EMPAT BELAS

9 2 0
                                    

Katarina membuka matanya perlahan setelah terlelap selama beberapa jam, tangan dan kakinya entah kenapa mulai merasakan pegal dan kebas secara bersamaan. Dia mengedarkan pandangannya tanpa bergerak, Katarina dapat melihat cahaya lampu terasnya yang menembus jendela kamarnya yang terbuka, tidak tau siapa yang buka karena biasanya dia selalu menutup rapat jendelanya agar tidak ada udara malam ataupun debu halus yang masuk ke kamarnya.

            "Kok basah?" Dia mengerutkan keningnya, tangannya mendapati kain basah yang dia tidak tau ditujukkan untuk mengompres dirinya sendiri.

            Beberapa saat kemudian, Katarina perlahan-lahan menggerakan tubuhnya untuk bangun dan menyenderkan punggungnya di ranjang. Betapa kagetnya ketika dia mendapati tiga orang yang sangat dia sayangi, tertidur dengan posisi yang jauh dari kata layak.

            Katarina terdiam, menutup mulutnya tidak percaya. Nafasnya tercekat, air matanya sudah siap untuk meluncur kapanpun dia inginkan. Dari tempatnya, dia dapat melihat Sam yang tidur meringkuk diatas yoga mat miliknya tanpa beralaskan apapun. Tidak jauh dari Sam, ada Welsen yang tertidur duduk sambil memeluk lutunya, tidak lupa juga dia menutupi lututnya dengan hoodie merah kebesaran miliknya.

            Sedangkan, satu orang lainnya yaitu Dezel. Cowok itu terlelap dengan posisi yang bisa dibilang sangat amat ... mengejutkan dan mengkhawatirkan. Tangannya dia gunakan sebagai tumpuan kepalanya, kakinya dia luruskan seperti sedang melakukan half plank. Kakinya beberapa kali dia hentakkan ke lantai jikalau dia merasakan ada nyamuk-nyamuk yang berterbangan ke arahnya.

            Setelah beberapa saat memperhatikkan ketiganya, Katarina bangkit berdiri dan mengeluarkan dua buah selimut dari balik drawer samping kirinya. Dia melangkahkan kakinya mendekat dan menggelarkan selimut-selimut hangat kepada ketiga cowok yang tertidur di kamarnya itu.

            Air mata yang sudah Katarina tahan tiba-tiba saja menetes. Perasaan tidak teganya mendadak bergumul di hatinya, selain itu juga dia merasa bersalah dengan keretakkan hubungan pertemanan mereka yang indah itu.

            "Kalo lo masih ngerasa bersalah karena permasalahan kemarin, don't be, karena kita bertiga udah nyelesain itu semua," Welsen membuka matanya dan menarik hoodie yang menutupi lututnya.

            "Weel," Katarina menatap Welsen dengan tatapan terkejut, posisi mereka sekarang sangat dekat karena ketika Welsen berbicara, Katarina baru saja selesai menaruh selimut pada cowok itu.

            "Permasalahan kemarin itu ... nggak usah dibahas lagi. Gue terlalu kasih reaksi yang berlebihan kalau hal itu menyangkut lo," Welsen menaruh tangannya di belakang leher, menutupi kecanggungannya, "anggap aja permasalahan kemarin itu nggak ada."

            "Iya," Katarina menganggukan kepalanya, menyeka air mata yang menetes di pipinya, "tapi ... untuk masalah keuangan keluarga Dezel,"

            Belum selesai berbicara, Welsen lebih dulu menjawab, "Let's figure that out together, sama Dezel dan hanya kita berempat. Jangan bawa keluarga siapapun ke dalam masalah ini."

            "Ta ... tapi gue mau satu universitas lagi sama kalian nanti," ujar Katarina jujur.

            "Kat, we have five months buat figure things out. Tapi, satu hal yang bisa gue pastiin sama lo. Mau cara apapun yang nantinya kita pakai, kita berempat pasti bakalan bareng lagi. I promise that to you, Kat," ujar Welsen.

            "Gue udah berpikir sejak kejadian kemarin malam sebenarnya," Dezel tiba-tiba saja ikut ke dalam pembicaraan Katarina dan Welsen, dia mengambil posisi duduknya, "Harvard is always been our dream university since high school,ya kan?"

            "Iya," Welsen menganggukkan kepalanya.

            "Gue sempet research beasiswa Harvard, dan pas banget ada lowongan beasiswa buat jurusan yang gue mau. Tapi, dengan satu syarat yaitu nilai TOEFL tertinggi," Dezel berbicara dengan raut wajah yang gembira, "gue bisa dapetin itu. Jadi, kita bakalan terus sama-sama with or without my family's financial status."

            "Zel," Katarina menatap Dezel dengan mata yang berkaca-kaca.

            "I can do internship there, pokoknya bisa. Yang penting kalian kasih gue tempat tinggal," Dezel terkekeh saat mengatakan hal itu.

            "Tempat tinggal mah aman," Welsen melebarkan senyum senangnya.

            "Sorry buat yang kemarin, Kat. Gue nggak seharusnya kayak gitu. Gue malah negative thinking kalau nantinya lo bantu gue untuk selesain masalah ini, karena lo kasihan sama gue. I was so stupid buat mikir yang aneh-aneh sama lo. Gue tau lo selalu ngebantu orang dengan tulus, I know. I was blind," Dezel menundukkan kepalanya.

            Katarina berjalan mendekat pada Dezel dengan posisinya yang masih duduk berjongkok, sesampainya di depan cowok itu, dia langsung memeluknya dan berkata, "It's okay. Jangan ngomong lagi. Promise me that we will not talk about this again, ya?"

            "Ya," Dezel mengangguk sembari menyandarkan kepalanya pada bahu Katarina.

            "Udah momen sedih-sedihnya?" Sam berbicara, kedua tangannya dijadikan sebagai penopang dagunya karena sekarang dia sudah mengubah posisinya menjadi tengkurap menghadap Katarina dan Dezel.

            "Lo dari tadi udah bangun?" Welsen menoleh.

            "Udah," Sam terkekeh, dia memang sudah bangun sejak tadi tapi dia paham betul kalau dia langsung muncul dan ikut nimbrung, ketiga temannya itu pasti merasa canggung.

            Katarina melepas pelukannya pada Dezel, dia mengusap air matanya yang kembali turun itu, "Gue juga mau bilang makasih udah jagain gue pas lagi sakit."

            "Ah, speaking of sakit, kok lo goblok sih? Bisa-bisanya makan roti yang berjamur," omel Welsen.

            "Iya bener! Kok lo bego banget sih! Gimana mau masuk Harvard? Bedain roti jamur sama nggak aja nggak bisa, stupid," Dezel ikut mengomeli Katarina yang dibalas dengan pukulan ringan di lengannya.

            "Bisa-bisanya lo pada ngomelin gue," Katarina menggelengkan kepalanya tidak percaya, lalu dia melirik San yang masih belum mengatakan apapun, "lo mau ngomel juga, hah?!" dia mendadak meninggikan suaranya.

            "Nggak, gue cukup waras untuk nggak ngomelin orang sakit," Sam terpaksa tersenyum karena perempuan yang ada didepannya sekarang sedang menatapnya dengan tajam seakan mengatakan kalau Sam berani untuk mengomelinya juga, tidak ada jatah makan lagi untuk esok.

END OF THE ROADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang