bali, gue yang dorong kursi roda lo dan tambahan lagi nih," ujar Welsen yang membuat perhatian Katarina teralihkan padanya, "gue bakalan obatin luka lo setiap harinya sampai luka lo kering."
"Hah?"
"Ya, gue nggak percaya sama kemampuan lo untuk ngobatin luka lo sendiri, jadi mau nggak mau gue yang turun tangan dan lo harus setuju," ujar laki-laki yang sedang membuat penawaran yang sebetulnya tidak terdengar sebagai penawaran yang dapat merugikan Katarina.
KAMU SEDANG MEMBACA
END OF THE ROAD
Teen Fiction---------------------------------------------- This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia no.19 tahun 2002). Any reproduction or other unauthorised use of the written work...