ABIYAN 3

19.1K 2.2K 62
                                    

Vote dulu baru baca🌚

***

"Ane," panggil Alina saat melihat wanita itu keluar dari dapur.

"Y--ya, Tan?"

Alina menatap wajah pucat Ane dan mata sembab wanita itu. Ia mendekat dan Ane spontan menjauh satu langkah. Hal itu jelas disadari oleh Alina. Ia semakin menatap keheranan pada wanita tersebut.

"Kamu mau makan lagi gak? Tadi Tante lihat kamu makannya dikit, Nak," kata Alina.

Ane tersenyum, lalu menggeleng. Ia sebenarnya lapar. Tapi tidak berani untuk mengambil makanan di rumah ini sesuka hatinya. Karena lapar, Ane hanya mengambil air sebagai pengganjal perutnya. Ane merasa canggung. Hal ini selalu terjadi setiap berkumpul begini. Ane merasa dirinya bukan bagian dari keluarga besar Akio.

"Temenin Tante makan mau gak? Laper banget."

Alina mencari cara agar wanita itu ikut makan dengannya. Alina tahu kalau Ane pasti tidak akan kenyang hanya makan sedikit seperti tadi. Bisa-bisa wanita itu menahan lapar.

Ane mengangguk saja. Abiyan sudah tidur. Sekarang juga sudah tengah malam. Semua orang sudah istirahat di kamar yang disediakan. Ada yang bersama-sama, ada juga yang sendiri sepertinya dan Abiyan. Tapi malam ini sepertinya ia dan Abiyan akan tidur bersama. Pria itu menolak kembali ke kamarnya setelah Ane kelepasan bicara seperti tadi. Abiyan tampak senang meski Ane mencubitnya karena mengerjainya.

Alina menarik kursi dan menyuruh Ane duduk di sana. Karena pelayan di rumah mertuanya ini sudah istirahat, terpaksa Alina yang mengambil apa-apa sendiri untuk kebutuhannya memasak. Alina pintar memasak dan selalu lezat. Hal itu juga yang membuat Akio jatuh hati padanya.

"Kamu suka mi instan?" tanya Alina sembari meraih 2 bungkus mi dari dalam lemari penyimpan makanan.

"Enggak, Tan," jawab Ane.

Alina tersenyum. Ia sudah tahu hal itu. Tapi masih saja bertanya hanya untuk membuka obrolan dengan Ane. Alina tahu ada yang tengah mengusik pikiran wanita itu. Terlihat sekali Ane beberapa kali melamun menatap meja makan. Wajah Ane juga bisa ditebak karena sangat kentara tengah menanggung beban berat.

"Tante mau cerita, tapi kayaknya kamu lagi gak mood ya?"

"H--hah?" Ane mengerjap bingung. Ia tidak mendengar dengan jelas apa yang Alina tanyakan sehingga hanya bisa bengong.

"Gak papa. Tante nanya, kamu mau dibikinin sesuatu gak? Jarang loh Tante bisa masakin kamu, Nak. Susah ketemu soalnya kamu sibuk."

Ane meringis. Ia bukan sibuk, tapi menyibukkan diri. Ane hanya tidak ingin terfokus pada hubungan diam-diam yang ia jalani dengan Abiyan. Ane selalu berpikir buruk jika nanti keluarga mereka tahu. Yang paling buruknya, Ane akan semakin dikucilkan oleh tante-tantenya.

"Mau apa? Ayo bilang. Lagi semangat ini mau bikin eksperimen," desak Alina.

Ane menelan ludah. Perutnya seketika berbunyi dan suasana hening malam membuat Alina bisa mendengarnya dengan jelas. Alina terkekeh geli. Ia menggeleng tak percaya menatap Ane.

"Gak ada gunanya bohong sama Tante. Apalagi soal makanan," goda Alina.

Ane menggaruk pipinya. Alina memang baik. Sangat baik pada semua orang. Ane kadang iri melihat bagaimana semua orang menyukai Alina dan akrab dengan wanita itu.

"Apa aja, Tan, jangan yang repot-repot," katanya.

Alina mengangguk senang. Ia mulai memasak dengan telaten. Akio dan Abiyan tidak pernah makan makanan cepat saji tanpa seizin Alina. Istri Akio itu tidak ingin kedua pria kesayangannya sakit perut. Ia lebih percaya pada makanan yang ia masak sendiri untuk dikonsumsi suami dan anaknya.

"Kalau weekend, gak ada kerjaan tuh, main ke rumah dong. Nginap. Tante juga kesepian di rumah sendiri. Asal kamu tahu ya, Om kamu sama Iyan tuh kalau weekend suka kencan berdua gak mau ajak-ajak Tante."

Ane ingin. Sangat ingin. Tapi Ane tidak bisa. Ane sibuk. Bukan karena sibuk bekerja juga di akhir pekan. Tapi Ane sibuk berperang dengan pikirannya, memikirkan masa depan, di mana ayahnya, lalu siapa jodohnya jika ternyata bukan Abiyan.

"Tante gak ke sini tiap weekend?"

Karena setahu Ane, Nania akan berkunjung ke sini bersama anak-anaknya setiap akhir pekan. Ane kira Alina juga begitu.

"Kadang aja. Gak sering. Enakan di rumah. Bisa masak menu-menu baru."

Dari arah tangga, Abiyan berjalan mendekati dapur. Ia menggaruk tengkuknya karena bingung mencari Ane. Saat tertidur, ia tengah memeluk Ane. Tapi ia tersentak dan terbangun tanpa Ane di pelukannya.

Abiyan menatap punggung Ane. Ia sangat mengenali punggung kecil itu. Abiyan tersenyum. Ane pasti lapar atau haus makanya turun ke bawah.

"Sayang, kenapa bangun?"

Ane membeku saat merasakan dua lengan kini tengah melingkar di pundaknya. Ditambah lagi dengan kecupan bertubi-tubi yang Abiyan berikan pada pipi Ane.

"Aku laper," ujar Abiyan. Ia hendak mengecup leher Ane, tapi bunyi sesuatu yang jatuh membuatnya mendongak.

Abiyan menemukan wajah syok Alina. Ditambah lagi mata sang ibu menatapnya dan Ane bergantian seolah sedang bertanya 'kalian ngapain?!' yang membuat Abiyan menghela napas.

"Bun, sorry, kesosor," kata Abiyan sembari melepaskan Alina, lalu mengusap lembut rambut wanita itu.

Abiyan mendekati Alina dan berjongkok untuk meraih sendok yang Alina pegang terjatuh ke lantai. Abiyan memberikan cengiran lebar pada Alina, lalu mengecup pipi sang ibu.

"Bau ih, Mas!" seru Alina mendorong putranya menjauh.

"Makan dulu. Kamu mau apa? Kayaknya ini bakalan butuh tenaga ekstra."

Alina kembali fokus pada masakannya dan mengabaikan Abiyan yang bergelayut manja padanya. Pria itu sengaja mengganggu Alina agar ia tidak mendekati Ane dan malah kembali berbuat ulah.

"Panas, Bun!" seru Abiyan mundur beberapa langkah saat Alina menyentuhkan sendok panas di lengannya yang melingkar pada perut wanita itu.

"Duduk sana. Kalau Ane gak suka masakan Bunda, kamu kena hukum."

Abiyan mencebikkan bibir. Ia menurut dan sengaja mengambil tempat duduk di sebelah Ane. Tangan Abiyan mulai nakal. Ia mengelus paha Ane yang terbalut celana tidur semata kaki. Meski tidak menyentuh kulitnya, Ane tetap merasa geli.

"Yan," tegur Ane dengan suara rendah. Ia takut Alina menoleh dan melayangkan sendok di tangannya ke arah mereka.

Beberapa saat menunggu, Alina mendekat dengan 2 piring di tangannya. Ia meletakkan masing-masing piring di depan Ane dan Abiyan. Alina kembali ke meja masak, lalu meraih 1 mangkuk yang berisi 2 bungkus mi instan. Lengkap dengan telur dan sayur juga.

"Makan," titah Alina.

Ane dan Abiyan menurut saja. Mereka makan dengan tenang. Sedangkan Alina makan sembari menatap kedua manusia di depannya dengan penuh tanda tanya.

Usai mengisi perut, Alina menatap Abiyan dengan serius. Kedua tangan wanita itu terlipat di atas meja. "Jadi..."

"Aku pacaran sama Ane. Udah setahun." Abiyan membuka suara lebih dulu.

"Oke. Terus?"

"Udah. Itu aja."

Alina gemas dengan putranya. Sedangkan Ane menunduk tidak berani menatap Alina. Ia takut dan juga gugup.

"Putusin. Bunda gak setuju," titah Alina menatap tajam pada Abiyan.

Abiyan tak percaya pada ucapan ibunya. Sementara Ane memejamkan mata menahan laju air mata yang siap tumpah. Begini rasanya ditolak mentah-mentah. Sakit.

"Bun--"

"Putusin, Mas!" Alina berujar tegas, lalu beranjak dari duduknya.

'Gak ada harapan,' batin Ane.

***







Sabar. Bablas😭 harusnya bab ini selesai. Tapi kok sad😭

Ada yg pada melek gak jam segini? 23.51 WIB.

SHORT STORY 2021 - 2022 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang