TIGA PULUH EMPAT

8 3 0
                                    

Matahari sudah tergantikan dengan langit gelap dan bintang-bintang yang bertebaran. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika Jade berada di kolam renang vila sendirian dengan kaki yang berada di dalam air hangat itu. Tangannya dia taruh disamping kanan dan kiri, sedangkan wajahnya dia dongakkan ke atas untuk melihat langit. Sudah dua puluh menit dia berada disini, sendirian tanpa siapapun karena Abigail sudah pergi tidur, sedangkan Sam, Katarina, Dezel dan Welsen sedang bermain di ruang game untuk melepas penat mereka sebelum benar-benar kembali ke Jakarta besok sore.

Jade menundukkan kepalanya setelah merasa puas untuk melihat langit yang sudah gelap itu, objeknya sudah berganti pada air hangat yang secara tidak sengaja mengurangi rasa lelah kakinya.

"Kaki lo bisa keriput kalau direndam lama-lama," seseorang baru saja tiba dari arah pintu besar yang membatasi ruang tamu dengan kolam renang.

"Not your problem," balas Jade dengan malas, dia tidak begitu ingin berdekatan dengan Dezel sebetulnya, apalagi ketika cowok itu seakan-akan menolak kehadirannya disini.

"Would be my problem kalau kaki lo keriput because afterall gue yang ngajak lo kesini," jawab Dezel, dia berjalan menghampiri orang yang dia ajak bicara. Dia menyodorkan secangkir susu cokelat panas dengan kinder joy kesukaan Jade yang dia ketahui ketika berbicara dengan cewek itu melalui aplikasi chat.

"Buat apa ini?" tanya Jade.

"Buat lo."

"Untuk apa? Tujuannya apa?"

..

..

"Untuk lo minum lah," akhirnya Dezel menjawab pertanyaan Jade setelah berpikir beberapa saat, memikirkan jawaban apa yang tepat untuk dia berikan pada perempuan itu.

"Untuk apa? Terakhir gue cek, lo nggak mau ngomong sama gue bahkan nyalahin gue untuk semua hal yang tertimpa sama Katarina. Lo marah sama gue dan nyakitin gue," ujar Jade.

"Well, okay, gue marah sama lo. Gue juga marah sama diri gue sendiri. Because of us, kaki Kat harus dijahit dan dia nggak bisa menikmati liburannya di Bali kali ini," Dezel menggambil tempat tepat disebelah Jade, menaruh cangkir susu yang dia bawa karena Jade tidak mau menerima pemberiannya.

"You said it was my fault, not yours," Jade berbicara.

Dezel mengerutkan alisnya heran, dia menggeleng, "No. Gue selalu ngomong it was my fault, bahkan sebelum itu gue bilang our fault. Okelah, gue sempet setuju dengan pemikiran lo yang nyadar secara langsung kalau lo salah pas di bandara, tapi bukannya emang bener? Nggak salah kan kalau gue iyain? Toh juga at the end gue bilang it was our fault."

"Tapi gue nggak terima."

"First of all, gue kesini bukan untuk berdebat masalah ini sama lo. Gue cumau mau nyelesain semuanya."

"Maksud lo apa?"

"Kita berdua ... nggak bisa lanjut lagi. Sadly, kita harus putusin hubungan yang tragisnya belum kita mulai. Jade, lo orangnya baik, tapi kayaknya emang not good enough for both of us."

Tidak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut Jade karena cewek itu masih memahami apa yang sedang dikatakan oleh cowok yang menurutnya sangat baik dan cocok dengan dirinya sampai dia tiba di bandara kemarin sore, sebelum kejadian Katarina terjadi.

"Ada satu aturan yang selalu berlaku dimanapun dan kapanpun, Jade. Keselamatan dan kenyamanan Kat, always be our—gue, Welsen dan Sam, priority. Ketika kejadian kemarin terjadi, I couldn't sleep because I broke the rules."

"Sebetulnya kejadian kemarin murni kecelakaan, kita berdua nggak bisa menghindari kejadian itu. Murni kecelakaan, Zel."

"Mungkin lo, orang lain ataupun Katarina sendiri akan mengatakan bahwa itu kecelakaan. Tapi, bagi gue semua itu bukan kecelakaan."

"Lo terlalu berlebihan."

"Well, if that what you think, that is okay," Dezel menarik nafasnya panjang, kakinya dia masukkan juga ke dalam air mengikuti Jade.

Beberapa menit kemudian, hanya terdengar suara air yang mengalir tanpa adanya pembicaraan karena masing-masing dari mereka berkutat dengan pikirannya sendiri. Sampai pada akhirnya, Dezel mengeluarkan koyo yang sudah dia bawa sedari tadi dari balik saku celananya.

"Kaki lo naikin dulu, Jade," pinta Dezel, kakinya ikut naik dari permukaan air dan berjalan ke arah lemari kecil yang tersedia di sekitaran kolam. Handuk merah terang menjadi pilihannya karena tidak ada handuk lagi disana, mungkin belum ditaruh oleh Bibi. Dia kembali duduk disamping Jade dan mengeringkan kaki perempuan itu yang basah terkena air hangat tadi.

Jade terdiam, hanya memperhatikkan hal-hal yang dilakukan oleh Dezel dalam diam.

Hal selanjutnya yang dilakukan oleh Dezel ketika kaki perempuannya kering adalah memasangkan koyo ke kedua telapak kakinya.

"Lo tau dari mana kaki gue sakit?" tanya Jade heran. Tidak ada yang tau kalau kakinya pegal karena sudah berdiri dengan heels tinggi berjam-jam sejak persiapan pernikahan tadi pagi, kecuali Abigail. Tapi, tidak mungkin Abigail memberitahu Dezel karena mereka berdua tidak begitu dekat.

"Gue lihat lo tadi di pesta," jawab Dezel.

"Lo lihat gue?"

"Ya."

"Kenapa bisa? Lo sibuk dan gue pun juga sibuk. Nggak ada waktu untuk saling lihat satu sama lain," Jade mengerutkan alisnya bingung. Dia tidak mengerti.

"Funny how I can always find you eventhough we were busy doing something else," Dezel tidak menatap siapapun, kecuali kaki cewek yang ada didepannya saat ini. Dia memang tidak berniat untuk melakukan eye-contactdengan Jade, dia takut. Takut akan pilihannya yang akan berubah ketika melakukan itu.

"Jadi, apa sekarang? Kita ini apa?" Jade lalu terkekeh miris mendengar pertanyaannya sendiri, "harusnya gue nggak nanya itu ya? Soalnya kita emang belum jadi apa-apa, jadi emang ya gini-gini aja."

"Ya."

"Ok."

"Ok?"

"Ya."

Jade melihat telapak kakinya yang sudah terbalutkan oleh koyo panas yang sudah terasa di kakinya, "Ada satu pertanyaan yang mau gue tanyain ke lo, sebelum kita balik ke kehidupan normal dan tidak saling mengenal lagi."

"Apa?"

"Lo tadi menyebutkan kalau kenyamanan dan keamanan Katarina selalu menjadi prioritas kalian, terus ... kapan kalian memprioritaskan diri kalian sendiri diatas kepentingan Katarina? Terutama lo, Zel."

Tidak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut Dezel seakan diam adalah hal yang biasanya dilakukan oleh dirinya sendiri.

"Mungkin ini bakalan terdengar seperti cewek murahan dan cheesy, tapi ketika lo udah siap buat prioritasin kenyamanan lo sendiri mengenai hubungan dan nggak mencampuradukkan permasalahan cinta dengan persahabatan ... I will be here. Right here. Waiting for you."

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang