DUA PULUH TUJUH

8 3 0
                                    

"Lo denger kan apa yang dibilang sama Dezel tadi sebelum dia kasih keputusannya ke Katarina?" Jade mengeluarkan barang-barang yang ada di kopernya untuk dia susun di kamar villa keluarga milik Dezel. Setelah sampai di Bali, mereka langsung menuju villa karena hari sudah malam dan besok pagi mereka akan menuju butik untuk mengambil gaun yang sudah disiapkan oleh wedding organizer sepupunya Dezel.

            "Iya," Abigail mengangguk lelah. Dia sudah bosan jujur saja, sejak di pesawat tadi, hal yang selalu dibicarakan oleh Abigail ya pertanyaannya yang sekarang ini.

            "Gue nggak nyangka dia bakalan kayak gitu, asli deh! Gue ngerasa dia beda banget sama Dezel yang kita ketemuin di cafe sabtu kemarin dan pada saat dia chat sama gue, beda banget, Bi," Jade kembali mengulang perkataannya yang ke tiga kalinya.

            "Jade, iya, gue paham," Abigail menganggukan kepalanya kecil.

            "Gara-gara ada cewek itu nggak sih," Jade berprasangka, menurutnya semua ini karena keberadaan Katarina yang membuat sikap Dezel menjadi beda.

            Abigail menggelengkan kepalanya, dia mengambil handuk putihnya yang akan dia gunakan untuk mencuci muka sebelum dia tidur. "Nggak masuk akal." Dia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi besar yang ada di dalam kamarnya.

            "Tapi gue serius, Bi. Kayaknya karena ada Katarina nggak sih? Dezel jadi lebih overprotective daripada sebelumnya, dia bener-bener kayak ngejagain cewek itu banget," Jade menghampiri temannya itu, dia menyenderkan punggungnya pada pintu kamar mandi yang terbuka.

            Menjawab asumsi Jade, Abigail hanya berdeham lalu menyikat giginya sembari menatap pantulan yang ada di kaca depannya saat ini. Kalau memang Dezel lebih menjaga Katarina, bukannya itu wajar? Mereka berempat bukannya memang sudah berteman dan tinggal bersama sejak lama?

            "Jangan-jangan Dezel suka sama Katarina, ya nggak sih? Atau mungkin mereka berdua udah pacaran?" Otaknya memaksakan semua kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi diantara cowok yang sedang dekat dengannya dan sahabatnya cowok itu. "Pasti suka sih, mereka udah tinggal bareng kayak udah bertahun-tahun, pasti ada rasa suka kan ya? Masuk akal kan, Bi?"

            "Sumpah, lo nggak masuk akal, Jade," ujar Abigail, dia menyudahi aksinya dalam menyikat gigi dan beralih pada sabun cuci mukanya dari dalam kotak peralatan mandinya yang dia bawa dari Jakarta.

            "Terus gimana dong, Bi? Kalau nggak suka, apalagi? Kenapa bisa tiba-tiba berubah kayak gitu. Gue itu cewek yang dia lagi deketin loh, bukannya harusnya dia belain gue ya?" tanya Jade, dia masih merasa heran.

            "Gue itu di pihak netral ya, Jade. Tapi, kejadian yang menimpa Katarina itu sepenuhnya salah lo berdua. Yang satu terlalu overreacting dan yang satu lagi egonya terlalu tinggi untuk ngaku kalau salah," jawab Abigail.

            "Maksudnya? Gue di posisi yang mana?"

            "Menurut lo yang mana?"

            "Nggak dua-duanya."

            "Coba refleksi diri lo sendiri, Jade. Menurut lo, lo di posisi yang mana?" Abigail bergegas untuk mencuci mukanya karena sekarang dia sudah benar-benar lelah dan ingin cepat-cepat untuk tidur. Besok akan menjadi hari yang panjang, apalagi karena dia juga dipilih sebagai penjaga meja tamu undangan.

            "Gue itu nggak salah, Jade. Yang tadi itu kejadiannya kecelakaan, gue cuman mau kasih kejutan doang buat Dezel," ujar Jade.

            "Kalau lo mau kasih kejutan, bisa kan pastiin dulu sebelumnya cowok lo itu lagi ngapain," Abigail memutar bola matanya kesal. Kenapa sih dia harus berteman dengan perempuan yang tidak tau waktu seperti Jade. Jam sudah menunjukkan jam setengah satu pagi waktu Bali dan mereka belum juga tidur.

            "Komentar lo menyudutkan gue, Bi," Jade mengerutkan keningnya heran, "lo belain orang lain daripada gue?"

            "Jade," Abigail menghela nafasnya panjang, sebelum dia benar-benar mencuci mukanya dan tidak berbicara lagi pada sahabatnya, dia lebih dulu mengatakan, "bisa kan kalau kita nggak bahas tentang masalah ini lagi? Hal yang udah terjadi ya terjadi. Nasi udah jadi bubur. Kaki Katarina udah kena beling dan harus menggunakan kursi roda. Akan jadi etis kalau lo nggak menuduh dia yang macam-macam, mengingat lo termasuk ke dalam penyebab hal itu terjadi, Jade."

            "Bi,"

            "Udah ya, gue mau cuci muka. Besok kita bakalan sibuk, apalagi setelah Kat yang nggak bisa jadi penggiring pengantin wanita dan semua orang juga tau kalau lo terpilih jadi penggantinya. Seorang penggiring pengantin nggak boleh terlihat lesu kan matanya? Jadi, go to sleep, now." Abigail mendorong pelan Jade ke arah luar pintu kamar mandinya dan untungnya aksinya itu berhasil.

            "Bi, lo suka sama Welsen kan? Kenapa lo belain Katarina? Bisa aja lo ngebela gue karena gue sahabat lo," ujar Jade.

            "Seorang sahabat nggak akan menjerumuskan sahabatnya kalau dia lagi salah dan posisi lo lagi salah disini," kata Abigail, dia menaruh kedua tangannya dipundak Jade, "perasaan suka gue sama Welsen nggak akan ngebuat gue buta buat ngelihat kebeneran dan kesalahan."

            "Gue bisa bantu lo untuk deket sama Welsen."

            Abigail menggelengkan kepalanya, "Suka sama orang itu bukan berarti harus jadi miliknya."

            "Tujuan lo ngikut kesini apa kalau bukan mau deket sama Welsen?"

            "Mau liat cewek mana yang berhasil buat cowok kayak Welsen minta pulang 10 menit setelah dia bawain kita minum. Such a lucky girl, isn't it?" Abigail tersenyum walaupun dia suka pada Welsen pada pandangan pertama, pikirannya tetap lurus dan berpegang teguh pada prinsip kalau jodoh ya jodoh, kalau nggak ya bubar.

            "Kita bisa buat Welsen suka sama lo."

            "Nggak. Tujuan gue ke Bali itu bukan untuk bikin Welsen suka sama gue. Gue cuman mau liat dan mastiin kalau cewek beruntung itu beneran suka juga sama Welsen atau nggak, jadi gue bisa tau kapan harus mundur."

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang