Pemakaman dilakukan secara singkat, tiga hari di rumah duka lalu dikremasi sesuai dengan permintaan dari pihak keluarga, tepatnya Welsen karena Papanya tidak datang untuk mengantarkan istrinya ke tempat peristirahatan terakhir dengan alasan pekerjaan. Selama tiga hari ini, banyak hal yang terjadi.
Pertama, pemakaman diurus oleh Welsen, Jason dan juga Katarina yang membantu dalam diam tanpa berbicara dengan laki-laki yang saat ini berstatus sebagai kekasihnya.
Kedua, Welsen tidak menangis seakan air matanya sudah tidak berproduksi lagi. Selama tiga hari ini, dia dengan wajah tenangnya itu menghadapi segalanya, mengurus kepentingan, mengatur agar pemakaman Mamanya lancar tanpa adanya kesedihan dari dirinya.
Ketiga, Jason yang sebelumnya belum pernah menunjukkan kesedihannya di depan banyak orang, menjadi emosional ketika salah satu rekan kerja Mamanya berbicara mengenai keberadaan dirinya yang menjadi pembawa sial bagi keluarga Rayden sampai-sampai harus ada yang meninggal.
Saat ini, Welsen dan ketiga temannya yang lain sedang merapikan barang-barang yang sempat dibawa Jacquine ke rumah Jason dan disusun rapi di lemari ujung yang ada disebelah pintu kamar mandi. "Setiap barang Mama akan disumbangkan ke panti jompo yang biasanya Mama datangin." Dia memberikan instruksi.
"In the end of the road, ada apa?" Dezel membacakan pertanyaan yang tercetak jelas di canvas berukuran sedang, "she looks sad," dia menunjuk gambar perempuan yang seakan sedang berdiri di garis start lalu dia menunjuk laki-laki yang menatapnya dengan tatapan datar di garis finish, "they look ..."
"Kecewa sama satu sama lain, done with each others" jawab Katarina tanpa menengok apapun dan fokus menata pakaian Jacquine ke dalam koper kosong. "Mereka sama-sama janji untuk jalan bareng tapi cowok itu malah berkhianat dan jalan lebih dulu ke garis finish. Dan, lo tau apa yang cowok itu bilang ke cewek bodoh itu sebelumnya?"
"Apa?" tanya Sam dengan nada yang tidak menyenangkan, dia takut kalau Katarina bukan sedang membicarakan arti lukisan yang ada ditangan Dezel saat ini, melainkan mengenai permasalahan yang lain.
"Walk together, he promise that to her. Which he did anyway," Katarina menganggukan kepalanya pelan, "tapi sayangnya jalan yang mereka lewatin itu tampak sama tapi berlawanan arah."
"Maksudnya?" Alis Dezel terangkat, tidak paham dengan apa yang sebetulnya dimaksudkan oleh sahabatnya itu.
Katarina menyunggingkan senyuman palsunya dan berkata, "One day, one day you will understand." Ketika dia mengatakan hal ini, dipikirannya sudah memikirkan langkah yang kedepannya akan dia lakukan dan langkah tersebut adalah, "Harvard, gue nggak bakalan daftar Harvard bareng kalian bertiga. I will apply to Cambridge."
"Kenapa tiba-tiba?" Pertanyaan dari Welsen memecah keheningan yang terjadi sejak Katarina memberitahu mengenai keputusan masa depan cewek itu. Semuanya begitu terkejut sampai tidak tau harus berkata apa.
"Cambridge," Katarina seakan sedang berpikir mengenai hal yang sedang dia bicarakan itu, "they have great curriculum, good environment for me, and the most important is I can explore many things, banyak hal yang belum pernah gue lakuin dan gue pengen coba semuanya sebelum terlambat."
"Nggak bisa dilakuin di Amerika? Why United Kingdom?"
Katarina mengigit bibir bawahnya dengan gugup, menimang pilihannya untuk tidak mengatakan apa yang sudah terlintas dipikirannya, "Karena nggak ada lo disana."
"Enlighten me," pinta Welsen.
"Nggak ada yang perlu diperjelas lagi. Alasan gue sudah cukup jelas. Nggak ada lo disana," Katarina berdeham sesaat, mengalihkan pandangannya dari Welsen ke barang yang sedang dia pegang saat ini, "seperti canvas yang tadi. Tapi, bedanya di permasalahan kita itu cuman satu. Gue sama sekali nggak bersedia untuk menunggu lo di garis finish, karena apa yang ingin kita capai itu beda."
"Maksud lo? Gue nggak paham," ujar Welsen, dia duduk di bangku yang ada di belakang dirinya dan dekat dengan arah jendela rumah kecil dari Jason yang sekarang sibuk untuk mengurus peralihan nama dari rumah yang sempat dibayarkan oleh Jacquine, tepat sebelum dia meninggal. "Lo cuman lagi nyari alasan untuk ninggalin gue kan?"
"Iya," Katarina menganggukan kepalanya, "tapi sayangnya, gue beneran memang mau ninggalin lo, Weel. Kita udah gede, udah sama-sama punya akal untuk berpikir dan bersikap. Mungkin ini akan terdengar klise, but I don't see my future with you in it. Have never thought about that, too."
"Tapi, kenapa?"
"Here's the thing, kita udah sahabatan for I don't know how many years, dan kita mencoba untuk lebih daripada itu dan gue sama sekali nggak lihat adanya tingkat keberhasilan dari ini semua. I just ... don't see us together, Weel."
"Terus, kenapa sekarang? Lo tau kalau gue baru saja kehilangan orang yang gue sayang dan gue nggak mau kehilangan lo di saat yang bersamaan," ujar Welsen, tatapannya menjadi khawatir dan jujur saja ... tidak percaya diri.
"Itu juga menjadi salah satu pertimbangan gue, kejadian kemarin," Katarina menundukkan kepalanya, takut kalau perasaaan dan keputusannya akan goyah ketika melihat tatapan dari laki-laki yang sekarang sedang duduk di depannya, "lo nggak perlu tau ada apa dengan kejadian kemarin. Tapi yang perlu lo tau cuman satu. I will be your friends, nggak lebih dan nggak kurang. Mulai dari hari ini juga gue akan pindah. Gue udah nyari apartmen yang paling dekat dengan sekolah dan mulai hari ini juga ... ayo kita coba untuk hidup tanpa adanya kita di antara lo dan gue."
"Gue nggak mau," tolak Welsen mentah-mentah.
"With or without your agreement, gue akan melakukan hal yang udah gue rencanakan dari jauh-jauh dari," tegas Katarina, dia memasukkan gelas kaca yang bertuliskan nama Rayden disana, "udah saatnya kita lepas dari satu sama lain. Kita juga cuman punya beberapa minggu lagi sebelum adanya ujian kelulusan kan? Jadi, goodluck for your exam," ucap Katarina pada Welsen dan dia pun menatap Sam dan Dezel bergantian, "terlalu cepat bagi gue untuk bilang ini, tapi goodluck for both of you, too."
KAMU SEDANG MEMBACA
END OF THE ROAD
Teen Fiction---------------------------------------------- This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia (Undang-Undang Hak Cipta Republik Indonesia no.19 tahun 2002). Any reproduction or other unauthorised use of the written work...