Sweet Orange (End)

32.1K 2.8K 90
                                    

"Gimana?"

Jingga menelan ludah. Ia mengerjap dengan gugup saat Biru kembali bertanya. Kali ini lebih ke menuntut jawaban darinya.

Jingga ingin menolak, tapi kenapa rasanya dia penasaran, ya? Biru tampan, gagah, tingginya jelas idaman sekali. Pelukable lah istilahnya. Ingin diterima, bukankah lebih mengherankan lagi? Mereka tidak dekat sebelumnya. Hanya sebatas kenal dan saling sapa.

"Tanya Papa aku aja, Om. Aku gak tahu. Masih kecil."

Biru sontak terbahak. Sial. Masih kecil katanya? Jingga sudah 19 tahun. Bentuk tubuh perempuan itu bahkan tidak seperti anak belasan tahun. Berisi di tempat yang pas dan Biru suka. Wajahnya memang masih tampak lugu dan lucu, tapi cantik. Kalau didandani, Biru yakin Jingga akan tampak lebih dewasa.

"Oke. Ayo masuk. Saya lamar di depan orangtua kamu."

Jingga tergagap. Biru tidak mungkin seserius itu, kan? Biru pasti hanya bercanda dan menggodanya saja. Pasti. Mana mungkin...

"Ayo," Biru bahkan sudah berdiri sambil membuka pintu mobil di sebelah Jingga.

Jingga mendongak, lalu keluar dan Biru segera menutup pintu mobilnya kembali. Kini Jingga berjalan mengekori Biru yang lebih dulu memasuki rumah. Terdengar derai tawa dari ruang keluarga. Tampaknya orang-orang di dalam sana sedang membahas hal-hal yang menyenangkan.

"Om," panggilnya sembari menarik kemeja Biru di bagian siku.

Biru menghentikan langkahnya. Ia menoleh pada Jingga dengan sebelah alis terangkat. Wajah Jingga sungguh menggemaskan bagi Biru. Andai saja perempuan itu menerima lamarannya di dalam mobil tadi, mungkin saat ini Biru akan lebih berani mencubit gemas pipi Jingga.

"Nanti aja deh, tunggu yang lain pulang dulu."

"Kenapa gitu?" tanya Biru keheranan.

"Malu," kata Jingga dengan kepala menunduk.

"Kamu malu dilamar sama saya?"

"B—bukan."

"Terus?"

"Nanti dibilangnya aku yang ganjen minta nikah cepat-cepat,"

Biru menggigit bibir dan meraih tangan Jingga yang masih menarik kemejanya. Pria itu terkekeh dan mengecup gemas jari-jari lentik Jingga membuat perempuan tersebut refleks menahan napas.

"Jangan terlalu menggemaskan, Jingga. Saya bisa lepas kendali buat nerkam kamu di sini," katanya berbisik di depan wajah Jingga.

Ih, Om mesum!"

Jingga berlari menaiki undakan tangga menuju ke kamarnya. Ia tidak bisa berlama-lama bersama Biru. Pria itu mendadak jadi manis dan Jingga takut terserang diabetes sejak dini. Sial.

"Lagian kenapa tuh Om-om mesum, sih?!"

Jinggamenutup pintu kamar dan berlari ke kasur, lalu menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Wajahnya panas. Bisa Jingga bayangkan semerah apa pipinya saat ini.

***

Latika sedang melayani Dava di meja makan. Sarapan kali ini sedikit berbeda karena ada tamu yang tak mereka sangka bergabung di meja makan sepagi ini.

"Di makan, Bi," suruhnya pada tamu yang sejak tadi berbicara serius dengan Dava.

"Iya, Mbak, makasih," balasnya.

"Harus biasain panggil Mama mulai sekarang. Janggal banget calon mantu manggil Mbak," kekeh Latika.

Biru menyengir lebar. Dava yang sejak tadi sedang berpikir keras akhirnya kembali menatap Biru. Kedatangan pria itu pagi-pagi begini ternyata untuk menyampaikan maksudnya yang tertunda sejak semalam.

SHORT STORY 2021 - 2022 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang