LIMA PULUH EMPAT

6 3 0
                                    

Tertinggal jauh? Ya, itulah yang dirasakan oleh Welsen saat ini. Belum sempat mengetahui rahasia dibalik kelahiran Jason, anak dari darah daging Jacquine dari laki-laki selingkuhannya, dia malah ditinggalkan oleh Ibunya sendiri. Welsen berdiri dengan tubuhnya yang sekarang kaku, seakan dia adalah sebuah patung yang tidak mempunyai tulang namun tetap berdiri tegak. Napasnya tercekat begitu saja ketika panggilan telepon dari Ibunya sendiri dimatikan oleh beliau ketika mengucapkan selamat tinggal.

            "Weel," Katarina menahan napasnya beberapa detik untuk mengontrol perasaannya karena dia paham betul perannya dan apa yang harus dia lakukan. Untuk sekali ini saja dia tau apa yang harus dilakukan. Tangannya dengan cekatan menghubungi kedua temannya melalui panggilan telepon dan menyuruh mereka untuk segera pulang.

            "Ah, kita harus makan dulu kan?" Welsen bertanya dengan wajahnya yang polos meskipun matanya sudah berlinang air mata, dia meyakini dirinya berkali-kali untuk tidak mengeluarkan air matanya di depan siapapun.

            "Weel, kita nggak perlu ngelakuin itu kalau lo memang nggak mau makan. Gue tau lo nggak mau makan untuk saat ini," Katarina berjalan mendekat, hanya beberapa langkah saja dia sudah berhadapan dengan kekasihnya itu. Kedua tangannya dia rentangkan, "Let me do my job for you," dia menawarkan pelukan.

            "Hahaha, funny," Welsen tertawa miris melihat apa yang dilakukan oleh Katarina, "I don't need your hug, Kat. I need to eat and so do you."

            "Weel,"

            "Seriously though, we need to eat. Kita udah ngebuat diri kita starving for a couple hours," ujar Welsen.

            "Lo tau kan kalau gue selalu ada disini kalau lo butuh gue? Buat apapun itu?"

            "Lo juga tau kan kalau kita belum makan sama sekali dan kita udah ngerencanain kalau setelah makan, kita baru bahas mengenai Jason?" Welsen berhasil menyebutkan nama laki-laki yang telah merenggut segalanya dari kehidupannya.

            "Nggak, setelah apa yang barusan terjadi," kata Katarina, dia menunjuk ponselnya yang tergeletak di meja, "Weel, I have known you since the very beginning."

            Maksud dari perkataan Katarina adalah dia cukup tau bahwa seorang Welsen membutuhkan pelukan saat ini, begitupula kalau masalah ini terjadi di kehidupan Katarina, dia pasti juga akan membutuhkan pelukan hangat. Maka dari itu, Katarina memberanikan diri untuk melangkah lebih dekat dan segera memeluk cowok itu.

            Katarina mengencangkan pelukannya agar cowok yang sedang dia peluk itu tidak pergi, mengingat sifat Welsen, cowok itu tidak begitu suka dipeluk oleh orang lain. "Nangis aja."

            "Nangis? Gue nggak akan nangis, Kat," kekeh Welsen, dia masih bertahan dengan sandiwaranya.

            "Ya udah, kalau gitu gue aja yang gantiin lo nangis? Fair enough, right?" Tidak menunggu lama, Katarina mengeluarkan air matanya dan menangis sesunggukan, mengeluarkan perasaan sedih dan kecewanya yang sudah dipendam sedari lama. Bukan hanya hari ini, melainkan sejak dia mengetahui rahasia dari Jacquine, dia sudah sangat ingin menangis keras dan hari ini adalah waktunya.

            "Kat?" Welsen mengerutkan kedua alisnya heran, dia tidak mengira ucapan kekasihnya itu benar-benar terjadi.

            "Gue," Katarina makin menangis dibalik pelukan Welsen yang kebingungan, "gue nggak mau nangis sendirian," susah payah dia mengatakan itu sembari menangis.

            "Kat, gue nggak akan nangis," Welsen menghembuskan nafasnya pelan.

            "You should," Katarina berkata dibalik air matanya yang terus menerus keluar tanpa henti.

            "Gue nggak akan nangis ataupun marah sama keputusan Mama," ujar Welsen, kedua tangannya membalas pelukan Katarina dan sesekali mengelus rambut cewek itu untuk menenangkannya, cara itu selalu berhasil digunakan oleh Welsen ketika harus menghentikkan tangisan Katarina.

            "Ya udah," Katarina menganggukan kepalanya, "gue yang akan gantiin lo buat semuanya."

            "Ya?"

            "Mama jahat, mama egois," ujar Katarina, dia menggoyang-goyangkan wajahnya agar tangisannya itu mengenai kaos putih yang digunakan oleh Welsen, "nggak seharusnya dia lakuin ini, apalagi menyia-nyiakan anak yang udah dia rawat dari dulu buat anak lainnya. Harusnya dia rawat dan jagain kalian berdua, bukannya pilih salah satu dari kalian," tangisan Katarina tidak berhenti ketika mengatakan itu, malah semakin terdengar keras.

            "Kat," Welsen menyebut nama wanitanya itu dengan lembut, "you don't have to do this."

            "Biarin, I am your girlfriend and I need to do this, menggatikan lo udah ngutuk dan nangis about this adalah my first task as your girlfriend," Katarina mengatur nafasnya ketika hidungnya tersumbat.

            "Kat,"

            "Berisik," Katarina mengerucutkan bibirnya dan menarik wajahnya dari dada bidang milik Welsen, menaikkan wajahnya untuk menatap langsung cowok yang jauh lebih tinggi daripada dirinya, "you can tell me anything and everything, lo sadar akan hal itu kan? And if you want to cry, go ahead. Lo nggak perlu tunjukin sisi positifnya lo setiap saat karena itu hanya akan ngebuat lo cape sendiri. I don't need a perfect boyfriend, Weel."

            Tidak ada jawaban apapun dari Welsen. Cowok itu lebih memilih untuk diam saat ini dan membalas pelukan Katarin.

            "Gue sama sekali nggak masalah dan keberatan kalau punya pacar yang nunjukkin sisi jeleknya dia, malahan gue akan sangat amat senang kalau dia bisa tunjukkin itu ke gue, it means he trusts me," ujar Katarina yang masih sesunggukan dan kesulitan dalam berbicara.

            "Gue ... gue cape karena harus mengejar ketertinggalan ini. Gue cape, Kat. Permasalahan ini cuman bisa buat gue cape kayak lagi lari marathon. I am running out of breath. This," Welsen menggambil waktunya untuk kembali melanjutkan apa yang ingin dia katakan, "feels like a bad dream for me."

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang