"Lo berempat kenapa? Sariawan? Tumben banget semuanya diem. Biasanya ada potluck ataupun nggak ada bakalan bikin rusuh kelas," sindir salah satu perempuan yang duduk di depan Katarina saat mereka membuat lingkaran besar di tengah kelas.
Bukannya menjawab, mereka berempat yang sedang dibicarakan itu hanya saling lirik satu sama lain dengan bibir mereka yang terkunci dengan ego mereka sendiri, khususnya Welsen dan Dezel.
"Gue nanya bukannya dijawab," perempuan yang bertanya itu menatap Katarina sinis sekarang, "lo nggak punya mulut?"
"Gue?" Katarina menunjuk dirinya sendiri.
"Ya, lah. Siapa lagi kalau bukan lo," jawab perempuan itu.
"Yang lo tanya itu empat orang dari kita," Katarina menunjuk tiga orang lainnya dan dirinya sendiri, "dan yang lo katain nggak punya mulut itu gue? Freak banget lo," sinis Katarina, dia bersumpah kepada siapapun yang mengajaknya ribut hari ini adalah hari yang salah karena dia sedang tidak berada dalam mood yang baik untuk berkompromi.
"Lo kali yang freak, orang nanya bukannya dijawab," ujar perempuan yang bernama Michelle, yang tadi bertanya.
"Nggak usah ladenin," Sam yang duduk tepat disamping kanan Katarina mengingatkan.
"Lo beneran mau ngajak gue ribut hari ini?" Katarina memasang tampang galaknya itu.
"Emangnya kenapa dengan hari ini?" tanya Michelle yang tidak bersahabat.
"Bukan urusan lo," jawab Katarina. Dia menghela nafasnya dan menarik rambutnya ke belakang sehingga tidak ada poni yang menutupi wajahnya, kemudian dia menatap Michelle, "mau kita berempat diem atau nggak itu bukan urusan lo. For your information, lo juga nggak punya hak untuk ngatain gue nggak punya mulut."
"Kenapa nggak punya hak? Gue punya hak untuk ngomong gitu karena gue lihat emang lo nggak punya mulut," sinis Michelle, dia juga tidak mau kalah dengan argumen yang diberikan oleh Katarina.
"Sumpah, lo nggak jelas banget sih jadi orang," jawab Katarina.
"Gue? Nggak jelas?"
"Lo ada masalah apa sih sama gue?"
"Gue nggak ada masalah apa-apa sama lo, mungkin yang ada lo kali yang ada masalah sama gue," Michelle berdecih dan memutar bola matanya.
"Gila kali ya lo, jelas-jelas lo duluan yang nyenggol gue," ujar Katarina.
"Bisa diem nggak? Lo berdua kalo mau ribut mending didepan aja, gue males dengernya," Dezel akhirnya angkat bicara, dia mengambil burger yang dibuatkan oleh Katarina atas namanya sendiri, "sekarang itu lagi jamnya untuk mengakrabkan diri, bukannya berantem."
"Lo nggak usah ikut campur deh," ujar Welsen pada Dezel yang benar-benar mengejutkan siswa lainnya. Selama mereka berada di kelas yang sama dengan Welsen dan Dezel, tidak pernah ada yang namanya momen pertengkaran dari kedua orang tersebut. Yang ada malah mereka berdua saling bekerjaama untuk mengurus beberapa anak yang memang perlu diurus, contoh, pembuat onar.
"Lo juga nggak usah ikut campur kali," sinis Dezel.
Welsen menatap orang yang mengajaknya ribut sekarang, tangannya sudah terkepal kuat, "Lo kalau mau ribut sama gue mending di rumah, nggak usah disini."
"Siapa yang bilang mau berantem sama lo? Kepedean banget jadi orang," jawab Dezel.
"Tapi asal lo tau, kalau lo berurusan dengan Katarina seperti semalam, lo juga bakalan berurusan dengan gue dan Sam. Lo lupa sama janji kita saat kemah tahun lalu?" tanya Welsen, dia tidak peduli dengan tatapan-tatapan orang yang ada di sekitarnya ataupun tatapan dari orang yang dia sendiri tau pasti sedang memberinya peringatan untuk tidak mengatakan apapun lagi sekarang.
"Tapi permasalahan semalam itu beda, lo nggak bisa sama ratain perjanjian kita sama setiap masalah yang ada," ujar Dezel, dia memfokuskan tatapannya pada Welsen.
"Lo berdua bisa nggak bahasnya di rumah aja? Gue bener-bener nggak mau bahas ini sekarang. Lagipula, gue sama sekali nggak ada niatan untuk memperpanjang masalah itu kok," Katarina mengigit bibir bawahnya agar dia tidak mengeluarkan air matanya setelah mengatakan hal selanjutnya, "lo nggak denger apa yang gue bilang kemarin? Gue nggak pantes untuk dijadikan bahan pertengkaran kalian yang sedang mempertaruhkan status pertemanan kalian."
"Lo denger kan? Kat aja nggak memperpanjang permasalahannya kok. Lo nya aja yang ribet," sindir Dezel.
"Dan lo sendiri dengar perkataan dia selanjutnya? Dia lebih mentingin pertemanan kita daripada dirinya sendiri, dan lo? Lo malah menganggap dia yang nggak-nggak, apa yang kemarin malam lo bilang? Kasihan? Kalau dia sampai melakukan ini semua untuk lo, bukannya harusnya lo bisa untuk belajar membedakan mana tulus dan rasa kasihan?" Welsen mengambil burger miliknya dan melemparkannya pada Dezel yang langsung ditangkap oleh cowok itu, "dia bahkan dengan tulus bantu kita siapin makanan tiap sekolah ngadain potluck, there are a lot of things yang sudah dilakukan sama dia untuk kita dan balasan lo apa?
Lo itu bukan anak TK yang harus diajarkan mana tulus dan kasihan, iya kan?" Welsen melanjutkan perkataannya yang membuat semua orang terdiam khususnya Dezel.
KAMU SEDANG MEMBACA
END OF THE ROAD
Teen Fiction---------------------------------------------- This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia no.19 tahun 2002). Any reproduction or other unauthorised use of the written work...