TIGA

31 6 0
                                    

Matahari sudah terbenam menandakan kalau hari sudah malam dan sudah waktunya untuk makan malam, tapi lain hal dengan rumah mewah yang berada di komplek perumahan Rusy nomor delapan belas. Ketika waktu makan malam, mereka sedang sibuk-sibuknya untuk mengerjakan tugas matematika yang membuat kepala mereka botak secara tidak langsung.

            "Nomor lima udah ada yang jawab belum?" tanya Dezel pada ketiga temannya yang terlihat frustasi dan santai secara bersamaan.

            "Belum," Katarina menjawab, dia lalu melempar alat tulisnya ketika jawaban yang dia cari tidak ketemu. "Nomor empat jawabannya berapa?"

            "Lima belas," ujar Dezel dengan percaya diri.

            "Dua puluh," jawab Welsen dengan santai.

            Merasa kalau jawabannya berbeda dengan Welsen, Dezel langsung saja membulatkan matanya tidak percaya dan melihat kembali hasil hitungan yang dia buat, "Jawabannya lima belas! Gue udah hitung lima kali kok!"

            Welsen mengangkat kedua bahunya santai, "Gue sih dua puluh."

            "Sialan," Dezel paham betul kalau jawaban Welsen pasti benar dan jawaban dirinya yang salah. Diukur dari tingkat kepintaran, Welsen memang jauh lebih pintar dibanding seluruh manusia yang tinggal di rumah ini.

            Lima menit kemudian, ruang tamu yang tadinya hening dan hanya diisi dengan lagu-lagu LANY mendadak heboh ketika Dezel dan Katarina berteriak kesenangan dengan angka dua puluh yang mereka dapatkan untuk soal nomor empat. "Ok! Dua puluh!"

            "Beneran dua puluh?" Sam bertanya, dia masih berada di nomor dua karena sedari tadi dia asik bertukar pesan dengan cewek-cewek gebetannya dan mengabaikan tugas matematikanya.

            "Ya! Gila banget sih, asli! Gue nggak nyangka kalau beneran dua puluh!" sorak Katarina yang kesenangan, tangannya yang tadinya digunakan untuk menulis berpindah ke mukanya yang kemerahan dan gatal.

            Secara tidak sengaja, Welsen melihat gerak-gerik Kat yang mencurigakan, dia bangkit berdiri untuk menghampiri Katarina yang duduk di meja tengah bersama ketiga temannya yang lain sedangkan dirinya duduk di atas sofa, "Ngapain?" Dia menarik tangan Katarina yang mulai menggaruk wajahnya.

            "Gatel," tanpa merasa bersalah, Katarina malah tersenyum lebar.

            "Ikut gue," Welsen lalu berjalan ke arah dapur tanpa melepas pegangan tangannya. Setelah sampai di dapur, dia menyuruh Katarina untuk duduk di bangku meja bar sedangkan dirinya mengambil es batu dan kain kecil. "Kalau gatel itu di kompres sama es, bukan digaruk."

            "Ya, Ayahanda," Katarina melebarkan senyuman anak kecilnya.

            "Anak kecil," sinis Welsen yang sebenarnya tidak bermaksud untuk menyindir.

            "Biarin aja," Katarina mengambil paksa kain yang berisikan es batu dari tangan Welsen.

            "Ngapain?"

            "Kompres sendiri," jawab Katarina.

            Welsen mengambil kembali kompresan es yang ada di tangan Kat, "Gue aja yang kompresin, nanti tangan lo gatel lagi." Dia menarik bangku tinggi lainnya dan menempatkannya disamping Katarina.

            Katarina tersenyum melihat perhatian yang diberikan oleh cowok yang sudah dia anggap sebagai kakak kandungnya sendiri itu, "Lo buka tawaran adik angkat nggak?" dia terkekeh mendengar perkataan tidak masuk akalnya sendiri.

            Tidak ada jawaban dari Welsen, cowok itu fokus untuk memindahkan kain es yang ada ditangannya setiap sepuluh detik ke bagian-bagian wajah Katarina yang masih merah dan terasa panas.

            "I'm going to kill Pak Bondhi," ujar Welsen secara tidak sadar, dia begitu marah. Kalau saja dia lebih memaksa Pak Bondhi untuk memberikan seluruh hukuman Katarina pada dirinya, wajah Kat tidak akan semerah saat ini.

            "What for?" tanya Katarina bingung.

            "For doing this," Welsen memperhatikkan wajah Katarina dengan seksama, "pergi ke dokter muka aja ya sekarang?"

            "Ke dokter muka karena muka gue kemerahan?" Katarina bertanya.

            Welsen menganggukan kepalanya, "Ini udah merah banget, Kat. Panas juga. Selain itu lo bilang kalau gatel kan?" Raut wajahnya mendadak berubah menjadi lebih panik daripada sebelumnya.

            "Weel, ini kan udah biasa. Tiga bulan lalu juga gini kok. Nanti kalo pake sheetmask juga udah mendingan," ujar Katarina yang diselingi oleh kekehan agar Welsen tidak terlalu panik dengan wajahnya.

            "Ini udah nggak biasa, Kat. Merahnya beda banget sama tiga bulan lalu." Rasa khawatir Welsen belum juga reda, dia tetap panik dan memaksa untuk ke dokter.

            Katarina yang melihat itu pun akhirnya menarik cowok itu ke kamarnya dan mengambilkan dua buah sheetmaskkesukaannya.

            "Mau ngapain? Kita ke dokter," ujar Welsen.

            "Tuhan, kenapa sih ada orang kayak Welsen?" Katarina memutar bola matanya dengan kesal, lalu merobek bungkus sheetmask yang dia pegang. "Nih, kalo khawatir itu pakein gue sheetmask, bukan ke dokter."

            Tanpa mengatakan apapun, Welsen menerima bungkusan sheetmask itu dan memakaikannya pada Katarina yang sudah berbaring diatas ranjangnya. "Kayak gini beneran bisa bikin merahnya hilang?"

            "Bisa, nggak percaya?" tanya Katarina yang sudah memejamkan matanya sembari dipakaikan sheetmask oleh Welsen.

            "Nggak."

            "Abis pakein gue, lo juga pake biar percaya," Katarina memberikan saran yang dibalas dengan anggukan kepala dari Welsen tapi tidak terlihat karena dia masih menutup matanya.

            Setelah memakaikan Katarina masker wajah, Welsen hanya duduk diam sambil memperhatikkan cewek yang sudah dengan santai rebahan seakan rasa perih dan gatalnya sudah tidak terasa lagi. "Mana? Lo udah pake belum?" Katarina bertanya.

            "Gue nggak mau, lo aja yang pake," tolak Welsen, kalau dipaksa untuk pake oleh Katarina sih nggak apa-apa tapi kalau pake sendiri ... Welsen tidak mau. Pendiriannya masih menganggap kalau hanya cewek yang memakai perawatan seperti masker.

            "Nggak bisa," Katarina bangkit dari tidurnya dan membuka matanya. Dia tidak akan membiarkan Welsen untuk tidak memakai masker juga.

            "Gue cowok, Kat. Cowok. Mana mungkin pake gituan," Welsen beralasan.

            "Nggak, gue nggak terima penolakan," Katarina lalu dengan mudah menaruh kedua kakinya diatas paha Welsen agar cowok itu tidak pergi kemana-mana, tangannya yang bebas mulai mengeluarkan sheetmask dan menaruhnya di wajah Welsen. Meskipun Welsen sempat beberapa kali menggoyang-goyangkan wajahnya agar tidak bisa dipasangkan masker, pada akhirnya Kat tetap berhasil.

            "Selesai," Katarina kembali tiduran di ranjangnya, tangannya menarik keras Welsen agar cowok itu juga ikut tiduran disampingnya.

            "Kat! Gue nggak mau maskeran," Welsen susah payah berbicara karena setiap kali dia membuka mulut, maskernya ikut bergerak diwajahnya.

            "Sssttt, diem. Cuman lima belas menit kok, tutup mata lo biar relax. Kalo lo berisik, muka gue bisa tambah perih nih," bohong Kat. Dia hanya menggunakan alasan itu agar cowok yang ada disampingnya itu diam dan ternyata berhasil.

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang