Pernikahan bukanlah ajang perlombaan. Ada yang menikah karena terpaksa di saat usianya masih belasan tahun. Kurangnya biaya untuk melanjutkan sekolah, lalu ada pinangan yang datang dari orang kaya merupakan batu loncatan agar bisa hidup berkecukupan ke depannya.
Ada juga yang memilih menikah saat usianya sudah matang dan memiliki kecukupan uang. Dan ada pula yang memilih untuk tidak menikah sama sekali. Pilihan apa pun yang orang-orang ambil, bukankah itu hak mereka? Tidak ada yang benar dalam hal menghakimi keputusan seseorang untuk hidupnya sendiri.
Aza Shakila. Usianya sudah memasuki kepala tiga. Karirnya lumayan bagus. Lahir di keluarga yang berkecukupan. Anak tunggal dan menjadi orang yang paling diandalkan oleh keluarga. Apalagi soal memilah pendamping hidup.
Selama 30 tahun Aza hidup, tidak pernah sekalipun ia merasa tertarik untuk hidup bersama seorang pria. Aza normal sebagai seorang wanita. Ia punya hasrat dan gairah. Tapi untuk menjalin sebuah hubungan yang serius dan berbagi hidup berdua sampai tua, Aza tidak ingin. Entah memang tidak ingin atau memang belum menemukan yang sesuai seleranya saja.
"Mbak Aza, Bapak William minta dokumen yang kemarin siang. Sudah selesai, kan?"
Aza yang sejak tadi fokus pada layar ponselnya seketika mendongak menatap seorang wanita yang 4 tahun lebih muda darinya. Aza mengangguk, lalu meraih satu berkas untuk ia berikan kepada wanita di depannya.
"Pak Will bilang malam ini acara di Sweet Hotel mau datang sama Mbak Aza."
Aza mengernyit. "Sama saya? Kenapa? Bukannya bagian eksternal perusahaan kamu yang handle?"
Wanita di depan Aza meringis, "gak tahu, Mbak. Pak Will yang minta. Saya cuma disuruh sampaikan aja. Permisi."
Aza mendengkus. Sebagai sekretaris bagian internal perusahaan ia merasa ini sebuah kecurangan. Aza sudah pusing mengurus semua urusan di dalam perusahaan. Harusnya ia tidak dibebankan juga dengan urusan di luar perusahaan yang mana sejak awal selalu ditangani oleh rekannya tadi.
Merasa harus protes, Aza bangkit dari duduknya. Ia melangkah menuju ruangan yang bertuliskan CEO di pintunya. Tanpa mengetuk, Aza mendorong pintu, lalu masuk dan berdecak karena pemilik ruangan tidak ada di sana.
Menghela napas, Aza kembali ke mejanya dan meraih ponsel untuk mendial nomor sang atasan. Selain menjadi atasan di kantor, orang yang Aza cari itu merupakan sepupunya juga.
"Will, plis, gue gak mau gantiin kerjaan Fiza. Kerjaan gue udah banyak. Gue capek."
Bisa Aza dengar suara decakan kesal di sebrang telepon sana. Aza tidak peduli jika William merasa keberatan dengan protesannya. Aza memang lelah selama 2 minggu ini. Pekerjaannya menumpuk dan belum semuanya terselesaikan.
"Gak. Sekali enggak tetap enggak."
Aza menutup sambungan telepon sebelum mendekati meja Fiza, rekannya sesama sekretaris. Aza menatap Fiza dengan kesal. Entah kenapa melihat wajah lugu dan polos Fiza membuatnya muak. Apalagi adegan mesum wanita itu bersama William di ruang rapat kala itu. Muka dan sifatnya berbanding terbalik.
"Kamu yang bakal tetap pergi nanti malam," kata Aza.
"Tapi, Mbak--"
"Tugas kamu jangan limpahin ke orang dong. Dari awal kerjaan kamu itu gak sebanyak kerjaan saya. Jadi, kerjakan tugas sesuai porsinya. Urusan eksternal tetap punya kamu."
Aza melenggang pergi dari sana tanpa menghiraukan tatapan sendu dari Fiza. Andai Aza tahu apa yang membuat William menginginkan wanita itu untuk datang nanti malam, mungkin Aza akan sukarela menggantikan posisi Fiza.
***
Aza menguap untuk kesekian kalinya. Ia keluar dari kamar setelah melirik jam di dinding kamar. Sudah pukul 10 malam dan wajar saja ia merasa lapar. Karena sejak pulang dari kantor sore tadi, Aza tidak lagi keluar kamar dan belum memakan apa pun.
"Loh, Will? Bukannya lo harusnya di hotel? Apa acaranya udah kelar?" tanya Aza keheranan saat melihat sosok atasan sekaligus sepupunya itu malah tengah duduk berbincang dengan orangtuanya di ruang tengah.
"Will gak jadi ke sana, Sayang. Will dari tadi di sini loh. Kamu nya gak bangun-bangun," Ibu Aza yang menjawab.
"Kenapa? Fiza tahu?"
William mengernyit. Kenapa Fiza harus tahu?
"Mungkin udah," jawabnya enteng.
"Lo gak kasih tahu Fiza? Tadi gue suruh dia yang datang," Aza mengambil tempat duduk di sebelah ibunya.
William semakin mengernyitkan kening. Ia tidak menghubungi Fiza ataupun sebaliknya. Tapi William yakin Fiza tidak akan datang tanpa ia yang minta.
"Lupain si Fiza dulu. Mama mau ngomong sama kamu. Ini tentang kamu sama Will."
Kali ini Aza yang mengernyit. Ia dan Will? Memangnya ada apa?
"Will ke sini bicara soal kamu. Soal kalian. Dan niat baik Will jelas Mama dan Papa terima dengan baik pula. Sekarang kami butuh jawaban langsung dari kamu, Sayang."
"Maksud Mama apa?" Aza masih bingung.
"Will melamar kamu langsung ke Mama sama Papa. Rencananya besok malam kita bakal bicarain ini sama keluarga besar lainnya."
Aza menahan napas dengan tatapan lurus ke arah William yang kini juga menatapnya dengan senyuman. Aza yakin ini salah. William pasti mabuk atau amnesia. Pria itu jelas sekali tampak tertarik pada Fiza. Bagaimana bisa ia malah melamarnya?
"Lo... Serius?"
William mengangguk yakin. Ia sudah menyukai Aza sejak lama. Meski Aza lebih tua darinya 2 tahun, tapi William tidak peduli. Baginya usia hanyalah angka dan tidak menjadi tolak ukur untuk sebuah hubungan.
"Tapi gue gak suka berondong," kata Aza dengan mencebikkan bibir.
"Cuma beda dua tahun, Sayang. Gak bakal masalah. Lagian Will juga tampaknya seumuran sama kamu kok," ayah Aza ikut bersuara.
Aza menggeleng. "Gak. Gue gak mau. Jangan rusak hubungan kita deh sama perasaan gak jelas lo itu. Fiza gimana?"
William mengerang pelan mendengar nama sekretarsinya yang lain disebutkan. Kenapa Fiza lagi Fiza lagi yang Aza bahas? Memangnya ada apa dengan wanita itu?
"Fiza kenapa?" tanya ibu Aza mulai penasaran.
"Intinya aku gak mau nikah sama Will, Ma. Aku punya pacar. Besok aku bawa ke hadapan Mama dan Papa. Yang jelas lebih tua dari aku."
Aza beranjak dari sana. Ia memilih menuju dapur untuk mengisi perutnya. Kabar barusan membuatnya semakin lapar. William sungguh sialan. Aza yakin pria itu ada hubungan dengan Fiza. Aza akan mencari tahunya langsung dari rekannya itu besok.
Usai makan dengan lahap, Aza kembali ke kamarnya. Perutnya kenyang dan ia merasa lebih tenang. Bahkan getaran bertubi-tubi dari ponselnya membuat Aza biasa saja. Padahal ia benci jika ada yang mengirim pesan spam seperti ini.
Gilaaaaaa...
Azaaaaaa...
Lo di manaaaa...
Bitch! Bales!Aza mendengkus. Ada belasan pesan dan isinya sama. Setelah membalas, Aza kembali menadapatkan pesan balasan dengan cepat.
Renzo balik!
Gue lihat dia di Bandara tadi sore!
Mampus lo!Jantung Aza seketika berdetak tak karuan hanya karena 1 nama yang diketik dalam pesan itu. Renzo. Pria kurus pendek yang dulu pernah mengejar Aza. Pria yang berulang kali Aza tolak dan pria yang juga berjanji akan kembali mengusik hidup Aza dengan penampilan barunya.
***
Bocoran nih...
Fiza itu tokoh cerita berikutnya🌚Lanjut sampai end?
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY 2021 - 2022 (END)
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 2...