Amarilis. Meski legenda nama bunga tersebut berasal dari kisah cinta yang tragis, tapi si pemilik nama yang saat ini duduk termenung memperhatikan kertas-kertas di hadapannya sangat berharap kalau cintanya akan berakhir happy ending.
Mungkin asal mula namanya memang tidak seindah arti namanya, tapi Amarilis begitu ingin kisah cinta serta jalan hidupnya bertolak belakang dari legenda tersebut.
"Miss Ama, ini boleh dicoret?"
Amarilis atau sering disapa akrab dengan 'Miss Ama' oleh rekan dan murid-muridnya itu menoleh pada seorang gadis 8 tahun yang bertanya padanya.
"Ya, boleh."
"Oke. Thank you."
Amarilis tersenyum memperhatikan bagaimana gadis itu bersemangat untuk mengukir entah apa itu di atas kertas tersebut.
"Miss Ama, kalau Mama sama Papa gak bisa jemput, suruh Om Nino aja yang jemput."
Amarilis meringis mendengar saran yang diberikan oleh gadis lainnya. Ini adalah hari ke-10 Amarilis mengajar kedua gadis itu di rumahnya. Dan dari kurun waktu 10 hari itu pula Amarilis cukup tahu siapa yang disebut oleh gadis itu.
"Tunggu aja, ya. Mama sama Papa Ola pasti jemput kok."
Amarilis tidak mau pria bernama Nino yang muridnya panggil 'Om' itu datang ke rumahnya. Amarilis tahu, meski ini sudah 1 tahun berlalu, tapi hatinya tetap berdenyut sakit saat bertemu dengan pria itu beberapa kali sebelumnya.
"Tapi kalau Mama sama Papa yang jemput, pasti udah datang. Coba Miss Ama telpon Mama."
Amarilis menghela napas sebelum meraih ponsel pintarnya di atas meja. Amarilis tahu, gadis yang bicara padanya ini tidak akan diam sebelum apa yang ia katakan itu dilakukan.
"Halo, selamat sore, Bu Ala, saya-"
"Mama! Suruh Om Nino jemput! Kakak mau ke rumah Nenek!"
Amarilis terpaksa memberikan ponselnya pada gadis bernama Ola itu karena percuma saja dia bersikeras bertahan kalau tidak diberi kesempatan bicara.
Tapi Amarilis bisa mendengar bagaimana ibu Ola membalas ucapan gadis itu.
"Mama yang jemput, Kak, bentar ya. Ini Adek rewel. Main sama Miss Ama dulu sampai Mama jemput."
"Lama! Kakak udah dari tadi main-main sama Miss Ama nunggu Mama. Om Nino aja!"
"Om Nino kerja, Kak. Mama-"
"Om Nino aja!"
"Nih kurcaci Frans batu banget dibilangin."
Amarilis meringis mendengar sang ibu menggerutu di balik telepon. Amarilis sering iri dengan keluarga muridnya ini. Harmonis dan begitu diidamkan semua orang.
"Ma!"
"Iya, iya! Itu Om Nino udah di jalan. Jangan ke mana-mana. Jangan nyusahin Miss Ama juga," ucap suara di sebrang sana.
Amarilis terkekeh melihat cengiran lebar gadis cantik di depannya yang menganggukkan kepala berulang kali dengan lucu.
"Oke, Ma, babay!" serunya senang sambil mengulurkan ponsel milik Amarilis.
"Thank you, Miss."
***
Amarilis menghela napas lega saat kedua gadis cantik yang menjadi murid les di rumahnya itu sudah pergi bersama seorang pria yang jelas Amarilis kenal.
"Nasib baik dua bocil itu gak minta anter sampai ke depan," gumam Amarilis.
Setelah banyaknya waktu berlalu, kenapa mereka kembali dipertemukan? Mungkin pria itu sudah bahagia sekarang, tapi Amarilis belum. Ia belum menemukan pengganti yang tepat.
Amarilis merapikan meja belajar dan alat tulis yang tadi dipakai oleh kedua muridnya. Senyum gelinya terbit begitu saja saat melihat sebuah kertas yang dihiasi gambar seorang wanita berkacamata di sana.
"Miss Ama cantik," gumam Amarilis mengeja tulisan yang disematkan di sana.
Amarilis meraih ponselnya, lalu memotret kertas tersebut dan mengunggahnya ke sosial media miliknya. Amarilis juga menandai akun ibu gadis itu dan menulis caption ucapan terima kasih.
Tak berselang lama, Amarilis menerima komentar dari akun yang ia tandai.
@alamandafrans Wah... Kakak udah pinter ngegambar, ya, Miss. Cantik banget. Mama jadi pengin request ah😅
Amarilis terkekeh dan membalas dengan kalimat pujian akan peningkatan belajar putri Alamanda tersebut.
Bunyi bel dari depan rumah membuat Amarilis meletakkan ponselnya ke atas meja. Amarilis berjalan menuju pintu rumah dan membukanya. Jantung Amarilis berdetak tak karuan saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Baru hendak menutup pintu, tubuh Amarilis terhuyung ke belakang diikuti sosok di depannya yang melangkah masuk.
"Apa yang kamu lakukan?!" Amarilis mencoba menjaga jarak dengan mengulurkan tangan ke depan menahan dada tamu tak diundang itu.
"Nino, stop!"
"Masih ingat rupanya," ujar orang yang Amarilis panggil Nino itu.
"Keluar!" Amarilis jelas sedang menahan berbagai emosi saat ini. Wajahnya merah padam menatap Nino yang menjulang di hadapannya.
"Saya bilang keluar!"
Nino tersenyum miring. "Saya, hm?" ejeknya saat mendengar kata formal yang Amarilis lontarkan.
Amarilis memejamkan mata sejenak sambil menarik napas panjang dan menghembuskannya. Ia membuka mata lagi, lalu menatap Nino dengan menantang.
"Keluar dari rumah saya sekarang sebelum saya teriak dan orang-orang akan datang."
Nino semakin maju dan kaki Amarilis sontak semakin mundur. Hingga punggungnya terbentur dinding dan kakinya tidak bisa melangkah mundur lagi, Amarilis mendorong dada Nino yang semakin mendekat.
"Kamu tuli?!"
"Teriak aja. Teriak. Biar orang-orang datang dan lihat semuanya. Kamu kira aku gak berani, hm?"
Amarilis menepis tangan Nino yang kurang ajar menyentuh sisi payudaranya. Mata Amarilis menajam menatap pria itu. Amarilis dilecehkan. Dan itu membuatnya semakin sakit hati.
"Apa yang kamu inginkan?" desis Amarilis dingin.
"Kamu," Nino semakin mengikis jarak di antara tubuh mereka. Amarilis bisa merasakan napas hangat pria itu menerka kulit wajahnya.
"Jangan macem-macem," Amarilis kembali menepis tangan Nino yang kini bertengger di pinggangnya.
"Guru, hm? Kamu mau ngajarin apa ke murid-muridmu? Cara bercinta? Atau cara menjadi jalang murahan?"
Tubuh Amarilis bergetar. Hatinya seperti dihujami ribuan jarum. Segitu rendahnya Nino menilai dirinya?
"Saya akan mengundurkan diri langsung ke Bu Ala sebagai guru les Syakilla dan Ola kalau begitu. Permisi," Amarilis mencoba melepaskan diri, tapi Nino tidak memberinya kesempatan untuk itu hingga suara tangis bayi menyentak keduanya.
"Ana," gumam Amarilis dan refleks mendorong kuat tubuh Nino hingga ia bisa berlari menuju lantai 2 di mana suara tangis bayi berasal.
Nino masih terdiam. Otaknya seakan bekerja lebih cepat mengingat segala hal yang terjadi antara dirinya dan Amarilis.
Suara tangis bayi yang semakin memekakkan telinga menyentak kembali kesadaran Nino. Kakinya melangkah dengan lebar mengikuti jejak Amarilis menuju lantai 2.
"Sayang... Hei, ini, Nak..."
Nino memperhatikan bagaimana Amarilis menenangkan seorang bayi di dekapannya sambil mengarahkan puncak payudaranya ke mulut bayi tersebut.
Nino menelan ludah. Bayi itu...
"Apa dia... anakku?"
***
Bakal up ke depannya di sini😌
Capek jempol scroll di lapak lama. Udah 140an bab. 135 publish dan 5 draf.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY 2021 - 2022 (END)
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 2...