TIGA PULUH SEMBILAN

9 3 1
                                    

"Lo nggak apa-apa kan? Gue denger semuanya di kantin, kejadian tadi," napas Sam tersenggal-senggal karena ia baru saja berlari dari dalam kelasnya ke depan pintu kamar mandi gym untuk bertemu dengan perempuan yang sedang mengikat tali sepatunya dengan santai, "are you okay?"

"Am I okay? Itu pertanyaan yang lo tanyain setelah denger mengenai kejadian itu?" tanya Katarina dengan sinis, dia kembali berdiri setelah memastikan bahwa ikatan tali sepatunya sudah kencang karena siapa yang akan tau hal selanjutnya yang dapat dia lakukan ketika dia sudah muak dengan pembicaraannya. "Ini yang kalian sembunyiin dari gue? Ini?!"

"Kat, I can explain this," Sam berkata.

"No, you can not explain this karena satu-satunya orang yang harus jelasin permasalah ini ke gue itu cuman Welsen. Kenapa? Dia yang putusin kepergian kita kan? Iya kan? Seperti yang selalu dia lakukan selama ini kan?" Katarina menyindir sekaligus bertanya.

"Kat,"

"Berhenti untuk manggil nama gue di situasi yang kayak gini, Sam. I hate it. Really."

"Kat, please listen to me,"

Katarina lebih dulu memotong dan mengisyaratkan agar Sam berhenti melalui telapak tangannya, "Gue nggak mau denger penjelasan ini dari lo. Paham kan? Lo sama gue itu sama ... kita sama-sama jadi korban dari setiap keputusan yang diputusin sama Welsen, don't you think so?"

"I am not. Karena gue selalu menghargai setiap keputusan yang diputusin sama Welsen."

"Lo bego kalau gitu," ejek Katarina, dia menyunggingkan senyuman miringnya untuk mengejek cowok yang ada didepannya dengan tatapan bersalah sekaligus yakin akan keputusan yang diambil sekarang.

"Kat,"

"Well, gue nggak tau apakah kejadian tadi di kantin yang ngebuat gue sadar akan hal ini. Tapi, dua hal yang pasti. Gue benci kalian menutupi segalanya dari gue seakan-akan gue nggak boleh ikut berperan dalam keputusan ini dan satu lagi ... Welsen, dia adalah orang paling egois karena nggak pernah libatin siapapun di setiap keputusan yang dia ambil."

"Kat, you can not say that to Welsen."

"Kenapa nggak bisa? Gue bisa ngomong apapun mengenai Welsen kalau memang itu faktanya dan memang begitu kan? Pernah lo dan gue dilibatin dalam pengambilan keputusan? Nggak kan! Setiap keputusan yang dia ambil selalu dia lakuin sendiri dan kita cuman kayak budaknya yang selalu ikutin apa yang dia mau," emosi Katarina membeludak sehingga dia tidak bisa mengontrol setiap kalimat yang dia keluarkan tanpa memahami konsekuensinya.

"Kat, ini semua nggak seperti yang lo lihat."

"Ah, really?" Katarina berpura-pura terkejut, kemudian kembali meneruskan kalimatnya, "Karena semuanya yang baru aja gue ngomongin itu ada benarnya."

"Kat,"

"Mungkin lo harus disirem jus mangga dulu di kantin baru bisa sadar kalau semua ini fucked up."

"We all fucked up, Kat. Tapi tetap keluarga meskipun begitu."

"Family?" Katarina tertawa dengan sinis, "keluarga nggak pernah menyembunyikan rahasia dari satu sama lain, Sam."

"Ada alasan kenapa kita nggak kasih tau lo, Kat. Lo sendiri paham betul kalau setiap apapun yang kita lakuin itu punya alasannya masing-masing, contohnya adalah kita nggak kasih tau lo hal ini itu karena kita mau lindungin lo dari perasaan bersalah hanya karena salah satu dari kita nggak akan pergi untuk tanding, dan itu gue. Gue yang dipilih untuk nggak ikut tanding and I respect that decision karena memang Welsen memberikan alasan yang jelas kenapa gue nggak kepilih."

"Dan apa alasannya?" Katarina bertanya dengan wajah datarnya, "dan lo percaya sama alasan yang dia kasih? Sam, siapapun orangnya ... mereka pasti paham betul kalau lo layak untuk tanding dan bukan gue. You are smarter than me di pelajaran ini."

"Kat, jangan merendahkan diri lo sendiri. I hate it."

"Gue nggak merendahkan diri gue sendiri," Katarina menggelengkan kepalanya dan berkata dengan tegas, "gue ngomong berdasarkan fakta tanpa harus ada yang ditutupin, Sam. Nggak kayak kalian bertiga yang bisa-bisanya nutupin hal gede kayak gini dan ngebuat gue tau dari orang lain dengan cara yang sangat malu-maluin."

"Kat," Sam ingin sekali memohon pada perempuan itu agar tidak cepat menyimpulkan apa yang terjadi karena dia paham betul apa yang akan terjadi kepada hubungan persahabatan mereka kalau Katarina sudah menyimpulkan semuanya.

Katarina lalu kembali menyunggingkan senyumannya, memperbaiki letak cardigan yang dia pakai dan berjalan ke arah kaca wastafel yang ada di belakang Sam. Dia bergegas untuk mencuci tangannya yang lengket setelah dia memasukkan seragam olahraganya ke dalam kantung plastik.

"Sam," Katarina memperhatikkan cowok dengan rambut pirang miliknya karena Sam baru saja mengganti warna rambutnya akibat bosan.

"..."

"..."

"..."

"..."

Hanya keheningan yang terjadi ketika Katarina memanggil nama sahabat cowoknya yang ada ditempat yang sama dengannya. Beberapa menit kemudian setelah Katarina berhasil mengeringkan tangannya, "Setelah kejadian di kantin ... gue sadar kalau sebuah keluarga itu harus dilandasi oleh kejujuran dan kalian nggak memberikan gue itu."

"Kat, what do you mean?"

"I don't see us as family anymore, Sam."

"Kat, are you kidding me? Tell me that was a joke."

"..."

"Kat, lo beneran sungguh-sungguh mikir kayak gitu?"

"..."

"Kat, kita janji nggak akan nutupin apapun lagi dari lo."

"Nggak bisa, Sam. Keputusan gue kayaknya udah bulat. I don't think us as family anymore, not without trust, Sam."

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang