LIMA PULUH ENAM

6 2 0
                                    

Katarina terlihat bingung dengan wajah ketiga temannya yang begitu datar ketika dirinya menceritakan segala hal mengenai apa yang dia ketahui mengenai Jason dan keluarga Welsen. "Really? No response at all?"

            Tidak ada jawaban dari siapapun kecuali Welsen, pria itu menjawabnya dengan pertanyaan, "Ya?" lalu dia melepaskan kacamata baca yang biasanya dia pakai ketika di rumah dan membersihkan kacanya dengan kaos putih yang dia pakai saat ini.

            "What should we do now?" Katarina melayangkan pertanyaannya dan mengoreksinya dengan, "what will you do now?"

            "Me? Gue kayaknya bakalan anggap semuanya drama belaka karena apa yang baru saja lo ceritain ... it feels like I am in the middle of a movie, stupid movie," jawab Welsen dengan tenang, walaupun dalam hatinya jelas tidak bisa berbohong.

            "Gue sama sekali nggak paham dan mencoba untuk memahami disini," Sudah sepuluh menit Dezel mengerutkan dahinya karena berusaha keras untuk berada di sepatu Welsen ketika mendengarkan hal yang diceritakan oleh Katarina dengan seksama, namun nihil, dia tetap tidak bisa mengerti akan segalanya. Di mulai dari kenapa Welsen begitu tenang sedangkan dirinya tidak tenang sama sekali? Kenapa Jacquine dengan bodoh mengakhiri hubungan dengan anak yang salah? Kenapa dan kenapa adalah kata yang terlintas dibenaknya.

            "The whole point is nyokap gue selingkuh dan ngelahirin anak haram, obviously it's Jason. Terus, dia titipin Jason ke panti asuhan yang setiap bulannya masih dia kasih donasi, and that means dia bukan membuang Jason, melainkan jaga dia dari jauh dengan cara yang berbeda," Bukan Katarina ataupun Sam yang menjelaskan, melainkan laki-laki yang menjadi pemeran utama dalam film bodoh yang sempat dia sebutkan sebelumnya, "dan sekarang dia mau berbuat baik dengan melakukan hal yang seharusnya dia lakukan sejak lama, dan pastinya udah dia tunggu-tunggu. Cut my ropes which connected to her."

            "And you were okay?"

            "Me?" Welsen menunjuk dirinya sendiri, "I am freaking fine, gue mau ke kamar dulu ya ngecas hp. My phone is slowly dying," dia menunjuk ponselnya yang tergeletak di atas meja dengan layar redup.

            "He is not fine, isn't he?" Dezel bertanya ketika orang yang dia bicarakan perlahan menjauh dari ruang tamu.

            "Pastinya, nggak mungkin orang akan baik-baik aja kalau misal orangtuanya putusin hubungan kayak gitu. Apalagi, kita semua tau kalau nggak pernah ada yang namanya mantan Mama," Katarina berbicara dengan nadanya yang serius, kian perlahan dia bangkit dari tempat duduknya.

            "Kita sekarang harus apa? Gue bener-bener nggak tau harus apa sekarang. Kita belum pernah ada yang pengalaman mengenai hal ini sebelumnya," Sam nampak lebih frustasi, bingung dengan langkah apa yang harus dia lakukan sebagai sahabat Welsen. Dia merasa harus melakukan sesuatu, tapi dia tidak tau apa yang harus dia lakukan.

            "Gue akan coba ajak dia ngomong dan ..."

            "Please, do," pinta Sam kepada Katarina, harapan satu-satunya karena dia percaya bahwa hanya sahabat perempuannya yang dapat mengatasi hal seperti ini.

            Tidak membutuhkan waktu lama bagi Katarina untuk sampai di depan kamar milik Welsen yang berada di lantai dua rumah besar atas nama mereka berempat. Langkah kaki percaya dirinya mendadak terhenti di depan pintu kamar tersebut. Dia menghela nafasnya panjang. Entah apa dia harus melakukan—masuk ke dalam kamar pria itu dan memastikan dia baik-baik saja, atau tidak. Dua menit berlalu, Katarina akhirnya memutuskan untuk masuk. Cukup satu alasan yang jelas yang harus dia pikirkan ketika masuk ke dalam kamar tersebut.

            "Weel?" Alisnya mendadak terangkat ketika melihat Welsen yang sedang duduk di teras dengan posisi menghadap langit malam yang telah dipenuhi oleh bintang-bintang kecil nan-indah. Tidak ada balasan dari Welsen, maka dari itu Katarina memutuskan untuk berjalan lebih dekat, "Lo ngapain? Are you okay?" Akhirnya dia menanyakan pertanyaan yang seharusnya tidak dia tanyakan karena dia sudah jelas mengetahui jawaban yang akan dipakai oleh Welsen.

            "Gue ... baik-baik aja kok," balas Welsen ketika dia mendengar suara yang familiar dari belakang.

            "Lo sadar kalau bisa cerita sama gue tentang apa aja kan?"

            "Tau."

            "Kalau gitu, kenapa lo disini?" Katarina memang bukan tipe orang yang pandai basa-basi.

            "Gue butuh waktu."

            "Lo butuh waktu?" Baiklah, perlu Katarina akui kalau dirinya memang tidak berpikir kalau ada kemungkinan besar Welsen membutuhkan waktu untuk menyendiri atau apapun yang sekarang cowok itu lakukan.

            "Gue butuh waktu untuk sendiri," Perlahan suara Welsen merendah tidak seperti biasanya, dia biasanya dapat mengatur suaranya agar tidak mengkhawatirkan siapapun, tapi entah kenapa hari ini dia tidak bisa.

            Katarina terdiam dan berpikir mengenai permintaan cowok itu. Ada banyak sekali skenario yang terbayangkan olehnye saat ini ketika Welsen memintanya untuk memberikan waktu bagi cowok itu untuk sendiri.

            Pertama, dia takut kalau Welsen akan lebih depresi ketika dibiarkan sendirian.

            Kedua, dia takut tidak diikutsertakan dalam setiap keputusannya karena dirinya membiarkan cowok itu untuk sendiri.

            Dia akan menjadi orang yang tidak dapat dibutuhkan bagi Welsen ketika cowok itu terbiasa untuk sendiri dalam kondisi seperti ini.

             terakhir ... dia takut kalau dengan ketidakhadirannya bisa membuahkan hasil yang tidak dia inginkan.

            Tapi, ada satu skenario lainnya yang terpikirkan oleh Katarina. Itu adalah skenario dimana Welsen tidak mengikutsertakan dirinya karena menurut Welsen dirinya tidak berkompeten untuk masalah ini.

            "Gue mau diikutsertakan dalam setiap hal yang lo lakuin," suara Katarina memecah keheningan yang telah terjadi dalam beberapa saat yang lalu, dia kembali memutar otaknya untuk memikirkan alasan yang harus dia keluarkan di saat terdesak seperti ini, "lo ... lo ... lo minta gue untuk jadi pacar lo untuk ini kan? Kalau gue nggak diikutsertakan, ngapain juga lo minta gue untuk jadi pacar lo kan?"

            "Kat ..."

            "Apa?" Katarina menatap lurus ke arah Welsen lalu ketika cowok itu melihat ke arahnya, dia langsung menoleh ke arah lain karena dia tidak berani untuk langsung menatap cowok itu ketika mengatakan, "lo bilang kalau lo butuh gue karena lo tau kalau lo akan hancur. Then? Apa yang lo minta ke gue sekarang bukannya berbanding terbalik?"

            "Kat ... you will see the bad side of me and I don't want you to," ujar Welsen yang langsung segera dipotong oleh Katarina.

            "Exactly," dia menyetujui, Katarina berjalan mendekat dengan langkah percaya dirinya seakan dia sudah memutus rantai malunya sedetik yang lalu, "let me see your another side, meskipun sisi itu akan jelek ataupun nggak sempurna ataupun rapuh, I don't care. I choose to be with you, then you have to let me see the real you."

            "It will be ugly."

            "I don't care."

            "It will change the way you see me."

            "Sure."

            "Kat,"

            "Weel,"

            Sedetik kemudian, apa yang dikatakan oleh Welsen dan apa yang ada dibenak Katarina benar-benar terjadi. Cowok yang sedari tadi pura-pura tegar akhirnya runtuh. Dia begitu terpukul dengan kenyataan yang harus dia hadapi di depan matanya.

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang