Aza datang ke kantor dengan perasaan was-was. Info yang diberikan sahabatnya tadi malam tentang pria bernama Renzo berhasil membuat Aza tidak tidur dengan nyenyak. Sialan. Aza merasa pusing juga saat bangun pagi ini. Semuanya gara-gara Renzo.
"Mbak Aza," panggil Fiza saat Aza baru saja keluar dari lift.
"Hm."
Aza sedang tidak bersemangat sama sekali. Bahkan menatap wajah lawan bicaranya saja Aza tidak berdaya. Kenapa pengaruh 1 nama itu begitu menakutkan bagi Aza?
"Saya titip ini boleh, Mbak? Saya pusing dan--"
"Saya juga pusing, Fiza! Kamu kira kamu sendiri yang--"
Aza tersentak kala mendengar suara berdebam kuat. Ia menoleh bingung pada sosok Fiza yang kini tergeletak di lantai. Aza mengerjap, lalu berjongkok di sebelah Fiza. Ia tepuk-tepuk pelan pipi Fiza yang memang terlihat sangat pucat pagi ini.
"Fiza!"
Aza panik seketika. Fiza pingsan di depan matanya. Apa karena Aza bentak barusan? Ah, mana mungkin. Aza tahu Fiza itu wanita yang kuat. Tidak pernah tumbang meski sering kali Aza bentak. Tapi...
"Fiza kenapa?"
Aza mendongak menatap William yang baru saja keluar dari ruangannya. Tumben sekali pria itu datang lebih awal. Melihat penampilannya yang sama sekali tidak rapih, Aza menyimpulkan kalau William tidur di kantor.
"Pingsan. Lo buta?" ketus Aza.
Entah kenapa Aza kesal pada William karena kejadian tadi malam. Sungguh, Aza tidak menyukai William melebihi dari hubungan mereka sebagai sepupu saja. Apalagi Aza sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri.
"Lo apain?" tanya William tajam.
"Gak sengaja kebentak dikit doang. Bukan salah gue. Kayaknya dia udah sakit juga," jawab Aza menatap malas pada William.
William meraih tubuh Fiza, lalu membawanya pergi dari sana. Aza mengikutinya dari belakang dengan berlari kecil agar tidak tertinggal karena William melangkah begitu lebar.
"Pelan-pelan, goblok! Kesandung lo sama aja celakain anak orang!"
"Bacot!"
Aza memutar bola mata. Mana mungkin pria labil dengan emosi tidak stabil seperti William menjadi pasangan hidupnya. Bisa-bisa mereka berkelahi setiap hari dan menghabiskan lusinan piring atau gelas dalam seminggu.
Berselang 30 menit, mobil William tiba di rumah sakit. Aza kembali mengikuti pria itu yang menggendong tubuh Fiza.
Aza menggerutu karena pergelangan kakinya terasa sakit. Jalannya juga terlihat pincang memasuki rumah sakit. William sudah tidak lagi terlihat.
"Sorry," Aza meringis saat bolongnya mendarat cukup kencang di lantai keramik. Matanya terpejam dengan kedua tangan yang terkepal. Bahkan tas kerjanya terlepas dari genggaman.
"Lo buta, hah?!" kesal Aza tanpa mendongak menatap siapa yang menabraknya dengan kencang.
"Sorry, gue buru-buru. Lo gak papa?" tanya orang di depan Aza sembari mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.
"Sialan," maki Aza pelan tapi masih bisa didengar oleh orang di depannya.
"Masih gak berubah ya, Aza Shakila," kata orang itu.
Aza mendongak dan mengerutkan kening. Seorang pria mengenakan jas putih kedokteran tengah menunduk menatapnya. Aza menatap tajam pada pria itu sebelum matanya mengerjap saat membaca nama yang tertera di jas tersebut.
"Apa kabar, Honey?"
Seketika tubuh Aza meremang mendengar suara serak nan dalam tepat di depan wajahnya. Pria itu berjongkok dengan senyum mematikan. Jantung Aza berdetak tak karuan. Bahkan matanya tidak bisa berkedip sedetik pun.
"Kedip, Honey."
Mata Aza spontan berkedip saat ditiup oleh pria itu dengan lembut. Napas hangatnya menerpa kulit wajah Aza sehingga ia langsung tersadar.
"Brengsek!"
Aza mendorong tubuh pria itu dengan kencang, lalu berusaha berdiri dengan tergesa untuk bisa pergi dari sana. Aza tidak mau terjebak pada masa lalu lagi. Pria itu sangat berbeda. Tidak lagi pendek dan kurus. Sialan. Mata Aza ternodai dengan pundak lebar dan lengan kekarnya. Belum lagi saat ia mendorong tubuh itu dan merasakan betapa kerasnya di sana.
"Mau ke mana?"
"Renzo lepas!" seru Aza panik saat lengannya dicekal.
"Gak. Urusan kita belum selesai, Aza."
"Gue gak punya urusan sama lo! Lepas!"
"Makin galak ya," kekeh Renzo. Entah kenapa ia merasa senang melihat wajah merah Aza saat ini.
"Kaki lo berdarah," kata Renzo sembari menundukkan pandangan menatap belakang kaki Aza yang memang sedikit lecet karena sepatunya.
"Bukan urusan lo," Aza menarik lengannya sekuat tenaga dan Renzo melepaskannya.
Aza kira ia benar-benar bebas. Ternyata ia salah. Renzo meraih tas Aza, lalu menunduk untuk bisa mengangkat tubuh Aza dalam gendongannya. Aza jelas membelalak karena tindakan tidak terduga pria itu. Ini tempat umum. Bagaimana kalau ada orang yang mengenali mereka dan membuat gosip yang tidak benar?
"Turunin gue!"
"Diam, Aza. Gue bukan Renzo si kurus pendek lagi. Gue lebih gede dari lo dan lebih tinggi. Lo bisa gue apain aja kalau masih berisik," ancam Renzo dengan santai.
Aza memukul punggung Renzo. Posisi terbalik seperti ini membuat Aza pusing. Ditambah lagi rambutnya yang semula tergerai indah dan rapih harus berantakan.
Renzo membawa Aza ke ruangannya. Pria itu menyuruh suster yang bekerja dengannya keluar dari ruangan dan mengunci pintu dari dalam. Renzo tidak memperdulikan tatapan penasaran dari rekan kerjanya itu.
Tubuh Aza ia turunkan di sofa dengan pelan, lalu ia meraih kotak obat di meja kerjanya sebelum kembali mendekati Aza. Tatapan penuh kebencian yang Aza layangkan tidak membuat Renzo risih. Ia malah terlihat tenang dan seperti tidak terjadi apa-apa.
"Gak usah!" tolak Aza saat Renzo mengangkat kakinya untuk berada di atas paha pria itu.
Renzo berdecak sambil menatap Aza dan kembali menarik kakinya. Dengan telaten dan penuh kelembutan Renzo mengobati luka kecil di kaki Aza. Karena Aza menggunakan rok kerja pendek ketat, paha mulus wanita itu terpampang jelas di depan matanya. Ditambah lagi dengan posisi duduk Aza membuat roknya semakin tertarik ke atas.
"Sakit!"
"Tahan sebentar," kata Renzo.
Usai mengobati kaki Aza, Renzo meletakkan kembali kaki wanita itu ke bawah. Ia duduk semakin dekat dengan Aza. Ditatapnya wajah wanita itu lekat-lekat. Bahkan Aza sampai tidak mau mengangkat pandangannya. Ia lebih memilih menunduk menatap kakinya.
"Kalau gue yang dulu bukan tipe lo, apa gue yang sekarang sudah bisa diterima?" tanya Renzo lembut.
Aza tidak menjawab. Ia menelan ludah saat tak sengaja menatap kaki Renzo, lalu naik hingga ke pangkal paha pria itu. Sialan. Otak liar mesum Aza seketika berulah. Apalagi saat tonjolan di sana begitu terlihat jelas. Sebesar apa penghuninya di dalam sana?
"Shit," gumam Aza.
"Aza, lihat gue," Renzo menyentuh dagu Aza sehingga wajah dan pandangan wanita itu ikut menatapnya.
"Gue gak pernah nyerah soal lo sejak dulu. Bahkan gue begini karena lo, Aza. Gue mau jadi orang yang pantas buat berada di samping lo."
Tatapan keduanya terpaku. Aza tidak bisa menelan ludah sedikit pun saat usapan lembut di pipinya dari ibu jari Renzo.
"Will you be mine, Aza Shakila?"
***
Part ending aku up pas sahur yaps nunggu vote rame dulu. Tapi kalo 10 menit bisa rame kisaran 1K vote, aku up sekalian deh HAHAHA
PO masih berlangsung yaaa sampai tanggal 12 April. Jangan ketinggalan!
Harga per volume 80K
Double volume 145KUpdate info semuanya di story IG @devimarliza_ follow biar gak ketinggalan.
Besok aku up juga promo menarik di April ini. Btw aku lupa kalo skrg tanggal cantik 4.4 wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY 2021 - 2022 (END)
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 2...