EMPAT PULUH TUJUH

10 4 0
                                    

Canggung? Ah, tentu saja, apalagi ketika Katarina dan Welsen sama-sama harus keluar dari kelas untuk mendaftarkan diri mereka dan kedua temannya ke dalam pameran universitas Ivy League yang akan diadakan besok pada jam sekolah. Katarina berjalan lebih dahulu daripada Welsen yang sekarang berada di belakangnya, bagaikan itik yang mengikuti induknya.

            Ketika mereka berdua sudah berada di depan lapangan basket indoor yang digunakan sebagai tempat pendaftaran, Welsen mempercepat langkahnya untuk membukakan pintu agar perempuan yang enggan menatapnya itu masuk lebih dahulu.

            "Ah," Katarina menyadari perlakuan Welsen dan menundukkan kepalanya, "thanks."

            "My pleasure," jawab Welsen canggung. Sejujurnya, dia tidak tau kenapa harus bersikap canggung di saat dialah orang yang membahas semuanya kemarin, dialah yang memancing percakapan yang sudah lama terjadi.

            "Kalian mau daftar pameran ya?" tanya Charles, ketua OSIS yang memang bertugas untuk memproses semua pendaftaran yang ada.

            "Ah, yes," jawab Katarina yang cepat-cepat mengambil pen yang ada diatas meja dan mengisikan namanya sendiri, setelah itu dia menoleh dan memberikan penanya ke Welsen, "lo tulis nama lo sendiri kan?"

            "Sekalian aja," ujar Welsen, tapi tangannya malah mengambil pena yang disodorkan oleh Katarina tanpa menyadari hal itu karena matanya fokus dengan wajah sahabat perempuannya yang ... begitu cantik, bertambah cantik herannya.

            "E-eh?"

            "Sekalian aja," Welsen melebarkan senyumannya yang sangat jarang dia tunjukkan pada siapapun, kecuali teman terdekatnya, bahkan Sam dan Dezel sangat jarang melihat senyuman itu.

"Penanya lo ambil, bego," keluh laki-laki yang ada didepan mereka saat ini, yang tidak lain adalah Charles. Dia memutar bola matanya sebal, lalu pada saat itu juga dia sadar apa yang terjadi saat ini. Charles yakin dengan apa yang ada dipikirannya saat ini karena semua tingkah laku Welsen terkesan sangat ... transparan.

            Katarina berdeham canggung, tangan kanannya dia gunakan untuk merebut pena yang berpindahtangan ke cowok yang ada disebelahnya itu. "Gue aja kan yang tulis," dia lalu menunduk untuk menuliskan ketiga nama lainnya. "Besok kita pergi jam berapa ke pamerannya? Pakai mobil pribadi atau disediain bus sama sekolah?"

            "Untuk pamerannya bakalan pakai mobil pribadi kalau yang bawa kendaraan pribadi, tapi ada beberapa murid juga yang milih buat naik bus, for some personal dan non-personal reasons. Kalau lo mau naik bus, let me know and I will make sure you can get the best seat on the bus."

            "Really?" Katarina melengkungkan senyumannya, walaupun tidak selebar yang biasanya dia perlihatkan ketika di rumah, "ternyata ini privilegenya punya teman anak organisasi ya? dia tertawa.

            "Well, you will get another benefit if you date one," Charles mengedipkan sebelah matanya, mencoba untuk memastikan sesuatu.

            "Ganjen," sinis Welsen.

            "Exactly," ujar Katarina yang berupa candaan.

            "I am so sorry, nggak biasanya Charlie kayak gitu depan orang. Biasanya dia jutek, ganas, tapi masih friendlykok," Sekretaris OSIS yang duduk disebelah Charles panik ketika melihat sisi baru dari Ketua OSISnya itu.

            "Charlie is a freaking deadly guy, but, Charles is a nice, yet flirty man," Katarina memberitahu.

            "Indeed," Sekretaris Charles menganggukan kepalanya setuju, dia menjulurkan tangannya kepada Katarina, "Victoria, you can call me Vict."

            "Katarina."

            "Nice to meet you."

            "Yes, you too."

            "Ternyata ini rasanya mantan gebetan dan gebetan saling kenal," Charles bergantian menatap kedua perempuan itu dengan tatapan bangganya, "well,"

            "Eneg gue lama-lama disini," Welsen membalikkan badannya untuk pergi dan dengan sengaja berkata dengan tegas dan lantang, "jangan banyak berharap. Gebetan?" dia mendengus, "shame on you."

            "What was that?" Victoria mengangkat kedua alisnya kebinggungan, dia tidak paham atas apa yang terjadi. Dia cukup paham bahwa Charles menanggap Katarina sebagai gebetannya, namun apa permasalahan cowok aneh itu? Kenapa dia tampak ... marah dan kesal?

            "That?" Charles menunjuk cowok yang sudah keluar dari lapangan, meninggalkan Katarina dengannya, "itu adalah cowok pencemburu yang bodoh. Bodoh karena menutupi perasaannya, bodoh karena nggak mau melangkah maju, dan bodoh karena merasa nggak pantas untuk jadian sama cewek yang dia suka. Bodoh kan?"

            "What are you talking about? Gue sama sekali nggak paham."

            "He loves you," Charles menatap Katarina yang spontan menunduk ke lantai, tanpa melihat apapun dan fokus kepada lantai yang ada dibawah, "ah, lo sadar akan hal itu ya?"

            "Would be a sin if I said no?" Katarina bertanya.

            "Well, it would be a sin if you lying to yourself and chose to ignore what your hearts want," jawab Charles.

            "He is my bestfriend."

            "Gue paham akan hal itu," Charles menganggukan kepalanya, "tapi emangnya perasaan bisa memilih tempatnya berlabuh? Cinta bisa ditentuin dan dilupakan hanya karena lo berkata dan bertindak demikian? No, right?"

            "Ta-tapi ..."

            "Gue cuman pengen lo tau satu hal, Kat. Satu hal yang mungkin aja bisa mengubah sudut pandang pemikiran lo saat ini," ujar Charles, dia berdiri dan menaruh kedua tangannya di bahu Katarina yang sudah lumayan bergetar karena cewek itu menahan tangisannya yang sama sekali tidak ingin dia keluarkan saat ini.

            "Lo akan menyesal ketika lo kehilangan orang itu, apalagi di saat lo belum melakukan apapun dengannya. And, that means, chase him kalau emang itu kemauan lo dan hati lo, sebelum lo kehilangan dia. Some people said, if you really love someone, even if there was a million, billion reasons to leave and to not choose him, you would still look for the one reason to stay.

            Pertanyaan gue cukup mudah, have you found the reason to stay? Just a simple reason will work." Charles melanjutkan.

            "I ..."

            "Yes, you?"

            "I love him. Is that enough to sacrifice everything and everyone?"

            "..."

            "Is that enough, Charles?"

            "Kata hati lo apa? Cukup atau nggak?" Charles membalikkan pertanyaannya.

            "..."

            "They said ..."

            "Yeah?"

            "They said ... it should be enough for everything."

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang