Lino menghentikan mobil di depan rumah mewah miliknya dan Tamara. Menghela napas, Lino menoleh pada Tamara. Wanita itu terlelap setelah lelah menangis. Lino benar-benar merasa bersalah atas air mata yang keluar begitu banyak dari sang istri.
"Maaf," Lino kembali bergumam sembari mendekati Tamara dan mengecup pelipis wanita itu.
Turun dari mobil, Lino berlari kecil menuju pintu mobil di sebelah Tamara. Ia mengangkat dengan hati-hati tubuh sang istri agar tidak mengganggu tidurnya.
Lino harus kuat mendekapnya karena Tamara tidak menggunakan apa pun di balik selimut. Lino tidak mau pelayan di rumah tahu hal tersebut.
"Tuan, Nyonya kenapa?" tanya seorang pelayan yang cukup dekat dengan Tamara.
"Kehujanan. Tolong panggil dokter."
"Baik, Tuan. Mau saya bikinin teh hangat untuk Tuan dan Nyonya?"
"Gak usah."
Pelayan mengangguk pelan dan berlalu dari hadapan Lino. Pria itu kembali melangkah membawa Tamara menuju kamar tidur mereka di lantai 2.
Kembali dengan hati-hati Lino membaringkan Tamara. Pria itu mencari baju tidur kesukaan Tamara dan membantu istrinya untuk berpakaian sebelum dokter datang.
"Sebentar lagi, Sayang. Sebentar lagi, aku akan buktiin ke semua orang kalau cuma kamu satu-satunya wanita yang aku cintai sejak dulu. Aku masih butuh beberapa bukti lagi buat bongkar kebusukan Tasya."
Lino menoleh pada pintu kamar yang diketuk. Seorang pelayan masuk bersama seorang dokter wanita di belakangnya.
"Ara kenapa, No?"
"Kehujanan, Mbak. Tasya ninggalin dia di tepi jalan."
"Ya, Tuhan. Tuh anak benar-benar gak punya hati. Kakaknya sendiri diperlakukan sejahat itu."
Lino membiarkan dokter memeriksa Tamara. Semoga saja wanita itu tidak demam. Lino benci ketika melihat Tamara terbaring tak berdaya.
"Gak papa. Nanti kalau dia pusing kasih obat ini. Matanya ssmbab banget, No."
Dokter yang juga kakak kandung Lino itu menatap iba pada adik iparnya. Banyak sekali pengorbanan yang wanita itu berikan hanya untuk adik yang tak tahu diri seperti Tasya.
"Kalau ada apa-apa kabari Mbak."
Lino mengangguk. Ia mengantarkan sang kakak ke pintu kamar dan menutup pintu itu setelah kakaknya berlalu turun ke lantai bawah.
Tamara menggeliat pelan. Ia merasa haus. Telapak tangannya meraba-raba nakas di sebelah ranjang, tapi sialnya malah menyenggol gelas dan jatuh ke lantai. Tamara terkejut dan langsung terduduk.
Lino berlari mendekat. Ia menahan lengan sang istri yang hendak turun dari kasur. Pecahan kaca bisa melukai kakinya.
"Sebentar."
Lino menekan angka 1 di telepon yang ada di nakas sehingga terhubung ke dapur. Pelayan mengangkatnya dan Lino meminta diantarkan air untuk istrinya.
"Jangan turun,"
Lino menunduk membersihkan pecahan gelas kaca di lantai. Dari posisinya berada, Tamara menatap apa yang Lino lakukan.
"Kita udahan ya," katanya.
Lino mendongak, "kamu masih ngantuk. Tidur lagi," suruhnya dan kembali melakukan kegiatannya.
"Aku serius. Kamu gak capek?" Tamara menelan ludah. Rasa kering dan perih karena kelamaan menangis tidak ia hiraukan.
"Aku capek, No. Setiap ada Tasya, kamu lupa sama aku. Tiap lihat Tasya, kamu mengabaikan aku."
Lino menggenggam kuat pecahan kaca di tangannya hingga darah segar mengalir di sela-sela jarinya. Tamara tidak melihat itu karena kini ia menunduk menatap tautan tangannya di atas selimut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY 2021 - 2022 (END)
Roman d'amour[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 2...